Agar
Suara Itu Tidak seperti Itu
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 08 Juni 2015
Saya tidak akan
menulis tentang penetapan saya sebagai tersangka proyek gardu induk PLN di
kolom ini. Agar Jawa Pos dan jaringan media dalam grupnya tidak menjadi
corong saya pribadi. Media harus menjadi corong siapa saja.
Untuk "corong
pribadi" itu saya bisa membangun "koran saya sendiri". Agar
jangan mengganggu Jawa Pos Group. "Koran" itu saya beri nama
"Gardu Akal Sehat Dahlan Iskan". Bisa dibaca di
www.gardudahlan.com.
Bahkan, sebenarnya
saya ingin mengakhiri kolom New Hope ini. Bukan karena saya malu menjadi
tersangka, tapi agar tidak mengganggu citra Jawa Pos Group. Ketika niat itu
saya sampaikan ke redaksi Jawa Pos, mereka menolak. Mereka tetap meminta saya
menulis New Hope setiap Senin.
***
Ok. Kali ini tentang
besarnya harapan dunia. Agar Islam di Indonesia bisa mewakili "suara
Islam". Ini tecermin dari forum Islam Nusantara yang diselenggarakan di
gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 29 Mei lalu. Salah satu
kesimpulannya: Umat Islam di Indonesia harus mampu mengubah kesan tentang
Islam.
Selama ini, khususnya
di dunia Barat, setiap menyebut Islam konotasinya langsung: Arab, Timur
Tengah, konflik, kekerasan, teror.
Dua orang ahli Islam dari
Amerika Serikat jadi pembicara. Salah satunya bernama Prof Dr James B.
Howestry. James lama tinggal di pesantren Aa’ Gym di Bandung, di masa puncak
popularitas Aa’ Gym. ”Saya sendiri sampai dipanggil Aa’ James,” guraunya. Aa’
Gym, yang duduk di barisan belakang forum itu, terlihat tersenyum. James
melihat uniknya Islam di Indonesia. Damai dan toleran.
Bintang forum itu
adalah Ustad Shamsi Ali, yang di New York dikenal sebagai Imam Shamsi. Beliau
lahir di pedalaman Sulawesi yang miskin, sekolah di Makassar, dapat beasiswa
sampai S-2 di Pakistan, bekerja di Arab Saudi, dan sejak 20 tahun jadi imam
di New York. Bahasa Inggrisnya sudah tidak berbau Sulawesi sama sekali. Jauh
beda dengan bahasa Inggris saya yang Njawani.
Kesalahpahaman
terhadap Islam banyak dibahas hari itu. Orang-orang yang memaki Islam
biasanya belum pernah ketemu orang Islam. Apalagi ketemu Imam Shamsi yang
selalu tersenyum. Dulu pun, saya sering salah paham. Saya ceritakan, sampai
lulus madrasah aliyah (SMA), saya belum pernah ketemu orang yang beragama
Kristen. Apalagi Yahudi.
Di madrasah itu,
misalnya, pelajaran sejarah masuknya Islam ke Spanyol hanya menceritakan dari
sisi Islam. Saya tidak pernah dapat materi bagaimana dari sisi Kristen.
Ternyata, belakangan, saya ketahui bahwa anak-anak Kristen di Amerika juga
mempelajari sejarah itu. Tapi, juga hanya dari sisi Kristen. Begitu bertolak
belakang. Riwayat kesalahpahaman sudah terbangun ribuan tahun. Tidak akan
habis memperdebatkan itu.
Maka, saya lebih
menekankan aspek praktisnya. Ini kalau Indonesia diharapkan bisa mengubah
citra Islam di dunia. Tapi, peran baru ini baru akan efektif kalau dua hal
ini bisa kita penuhi.
Pertama, ekonomi
Indonesia harus sejajar dengan negara maju. Suara orang miskin cenderung
diabaikan. Di bidang apa pun. Ini kenyataan.
Kedua, demokrasi di
Indonesia tidak boleh gagal. Demokrasi kita yang sudah (atau baru) berumur 15
tahun ini masih harus dimatangkan. Lembaga-lembaga hukum dan lembaga-lembaga
politik masih agak jauh dari standar sebuah negara demokrasi.
Untuk yang pertama,
saya mengambil contoh Hongkong. Ketika Tiongkok masih miskin, orang Hongkong
memandang Tiongkok dengan nada merendahkan. Orang Hongkong yang berbahasa
Kanton tidak mau belajar bahasa Mandarin. Dianggap bahasanya orang kampung. Setelah
Tiongkok maju, pandangan itu berubah 180 derajat. Mereka kini dihidupi
Tiongkok.
Potensi Indonesia
untuk bisa menjadi negara maju sudah terlihat jelas. Sudah di depan mata.
Jangan sampai mundur lagi. Saya pernah menulis dalam waktu lima tahun ke depan
(waktu itu, saya tulis tujuh tahun), Indonesia bisa menjadi negara terbesar
ke-9 di dunia di bidang ekonomi. Kalau sampai kejayaan itu terjadi, nama
Indonesia melambung di dunia. Suara Islam dari Indonesia otomatis kian
didengar.
Demikian juga di bidang
demokrasi. Negara-negara Barat benci dengan yang bersifat otoriter. Tentu
kita melihat mereka masih menggunakan standar ganda. Buktinya, mereka
baik-baik saja dengan negara yang tidak demokratis seperti Singapura.
Kalau kita bisa
membuktikan bahwa Islam benar-benar kompatibel dengan demokrasi dan Islam
tidak menjadi hambatan bagi kemajuan ekonomi, maka akan sempurna: Islam,
maju, demokrasi.
Tentu kita tidak perlu
menunggu kesempurnaan itu. Langkah harus terus dilakukan sejak tahap apa pun.
Sambil menunggu kesempurnaan itu, saya mengusulkan perlunya dibangun forum
”negara-negara demokrasi yang mayoritas penduduknya Islam”. Jangan lihat
kualitas demokrasi di masing-masing negara itu. Demokrasi kita pun belum
sempurna. Dengan kriteria itu, kini setidaknya ada 10 negara berpenduduk
mayoritas Islam yang menganut sistem demokrasi.
Indonesia-Turki,
atau Turki-Indonesia, kelihatannya bisa menjadi promotor forum 10 negara itu.
Dengan nama apa pun. Ini akan menjadi suara Islam yang ”tidak seperti itu”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar