Otonomi dan Diskriminasi
Robert Endi Jaweng ; Direktur
Eksekutif KPPOD, Jakarta
|
KOMPAS, 19 Juni 2015
Terbitnya instruksi
wali kota Banda Aceh belum lama ini, yang membatasi jam malam bagi perempuan
berada di luar rumah, kembali "mengonfirmasi" soal serius dalam
kehidupan publik kita. Selain esensinya yang sulit dicerna nalar dan tak
urgen dari sisi kebutuhan hukum setempat, kebijakan semacam ini selalu
berulang muncul di bumi Tanah Rencong, seperti halnya pula terjadi di kabupaten/kota
lain di Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan lain-lain tempat,
tanpa respons tegas dari pemerintah pusat.
Bias tafsir otonomi,
di antara aneka faktor lain, tampaknya jadi sebab utama. Terlebih dalam
konteks Aceh di mana berlaku status otonomi khusus dalam kadar yang melampaui
skema desentralisasi asimetris yang lazim. Di sini, agenda setting tidak saja
disusun untuk meresonansi kondisi spesifik dan keragaman lokal, juga
menyiratkan aksentuasi yang tegas untuk berlainan dari daerah-daerah
berotonomi biasa/jamak dan bahkan ingin berbeda dari kebijakan pusat. Dalam
orientasi dan bobot setara, munculnya perda bernuansa agama, regulasi
pengaturan perilaku dan tata busana, hingga pilih kasih politik alokasi
fiskal mencerminkan upaya restriksi ke dalam (internal daerah) dan
diferensiasi ke luar sebagai penegasan identitas pembeda dari daerah-daerah
lain.
Ambiguitas pemda
Desentralisasi/otonomi
di Indonesia memang didesain sebagai kerangka administratif guna mewadahi
pengaturan-pengelolaan keragaman lokal. Otonomi menjadi struktur kesempatan
baru bagi munculnya narasi dan ekspresi lokal yang pernah lama tiarap atau
tersembunyi di bawah karpet kekuasaan otokrasi-sentralistik sebelumnya.
Bahkan, dalam praktiknya yang eksesif, otonomi tak jarang bagai kotak
pandora: berhamburannya identitas-identitas lokal secara arbitrer yang dalam
interrelasinya melibatkan kontestasi tak bebas nilai dan hasrat saling
mengalahkan.
Pada perkembangan
lanjut, atas nama otonomi, daerah tampak begitu getol menegaskan perbedaannya
secara eksternal dari daerah lain atau dengan pakem kebijakan nasional,
tetapi cenderung lemah atau abai merekognisi keragaman internal daerah itu
sendiri sebagai entitas lokal yang hakikatnya memang tak tunggal. Ambiguitas
demikian membuat pemda sulit bersikap asertif atas munculnya upaya dominasi
hingga kriminalisasi oleh suatu kekuatan sosial di aras masyarakat. Tidak
saja membiarkan (crime by omission),
pemda justru turut menyulut (crime by
commission) munculnya konflik komunal yang berkelindan dengan praktik
eksploitasi/politisasi identitas.
Celakanya, ambiguitas
itu bergerak jauh merasuk ruang formil negara-lewat regulasi atau instrumen
fiskal-yang melembagakan praktik diskriminasi dalam aras kebijakan resmi
pemerintah. Otonomi tidak dikerjakan dalam mandat sejatinya untuk
mengafirmasi lapisan sosial seperti kaum marjinal, minoritas, perempuan, dan
anak yang memerlukan keberpihakan dan hadirnya negara.
Alih-alih, jamak
terjadi justru otonomi itu dipakai pemda untuk memproteksi dan memfavoritkan
mayoritas dan kelompok kuat yang sebenarnya tak perlu "dibela"
khusus/berlebihan untuk bisa meraih akses ke keadilan, proteksi, dan
seterusnya. Absennya afirmasi di satu sisi dan menonjolnya favoritisme pada
sisi lain membuat raut otonomi kita tampak sangar, mencemaskan, menghadirkan
lingkungan persoalan baru bagi kelompok warga rentan. Praktik pelembagaan
diskriminasi ini jelas menggerus otonomi sebagai ruang baru bagi hidup
bersama dan peluang mengusahakan kebaikan umum.
Dalam pengerjaannya,
diskriminasi dilembagakan lewat manipulasi kelemahan demokrasi prosedural
yang digiring sebagai demokrasi numerik dan politik legislasi
menang-menangan. Logika penyusunan kebijakan dilakukan berdasarkan hitungan
numerik mayoritas, padahal sejatinya suara terbanyak itu menjadi berbahaya
ketika urusannya sudah berkaitan dengan kepentingan minoritas dalam kerangka
kepentingan kolektif warga. Inilah sindrom desentralisasi tanpa
nation-menyitir Mochtar Pabottingi-yakni suatu purwarupa otonomi yang gersang
imajinasi kebangsaan, meski kita hidup dalam satu teritori negara, bahkan
daerah yang sama. Otonomi berpotensi gagal dalam membangun hubungan kongruen
antara sikap kedaerahan dan keindonesiaan, membuat daerah sebagai ruang hidup
bersama justru terasa menyesakkan secara sosial.
Malafungsi otonomi
tersebut berkelindan dengan penyakit akut dalam sektor publik kita yang masih
kuat mewarisi mental model dan kultur birokrasi kolonial. Dalam kasus Aceh,
kebijakan dibuat bukan untuk mengatur tanggung jawab pemda menjamin keamanan
warga (memastikan petugas satpol PP ada di tiap titik rawan, misalnya),
tetapi justru membatasi perilaku warga. Hak dasar warga untuk bergerak tanpa
batasan waktu dan tempat guna mencari sumber penghidupan terpaksa tunduk di
depan tabiat birokrasi yang malas menunaikan tugas wajibnya, atau bahkan
hanya pencitraan politik atau menyalin perhatian warga dari kinerja buruk
pemda kepada pesona daerah agamais, pemimpin religius, dan seterusnya.
Stereotip "perempuan keluar malam" dan karakter diskriminasi
(bahkan terhadap laki-laki sumber ancaman) juga inheren dalam alam pikir
kebijakan itu, alih-alih mengambil tindakan afirmasi kalau memang benar
keamanan perempuan sungguh rentan dalam kondisi rawan saat ini.
Pusat hadir
Pelembagaan
diskriminasi, beserta segala kerusakan fatal yang timbul, adalah problem pada
aras kebijakan, dan pelakunya negara itu sendiri. Sebaran kasus (beresensi
sama, beragam modus) yang terjadi di ratusan daerah saat ini menjadi bukti
nyata bahwa skala masalahnya adalah nasional. Semua itu bermuara pada satu
imperasi: pemerintah pusat harus memberi respons jelas! Bahkan jika
diskriminasi itu bernuansa (apalagi bersubstansi) agama, urusannya tentu
bukan lagi soal otonomi, meski jika otonomi itu ditafsir secara sangat lentur
seperti hidden-autonomy, tetapi sudah merupakan sebentuk subversi kebijakan
atas otoritas pusat yang-menurut UU No 22/1999 hingga UU No 23/2014-berwenang
mutlak dalam urusan agama.
Adakah bukti,
setidaknya sinyal, yang mengarah ke sana? Tidak! Pusat hanya berlagak hadir,
lewat respons normatif di pemberitaan media. Instrumen otoritatif berupa
pembatalan kebijakan dan pengenaan sanksi administrasi atas kepala daerah
hanya terkesan garang ketika dinormakan dalam beleid otonomi.
Kecuali ribuan perda
pajak, retribusi, dan investasi, hingga hari ini belum satu pun kebijakan
lokal yang melembagakan diskriminasi dibatalkan. Tidak ada terapi kejut bagi
daerah bersangkutan, serentak mencegah efek tular ke daerah lain guna
menirunya lantaran politik pembiaran pusat. Mantra Nawacita
"menghadirkan kembali negara", "menolak negara lemah",
"restorasi sosial guna memperteguh kebinekaan", entah apa lagi,
hari ini diuji secara nyata untuk membuktikan tuahnya. Aceh, juga 150 daerah
lain, menjadi ajang pembuktian. Mari kita tunggu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar