Kota Cerdas dan Kontradiksi Ruang
Mohamad Burhanudin ; Spesialis
Komunikasi
pada
Pusat Transformasi Kebijakan Publik; Pemerhati Masalah Urban
|
KOMPAS, 19 Juni 2015
Gagasan kota cerdas
tengah menjadi tren di negeri ini. Di hotel berbintang, kampus, gedung
pemerintahan, dan di kantor lembaga swadaya masyarakat, kota cerdas menjadi
tema pembicaraan hangat. Sejumlah kota, bahkan, telah menegaskan klaimnya
sebagai Si Cerdas.
Media arus utama tak
ketinggalan membuat liputan khusus tentang hal ini. Para pakar silih berganti
mendedahkan konsep dan pendapat mereka tentang kota cerdas. Pemerintah kota
seakan kehilangan marwahnya jika tak mengadopsi atau setidaknya menyatakan
diri mereka sedang berproses ke sana. Bermiliar dana dikerahkan untuk jaringan
internet bebas akses beserta aplikasinya. Singkatnya, kota dibayangkan akan
menjadi layak huni lewat teknologi.
Maka demikianlah kota
cerdas menjelma sebagai frasa besar. Dia tiba-tiba menjadi apa yang disebut
George Orwell sebagai newspeak beserta sinonimnya, seperti kota pintar, kota
siber, dan kota digital, sebagai solusi terintegrasi akan masalah perkotaan.
Dengan cepat dia menggeser frasa-frasa lama yang sebelumnya pernah pula
tampil sebagai tren tata kelola kota di negeri ini, seperti kota hijau, e-governance,
kota mandiri, bahkan kota anti korupsi. Frasa-frasa yang begitu cepat
terkubur saat realisasi masih kabur. Pertanyaannya, akankah kota cerdas
bernasib sama, layu sebelum berkembang?
Kontradiksi ruang
Kota-kota di negara
berkembang, termasuk di Indonesia, pada umumnya dihadapkan pada tata ruang
dan kelola yang tidak dapat mengantisipasi cepatnya pertumbuhan di berbagai
bidang dengan baik. Perencanaan yang ada cenderung menjadi pengabdi dan
pelestari kepentingan pasar dibandingkan dengan penciptaan keseimbangan ruang
hidup manusia dan lingkungannya. Yang terjadi kemudian adalah karma atas
eksklusi ruang-meminjam istilah Habermas-yang berupa banjir, kemacetan lalu
lintas, konflik lahan, sampah, kriminalitas, dan lain sebagainya.
Henri Lefebvre, seorang
filsuf Perancis, menyebut permasalahan ruang perkotaan yang muncul akibat
lebih kuatnya kendali modal dalam kebijakan perencanaan perkotaan tersebut
sebagai kontradiksi ruang. Kontradiksi ini menempatkan ruang sekadar dalam
kacamata konsumsi, yang membawa dampak destruktif dalam bentuk konsumsi ruang
yang kian mendorong manusia kota menjadi mesin keserakahan. Dampak berikutnya
adalah hadirnya ketimpangan karena distribusi pembangunan hanya ditentukan
oleh logika modal.
Tengoklah, betapa
mudah mal, perumahan dan apartemen mewah, superblok, minimarket hingga
hipermarket, gerai ayam goreng, dan hotel di ruang yang semestinya tak
diperuntukkan untuk pembangunan tempat-tempat tersebut. Kemunculannya jauh
lebih mudah daripada hadirnya ruang-ruang terbuka hijau. Setiap sudut kota
dipenuhi dengan perayaan-perayaan atas konsumsi, seperti di mal, hipermarket,
superblok, hingga papan iklan yang bertebaran di setiap sudut kota. Manusia
hanya sibuk dan lelah demi perayaan itu. Relasi dan kohesi sosial tergerus, kejahatan-kejahatan
kota secara kuantitatif meningkat demi mengikuti roda konsumsi.
Ketimpangan adalah
wujud lain dari kontradiksi di samping keserakahan konsumsi. Urbanisasi yang
tak terkendali adalah masalah yang hadir dari ketimpangan ini. Bank Dunia memperkirakan,
saat ini jumlah penduduk di perkotaan di Indonesia lebih dari 50 persen dari
populasi. Tingginya urbanisasi menunjukkan besarnya ketimpangan pembangunan
antardaerah di Indonesia. Ledakan penduduk seiring urbanisasi membuat
kota-kota di Jawa akhirnya tumbuh dan dibangun dengan melawan sejarahnya dan
tata ruang yang semestinya.
Alih-alih mendorong
pertumbuhan ekonomi, urbanisasi menciptakan kantong kemiskinan baru dan
membuat problem perkotaan kian kompleks karena antisipasi persoalan tak
direncanakan sejak awal. Maka, buruknya pasokan air bersih, sanitasi, jalan
raya, drainase, dan ruang terbuka mudah dijumpai di kota-kota di negeri ini.
Permukiman kumuh kian meluas. Permukiman layak tak mampu dijangkau sebagian
besar warga.
Akibatnya, jurang
kaya-miskin makin menganga. Individualisme kian liar. Jalan kota yang
semrawut, macet, dan rawan kecelakaan adalah cerminan kian tumpulnya nilai
toleransi manusia kota di hadapan individualisme, di samping buruknya
penataan transportasi dan tak sepadannya jalan dengan jumlah kendaraan.
Teknologi sebagai alat
Sejauh ini kota cerdas
diidentikkan sebagai konsep penataan kota yang terintegrasi, berbasis
jaringan teknologi digital, dengan memanfaatkan arsitektur jaringan internet.
Dari jaringan itu dibangun sebuah ekosistem digital yang memungkinkan
masyarakat dan pengambil kebijakan mencari, mengakses, mentransfer, dan
mendesiminasi informasi urusan perkotaan. Sampai di situ, tampak, kota cerdas
menuntut adanya infrastruktur jaringan teknologi informasi digital di kota.
Sebagai alat, dia dapat membantu manusia menata kotanya lebih baik.
Pun, sebagai alat,
teknologi informasi akan memiliki peran signifikan bagi hadirnya kota yang
layak huni, nyaman, dan manusiawi jika kontradiksi ruang perkotaan
terselesaikan. Menyelesaikan kontradiksi ruang berarti menyusun kembali
perencanaan tata ruang kota yang didasarkan pada berbagai ragam referensi
nilai yang melatarinya sehingga
kota-kota memiliki sejarah dan keragamannya sendiri, bukan sekadar menurut
logika konsumsi atau pasar. Menyelesaikan kontradiksi juga bermakna
menyelesaikan ketimpangan dan menjadikan elemen ruang yang terpinggirkan,
seperti wilayah luar Jawa, desa, kawasan kumuh, dan masyarakat miskin dalam
pembangunan, bukan sebagai patologi ruang.
Dengan infrastruktur
digital itu, sejumlah kota modern dunia telah dinobatkan sebagai kota cerdas,
seperti Barcelona, Vancouver, Amsterdam, Singapura, dan Toronto. Namun, di
kota-kota itu peran jaringan teknologi digital hanyalah membantu
mengintegrasikan infrastruktur kota yang sudah memadai, tata kelola ekonomi
yang telah stabil, dan ketersediaan layanan publik yang baik menjadi semakin
mudah diakses publik secara real time.
Artinya, kontradiksi ruang sudah selesai di kota-kota itu.
Sayangnya,
implementasi kota cerdas di Indonesia
sejauh ini baru sekadar berupa pengadaan jaringan internet di berbagai
sudut kota, aplikasi digital, dan ruang kendali. Langkah itu nyaris tak
dimulai dengan atau disertai oleh pergerakan yang revolusioner dalam menata
kembali kota guna menyelesaikan kontradiksi.
Kota-kota di Indonesia
tumbuh dan berkembang dengan perencanaan bak centang-perenang. Tren ide
penataan timbul tenggelam karena hanya dirancang untuk kepentingan politik
sesaat elite lokal atas nama pencitraan.
Menjadikan kebijakan
kota cerdas untuk kepentingan pencitraan politik sah-sah saja. Namun, apabila
tanpa disertai dengan kebijakan menyelesaikan kontradiksi ruang secara
berkelanjutan, kota cerdas barangkali hanya akan menjadi tren sesaat, tanpa
sempat menghadirkan kota yang nyaman, layak huni, dan manusiawi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar