Senin, 08 Juni 2015

Harga Komoditas di Tangan Spekulan

Harga Komoditas di Tangan Spekulan

Augustinus Simanjutak  ;   Dosen Etika Bisnis Program Manajemen Bisnis FE Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 08 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
DALAM kegiatan bisnis dan ekonomi yang beradab, sebenarnya tidak pernah dan tak akan pernah terjadi kebebasan yang mutlak dalam penentuan harga sebuah produk. Setiap pihak yang terlibat dalam mekanisme pasar pasti dibatasi oleh peradaban dan kewajaran dalam berdagang. Hanya, jika peradaban sebagian pelaku bisnis berada di zona merah (penuh mafia dan spekulan), penentuan harga bakal anarkistis (merugikan banyak pihak).

Transaksi bisnis yang mengambil untung dari kerugian orang lain tidak etis. Transaksi itu biasanya dilakukan oleh pihak yang menginginkan untung besar lewat sistem borong (timbun) dan menjual dengan selisih harga yang tinggi. Misalnya, menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), ada oknum yang langsung memborong BBM untuk mengambil untung dari selisih harga lama dan baru. Spekulan BBM tidak selalu bisa dideteksi aparat hukum, terutama yang kadar penimbunannya tidak ekstrem.

Dalam bisnis properti, para spekulan rumah juga mendominasi transaksi demi meraih hasil jual yang jauh lebih tinggi. Akibatnya, masyarakat ekonomi menengah dan bawah semakin sulit memiliki rumah yang harganya terus membubung tinggi. Bahkan, menurut riset konsultan properti Knight Frank (2014), kenaikan harga rumah di Indonesia berada pada posisi nomor dua tertinggi di Asia, yakni 7,4 persen dari kuartal II 2013 hingga II 2014.

Posisi pertama diduduki Malaysia dengan kenaikan 8 persen. Kondisi itulah yang dikhawatirkan bisa memicu gelembung (bubble) harga rumah, yang sewaktu-waktu bisa pecah dan memicu krisis ekonomi seperti kasus subprime mortgage di Amerika Serikat (2007–2008).

Di sektor pangan (2011), pasokan cabai pernah menurun drastis di pasaran akibat ulah spekulan sehingga harganya sampai menyentuh Rp 100.000 per kilogram. Pada 2009, harga gula di pasar tradisional yang normalnya Rp 6.500–Rp 7.500 per kilogram tiba-tiba melonjak di kisaran Rp 10.000 per kilogram. Lonjakan harga gula yang ”pahit” itu pun diduga akibat ulah spekulan.

Di sektor nonriil, aksi borong juga sering mewarnai pasar saham di bursa. Ketika harga saham masih rendah atau saat IPO (initial public offering), banyak pelaku pasar yang langsung memborongnya. Saat harga saham sudah tinggi, mereka menjualnya kembali hingga meraih untung (capital gain) yang setinggitingginya dalam waktu singkat (buy low, sell high). Akibatnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) terus berfluktuasi dan berpotensi membentuk economic bubble yang sewaktu-waktu bisa pecah dan memicu krisis ekonomi.

Itulah beberapa catatan terkait gejala bisnis spekulan yang semakin ngetren di era bisnis postmodern. Ideologinya ialah untung cepat dan besar meskipun harus merugikan orang lain. Mereka tidak menyadari bahwa penimbunan bisa memicu kelangkaan dan kenaikan harga barang secara liar. Padahal, menurut James Kellock, bisnis spekulasi justru menurunkan produktivitas para pelakunya karena hanya memainkan harga produk yang sudah ada.

Peran dan Kendali Negara

Para spekulan umumnya telah kehilangan minat untuk hal-hal yang baik di masyarakat (antisosial). Mereka senang berperilaku anarkistis soal harga. Karena itu, peran negara dibutuhkan lewat penentuan harga acuan, terutama harga komoditas yang penting bagi masyarakat. Jika negara membiarkan harga ke mekanisme pasar, para spekulan bakal mengambil alih penentuan harga. Pemerintah perlu bekerja sama dengan banyak pengusaha untuk mewujudkan harga yang adil.

Lalu, pemerintah perlu menindak tegas setiap pedagang bahan pangan yang menimbun atau memainkan harga. Penetapan harga acuan tidak mengarah pada ekonomi sosialis yang otoriter, tetapi sebuah langkah kebijakan sebagai penganut sistem ekonomi campuran ( mixed economy). Yaitu, menciptakan keseimbangan antara peran negara dan swasta dalam kegiatan perdagangan. Tujuannya ialah melindungi kepentingan masyarakat tanpa perlu menasionalisasi industri/sektor produksi.

Pemerintah wajib berperan besar dalam hal regulasi harga dan penataan stok barang serta memperlancar distribusi/pemasaran. Dari dulu (sejak lahirnya UUD 1945), kita memang menganut sistem ekonomi campuran yang tidak melepas nasib kehidupan rakyat ke mekanisme pasar. Hal itu sesuai pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Juga ayat (3) yang berbunyi: Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kita selama ini menafsir cabang-cabang produksi yang penting itu hanya terkait produk BUMN/ BUMD seperti energi dan air. Akibatnya, pengendalian harga oleh pemerintah hanya berlaku untuk produk BUMN/D. 
Sebab, produk itulah yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak.

Padahal, bahan pangan pun sudah berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Jadi, wajar saja apabila harga komoditas yang penting bagi rakyat dikendalikan oleh negara melalui penerapan harga acuan. Apalagi, kesenjangan antara volume bahan pangan dan kebutuhan masyarakat masih tinggi. Produk bahan pangan bagi rakyat belum melimpah ruah di pasar. Jadi, selain terus melakukan operasi pasar (jangka pendek) serta menambah lahan pertanian dan peternakan (jangka panjang), negara wajib memperkuat regulasi dan intervensi atas harga komoditas demi kesejahteraan seluruh rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar