Senin, 08 Juni 2015

Momentum Revitalisasi BUMDes

Momentum Revitalisasi BUMDes

Chusainuddin  ;   Anggota Komisi C DPRD Jatim Fraksi PKB
JAWA POS, 08 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
TAHUN 2015 merupakan momentum tepat untuk mereformasi desa. Asumsi tersebut didasarkan pada dua hal. Pertama, tahun ini merupakan masa pengimplementasian UU No 6/2014 tentang Desa. Setelah disahkan awal 2014, UU Desa tidak bisa seketika diimplementasikan karena harus disusun terlebih dahulu peraturan pemerintah (PP) sebagai panduan teknis pelaksanaan UU. 

Setelah menunggu hampir setahun, beberapa PP penting sudah diterbitkan pemerintah. Konsekuensinya, beberapa klausul dalam UU Desa sudah bisa diimplementasikan. Misalnya, mulai disalurkannya dana alokasi desa untuk menunjang restorasi dan revitalisasi desa.

Kedua, selain pemberlakuan UU Desa, tahun 2015 juga menjadi momentum pelaksanaan pasar bebas MasyarakatEkonomiASEAN(MEA). MEA, sebagaimana juga WTO dan AFTA, merupakan kompetisi ekonomi global/regional. Namun, sekalipun berdomain di level global/ regional, sesungguhnya peran ekonomi lokal sangat vital dalam pasar ekonomi global/regional tersebut. Sebagaimana dikatakan Mugasejati (2014), dalam era globalisasi, batasbatas teritorial negara sudah lebur sehingga yang menjadi pemain utama dalam kompetisi ekonomi global bukan lagi pemerintah pusat, melainkan aktor-aktor di daerah. Termasuk aktor-aktor dari unit pemerintahan terkecil, yakni desa. Karena itu, desa juga harus menyiapkan diri dalam menyongsong pemberlakuan MEA 2015.

Lokomotif Perekonomian Desa

Dalam buku Perencanaan Desa Wisata Berbasis Pembangunan Berkelanjutan (2013), Tripitono Adi Prabowo mengidentifikasi permasalahan yang dialami banyak desa di Indonesia adalah kemiskinan. Mengutip hasil temuan Chambers (1983) dan Todaro (2003), kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks dan siklikal (vicious circle). Secara umum suatu keluarga yang miskin selalu disebabkan kombinasi terlalu banyaknya anggota keluarga dan rendahnya produktivitas usaha keluarga tersebut. Namun, ketika ditelisik mendalam ”mengapa keluarga tersebut miskin?”, salah satu jawabannya, ”mereka tidak berpendidikan (sekolah) sehingga tidak bisa bekerja”. Lantas, ”mengapa mereka tidak sekolah?” Jawabannya akan kembali ke atas, yaitu ”karena miskin”. Kondisi demikianlah yang disebut sebagai deprivation trap (jebakan kemiskinan).

Merujuk pada identifikasi masalah di atas, sektor badan usaha milik desa (BUMDes) menjadi salah satu opsi sektoral dalam tubuh kelembagaan desa yang harus segera didirikan, direvitalisasi, ataupun dibina. Pertimbangannya, BUMDes memiliki potensi sebagai katalisator pertumbuhan produktivitas kolektif masyarakat desa serta memberikan kontribusi pendapatan kepada kelembagaan desa.

Sebenarnya, secara historis, BUMDes bukan hal yang asing bagi sebagian masyarakat desa di berbagai daerah. Dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, maupun Permendagri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa sudah disebutkan tentang klausul pendirian BUMDes. Namun, selama ini pengelolaan BUMDes masih belum dijalankan dengan nalar profesional. Maka, dengan adanya UU No 6/2014 tentang Desa yang didukung PP No 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6/2014, diharapkan optimalisasi kontribusi BUMDes bagi perekonomian lokal terus meningkat.

Hal tersebut penting karena kontribusi BUMDes terhadap perekonomian desa cukup vital. BUMDes merupakan perwujudan dari pengelolaan ekonomi produktif desa yang dilakukan secara kooperatif, partisipasif, emansipatif, transparan, akuntabel, dan sustainable (PKDSP, 2007). Bayangkan, jika dapat dikelola dengan nalar yang lebih profesional, BUMDes akan benar-benar mampu menjadi lokomotif penggerak perekonomian masyarakat desa yang berbasis sistem perekonomian impian Bung Hatta.

Prioritas Pendirian BUMDes

Dalam UU No 6/2014 telah diatur mengenai pengalokasian secara khusus dari APBN untuk pembangunan desa yang disebut alokasi dana desa (ADD). Tujuannya, postur anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) memiliki ruang fiskal yang lega sehingga pemerintah desa dapat menyusun rencana pembangunan desa secara leluasa. Merujuk data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), rencananya pertengahan Mei 2015 cair ADD periode pertama, yakni 40 persen dari total Rp 20,7 triliun atau sekitar Rp 8 triliun. Sedangkan tahap kedua, sekitar Agustus, rencananya cair lagi 40 persen. 
Tahap ketiga, akhir 2015, cair 20 persen. Dengan jumlah tersebut, 72.944 desa diestimasikan, rata-rata, akan menerima ADD Rp 283,77 juta.

Sejauh ini, berdasar berbagai informasi yang beredar di lapangan, mayoritas para aparatur desa lebih memilih memanfaatkan ADD tersebut untuk menunjang pembangunan infrastruktur desa. Namun, melihat manfaat kehadiran BUMDes, alangkah baiknya juga pemerintah desa mengalokasikan lebih dana ADD untuk pendirian maupun revitalisasi BUMDes. Sebab, hanya dengan political will yang tinggi dari pemerintah desa serta supervisi yang serius dari pemerintah di atasnya terhadap BUMDes, citacita pemerintahan Jokowi-JK untuk pengembangan 69.000 BUMDes baru dapat terealisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar