Selasa, 02 Juni 2015

Menanti Lahirnya ”Kiai Langit”

Menanti Lahirnya ”Kiai Langit”

Ahmad Dimyati  ;  Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LPP NU);
Anggota Komisi X DPR
JAWA POS, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
SALAH satu yang menjadi ciri dan landasan dalam setiap pengambilan keputusan bagi NU adalah kaidah al muhafadzatu alal qadimis sholih wal akhdu bil jadidil ashlah (menjaga tradisi dan mengembangkan inovasi). Dengan landasan itu, NU kini berhasil bertransformasi tanpa tercerabut dari akar tradisionalitasnya sama sekali.

Lebih jauh mengenai tradisionalitas NU, Mitsuo Nakamura (1996) memiliki tesis menarik. Ia mengatakan bahwa NU adalah organisasi masyarakat yang tradisionalis radikal. Dalam artian, justru karena memegang teguh pada tradisinya, NU mempunyai paham serta tindakan mendasar dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam hal berpolitik.

Apa yang dikatakan Nakamura tersebut sungguh benar belaka. NU sejak lahir sampai di usianya yang ke-92 ini mendasarkan semua langkah dan perjuangan untuk keutuhan bangsa dan negara. Kita bisa mericek sejarah bahwa riak-riak pemberontakan pada masa penjajahan dimotori pemuka agama tradisionalis. Peter Carey (2012) juga mencatat, banyak perlawanan melawan kolonial, baik skala lokal maupun regional, selalu dimotori pemuka agama tradisionalis. 

Pemuka agama tradisionalis itulah yang di kemudian hari kita sebut dengan kiai.
Ontologi Kiai Sesungguhnya terma kiai adalah terma yang tidak secara spesifik ditujukan kepada sosok orang yang alim di bidang agama. Namun, lebih dari itu, sejatinya terma kiai adalah terma yang digunakan untuk menyebut suatu benda yang mempunyai tuah, nyoni, dan taji.

Terkait kiprah kiai dalam masyarakat, Greetz (1980) mengatakan bahwa kiai adalah seorang makelar budaya ( cultural broker). Makelar budaya dalam bahasa yang lebih akomodatif bisa diterjemahkan ke dalam bingkai ”kaidah” eklektik populer orang Jawa: Jowo digowo, Barat diruwat, Arab digarap (nilainilai Jawa dipertahankan, nilai-nilai Barat dibebaskan dari nilai-nilai buruk, dan nilai-nilai Timur Tengah diolah sedemikian rupa agar sesuai dengan budaya Nusantara).

Dengan kapasitas yang demikian tinggi itulah, adalah langkah yang sangat arif bahwa sejak sediakala kepemimpinan NU dibagi menjadi syuriah dan tanfidziah. Syuriah pada konteks kepemimpinan dan nakhoda organisasi ini dipimpin rais am figur Kiai yang karismatis yang tidak hanya memiliki laku lampah zuhud. Namun, lebih dari itu, ia juga memiliki marwah yang tinggi. Dalam tradisi NU, kita menyebut figur kiai seperti itu sebagai kiai sepuh atau ”kiai langit”.

Jabatan rais am bukanlah jabatan main-main. Ia juga bukanlah jabatan duniawi. Ia merupakan jabatan yang wingit dan bukan sekadar kepemimpinan yang bersifat manajerial. Rais am memikul tanggung jawab dunia-akhirat sepenuhnya. Nama-nama besar seperti KH Hasyim Asyari, KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Ali Ma’shum, KH Achmad Siddiq, KH Ilyas Ruhiyat, KH Sahal Mahfudh, dan KH A. Mustofa Bisri adalah figur-figur kiai sepuh nan karismatis yang selama ini telah dipercaya sebagai nakhoda NU.

Dalam jagat NU, syuriah adalah supremasi tertinggi. Ia adalah ”simbol” organisasi. Pasang surut dan riuh rendah organisasi ada di pundak syuriah atau rais am. Sementara itu, tanfidziah lebih kepada fungsi manajerial perdana menteri yang bertugas mengurus nahdliyin.

Ahlul Halli Wal-Aqdi Dalam posisi syuriah yang demikian tinggi tersebut, pada hemat saya, rais am harus benar-benar dipegang orang yang wara’i dan brahmana. Kiai yang sudah mampu melepaskan diri dari hiruk pikuk duniawi. Oleh karena kita sekarang hidup di masa ”shadaqah li ajli siyasah”, dalam hemat saya, penerapan mekanisme pemilihan rais am menggunakan peranti ahlul halli wal-aqdi (ahwa) harus kita realisasikan pada Muktamar Ke-33 NU mendatang.

Sistem ahwa sesungguhnya pernah diterapkan pada Muktamar NU sebelum-sebelumnya, termasuk yang paling monumental terjadi pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Sitobondo. Ketika itu, sistem ahwa dilakukan dengan cara mendaulat KH As’ad Syamsul Arifin, seorang kiai sepuh karismatis, sebagai ahwa. Kiai As’ad kemudian menunjuk enam orang kiai sebagai anggotanya, yakni KH Ali Ma’shum, KH Mahrus Aly, KH Ahmad Siddiq, KH Masjkur, KH Saifuddin Zuhrin, dan KH Moenasir Ali.

Tujuh kiai tersebut sebagai ahwa akhirnya memutuskan KH Ahmad Siddiq sebagai rais am. Lalu, sesuai mekanisme yang berlaku, KH Ahmad Siddiq selaku rais am menunjuk KH Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum (tanfidziah) PB NU kala itu.

Penting dicatat bahwa tradisi mencalonkan diri di NU adalah hal yang sangat tabu. Rais am, meminjam bahasa Hiroko Horikoshi (1987), adalah perpaduan kepemimpinan moral dan spiritual. Karena itu, tindakan mencalonkan diri adalah hal yang aneh dan menyalahi tradisi. Jika rais am dipilih langsung muktamirin, sebagaimana kita khawatirkan, aroma politik kian merebak dan itu sama sekali tidak laik dan tidak kita inginkan menggerogoti mar wah rais am sebagai simbol supremasi dan mar wah organisasi.

Walhasil, NU sebagai jamiah para ulama yang berkhidmat untuk menjaga moral umat tidak hanya harus dijaga sebagai sebuah perkumpulan yang baik, namun juga harus tetap dijadikan sebagai perkumpulan orang-orang baik yang akan menjadi mata air dan sumber inspirasi moral bagi bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar