Puasa dan Yatim Piatu Sosial
Lies Marcoes ; Alumnus
IAIN Jakarta; Direktur Rumah Kitab
|
KOMPAS, 19 Juni 2015
Puasa dan menyantuni
yatim piatu selalu digaungkan setiap Ramadhan. Bahkan bagi yang tak bisa
puasa, dan tak bisa menggantinya di bulan lain, memberi makan anak yatim dan
fakir miskin adalah amalan yang setimpal.
Dalam Al Quran sangat
banyak ayat perintah untuk menjalankan shalat dan puasa, dilanjutkan dengan
kewajiban sosial menyantuni kaum fakir
miskin. "Dirikanlah shalat, bayarlah
zakat".
Namun, siapakah
"yatim piatu" itu? Umumnya sebutan itu dinisbatkan kepada anak-anak
yang tak berayah, tak beribu, atau tak ada keduanya. Pemaknaan itu
mengandaikan ayah-ibu adalah sumber kehidupan sekaligus perlindungan.
Padahal, struktur masyarakat dan faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi
"yatim piatu" kini
telah berubah bersama perubahan ruang
hidup dan relasi kuasa di dalamnya.
Posisi orangtua dulu
Pada masa perintah itu
diwahyukan, orangtua merupakan sumber perlindungan dengan dukungan serta
proteksi dari puak atau kaumnya. Dalam struktur masyarakat tradisional agraris, fungsi perlindungan dan daya dukung sosial, daya dukung alam,
dan mekanisme perlindungan lainnya,
yang kemudian didokumentasikan sebagai pedoman moral dalam Al Quran,
cukup jitu untuk menjalankan fungsi proteksi dan dukungan terhadap yatim piatu
dan kaum miskin.
Dalam struktur masyarakat Mekkah dan Madinah, fungsi itu
tumbuh dan bergerak dalam masyarakat komunal yang mengandalkan kekuatan
perkauman atau puak di mana para
kepala-kepala kabilah menjalankan fungsi perlindungan itu. Islam kemudian
membangun aturan yang tak hanya
normatif ideal, tetapi juga pengaturan tata cara pelaksanaannya.
Al Quran menggambarkan
dengan sangat detail bagaimana mekanisme-mekanisme perlindungan itu diatur,
seperti kewajiban membayar zakat fitrah dengan perhitungannya, yang dalam
masanya dianggap memadai untuk
menyantuni fakir miskin dan
yatim piatu.
Masalahnya, dalam
struktur sosial ekonomi modern, predikat "yatim piatu" ternyata tak
sekadar tak berayah-ibu, tetapi juga tak berayah-ibu secara sosial. Misalnya,
anak dan remaja yang ayah-ibunya bekerja di rantau atau TKI/TKW.
Dalam waktu yang bersamaan,
fungsi sosial perkauman tak lagi bisa diandalkan akibat campur tangan
korporasi, negara, dan globalisasi ekonomi. Fungsi proteksi orangtua dan kaum
tergerus habis oleh perubahan sosial yang menyebabkan munculnya yatim piatu
baru, yaitu anak-anak yang berayah ibu tetapi kehilangan seluruh daya dukung
sosialnya.
Lihat, misalnya , di
daerah-daerah di mana orangtua jadi
pekerja migran, seperti Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, serta
Kalimantan Barat dan Selatan. Angka perkawinan anak luar biasa tinggi.
Penyebabnya sangat jelas, karena anak-anak tumbuh tanpa orangtua pengganti
yang mampu memproteksi tumbuh kembang mereka.
Perubahan struktur
Perubahan-perubahan
ruang hidup telah mengubah struktur kekerabatan di desa karena sumber ekonomi
mereka musnah. Sementara sumber ekonomi pengganti seperti industri perkebunan
kelapa sawit, tambang, minyak, dan semen tak mengenal peran perlindungan
sosio-komunal. Celakanya, fungsi adat tak juga sanggup menjadi penolong,
bahkan menjadi kekuatan penekan demi
menjaga satu-satunya benteng
pertahanan mereka: harga diri perkauman.
Jadilah anak dan
remaja menjadi yatim piatu secara
sosial: tak berayah-ibu ketika mereka absen dan tak mendapat perlindungan perkauman karena
kekuatan mereka juga hilang.
Kita dapat melanjutkan
pembacaan peta ini dengan membuka statistik lain. Angka putus sekolah, angka
kematian ibu, kematian anak,
semuanya terjadi pada warga di
wilayah-wilayah yang secara nyata mengalami perubahan ruang hidup, dari hutan
rimba menjadi perkebunan sawit,
dari pertanian sawah menjadi industri
pariwisata, dari pantai dan pesisir menjadi arena tambang pasir besi.
Siapa lagi yang
menjadi yatim piatu sosial dalam
perubahan struktur masyarakat, relasi-relasi kuasa dan ruang hidup
seperti ini? Sangat jelas, yatim piatu itu ternyata tak hanya mereka yang tak
berayah ribu, tetapi juga mereka yang
kehilangan sumber-sumber perlindungan, penghidupan, dan dukungan sosial.
Dalam masyarakat yang mengglobal, perubahan dan pergeseran
ruang hidup berlangsung dahsyat dan menyebabkan munculnya warga yang secara
langsung mengalami yatim piatu seperti pada zaman Nabi; tak mandiri,
bergantung pada bantuan orang lain, rentan, dan miskin.
Perubahan ruang hidup
telah menghasilkan kekayaan melimpah di satu pihak dan eksploitasi raksasa
dengan persebaran masif di pihak lain. Perubahan itu secara nyata juga telah
mengubah hubungan-hubungan sosial ke arah hubungan eksploitatif dan menindas.
Dalam struktur masyarakat yang berubah itu, tentu predikat "yatim piatu"
telah pula berubah dan meluas.
Dalam perubahan
seperti ini, perlindungan yatim piatu
jelas membutuhkan cara pandang
baru, bukan saja pada definisi siapa itu yatim piatu, tetapi juga pada cara
untuk mengatasinya.
Kita menanti lahirnya
pemikiran sosial keagamaan yang dapat menangkap gejala yatim piatu sosial dan
mencari jawabannya lewat perintah menjalankan puasa dan menyantuni yatim
piatu dan fakir miskin. Selamat
menjalankan ibadah puasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar