Jumat, 02 Agustus 2013

Suap di Jantung Hukum

Suap di Jantung Hukum
Launa  ;   Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia
          SINAR HARAPAN, 01 Agustus 2013


Korupsi, suap, dan perburuan rente sesungguhnya adalah kanker ganas di rahim demokrasi.

DS bukan seorang hakim agung. Ia hanya staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung (MA). Namun sepak terjang DS kian menegaskan betapa rumit praktik suap-menyuap perkara di MA. DS ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga membantu pengacara memuluskan perkara.

DS tertangkap basah membawa uang Rp 78 juta di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, pekan lalu. Uang itu diduga merupakan suap dari seorang pengacara dari salah satu kantor pengacara ternama di Jakarta. Kasus suap ini terkait dengan penanganan perkara kasasi di lembaga peradilan tertinggi yang menjadi jantung hukum dan keadilan tersebut.

Kenapa fenomena suap—terutama yang bermodus “menyogok” aparat hukum—terus beroperasi apik di negeri ini? Mengutip ahli sejarah Ramsay MacMullen dalam Corruption and The Decline of Rome (1998), kita menjadi mafum, betapa peradaban gemilang Romawi pun runtuh karena penyakit rasuah yang sungguh ganas ini.

Dengan beragam modus dan manifestasinya, suap—sebagai salah satu bentuk korupsi—kini telah menjadi penyakit paling mematikan. Tiada hari tanpa suap. Tiada instansi negara yang bebas suap. Negeri ini sungguh telah menjadi sarang hidup para penyuap.

Dalam balutan sistem suap-menyuap ini, para pengacara, birokrat, politikus, dan pejabat negara cenderung mengompromikan berbagai penanganan perkara dan putusan hukum demi keuntungan pribadi, kelompok, dan golongan. Di negeri ini, suap yang diotaki para politikus, birokrat, aktor parlemen, dan pejabat negara beroperasi riuh seperti di pasar gelap, tempat di mana kekuasaan secara ilegal dan ditukar dengan uang. Impor daging, pangan, dan kebutuhan pokok rakyat pun tak lepas dari suap.

Dengan imunitas yang dimiliki, para hamba hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) telah menjadi para penyuap terganas. Demokrasi yang diisi para penyuap lebih peduli pada kenikmatan sesaat. Mereka tak hanya gemar berbohong, menebar citra, dan memutar balik fakta, namun juga hobi memanipulasi data dan angka.

Korupsi Politik

Fenomena penegak hukum, politikus, dan pejabat penyuap dengan sistem korup yang melatarinya laksana dua sisi mata uang. Dalam situasi seperti ini, para penegak hukum dan telah memperlakukan hukum negara layaknya bisnis pribadi.

Di sini, keuntungan pribadi menjadi dasar pengambilan kebijakan publik; seperti dilansir Mancur Olson dalam The Rise and Decline of Nations: Economic Growth, Stagflation, and Social Rigidities (1982).

Menurut Olson, yang memperkenalkan konsep ‘distribusi koalisi’ (distributional coalition) koalisi ini adalah jejaring mirip kartel (cartel-like network) yang bertujuan meraup rente ekonomi sebesar-besarnya bagi para anggota kartel (penegak hukum, politikus, pejabat korup, dan pengusaha hitam).

Perilaku mereka dipastikan akan mengorbankan kepentingan publik, sebab aktivitas rente ekonomi yang perankan para penegak hukum, politikus, dan pejabat korup menjadi kegiatan yang membunuh keadilan dan membangkrutkan ekonomi negara.
  
Mengutip Kotari (1976), dalam kondisi demikian, negara telah berubah menjadi governance as private enterprise, di mana kepentingan swasta telah menyatu dengan tujuan pengambil kebijakan publik. Konsekuensinya, kepentingan publik kerap dikorbankan.

Data survei Global Corruption Barometer (GCB) 2013 yang dirilis TII, dengan menggunakan responden 114.000 orang di 107 negara menunjukkan bahwa lembaga kepolisian menduduki peringkat pertama terkorup, diikuti parlemen serta lembaga peradilan.

Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menunjukkan, sepanjang 3,5 tahun pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) berjalan, tidak ada vonis yang sungguh membuat koruptor jera. Hukuman yang dijatuhkan didominasi hukuman ringan dengan pidana penjara di bawah 5 tahun.

Dari 461 kasus korupsi yang terpantau, vonis di atas 2 tahun hingga 5 tahun penjara hanya dijatuhkan terhadap 217 terdakwa, serta vonis di atas 10 tahun penjara hanya kepada lima terdakwa. Krusialnya, tak sedikit koruptor yang dinyatakan bebas.

ICW juga mencatat, setidaknya ada 84 hakim tipikor di 14 pengadilan tipikor (tingkat provinsi) yang diduga bermasalah terkait aspek integritas, kualitas, dan administratif. Menurut ICW, selama 3,5 pengadilan perjalanan tipikor, sedikitnya ada lima hakim yang ditangkap KPK karena diduga terlibat tindak pidana korupsi.

Perburuan Rente

Pola korupsi politik dan perburuan rente dapat ditelusuri dari relasi patron-clientship antara birokrasi dan pengusaha selama Orde Baru memunculkan wacana rent seeking dalam konteks ekonomi-politik Indonesia.

Studi perburuan rente (rent seekers) diperkenalkan pertama kali oleh Gordon Tullock dalam tulisannya di Western Economic Journal, "The Welfare Costs of Tariffs, Monopolies, and Theft" (1967). Gagasan Tullock kemudian dikembangkan Anne Krueger pada 1973 untuk menganalisis fenomena perburuan rente dalam konteks ekonomi-politik Orde Baru.

Menurut Michael Ross dalam Timber Booms and Institutional Breakdown in Southeast Asia (2001), pemburu rente dibagi ke dalam tiga tipe. Pertama, tipe rent creation, di mana korporasi mencari keuntungan yang dibuat oleh negara dengan menyogok politikus dan birokrat. Kedua, tipe rent extraction, di mana politikus dan birokrat mencari keuntungan dari perusahaan dengan mengancam perusahaan melalui berbagai regulasi dan peraturan. Ketiga, tipe rent seizing, di mana para aktor negara mendapatkan hak mengalokasikan rente yang dihasilkan dari anggaran negara untuk kepentingan individu atau kelompoknya.

Dalam Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in An Age of Markets (2004), Paul M Johnson dkk menyebut fenomena pemburu rente yang tumbuh subur di era Soeharto telah mendaulat Orde Baru sebagai negara-predator (predatory-state), di mana kebijakan negara atas pengadaan barang dan jasa publik “diperjualbelikan” oleh para politikus dan pejabat untuk mendapatkan dukungan politik.

Kelompok-kelompok pemburu rente inilah yang di era reformasi bermetamorfosis menjadi predator baru. Mereka menguasai lembaga yudikatif, eksekutif, dan legislatif, dari tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten/kota.

Dalam situasi demikian, korupsi, suap, dan perburuan rente sesungguhnya adalah kanker ganas yang tumbuh di rahim demokrasi. Demokrasi yang dibangun kaum oligarkis—meminjam istilah Olle Tornquist (1999)—hanya menghasilkan “demokrasi kaum penjahat”.


Di Indonesia, korupsi politik (state capture) dan korupsi birokrasi (petty corruption) yang diperankan para penegak hukum, politikus, aktor parlemen, dan pejabat telah berjalin-kelindan dengan tata kelola pemerintahan yang terus memburuk (bad governance).

Tak heran, jika berbagai upaya yang dilakukan KPK, kejaksaan, dan kepolisian tak pernah bisa efektif karena korupsi politik dan perburuan rente adalah praktik yang diinisasi langsung dari jantung penegakan hukum yang di-back up penuh oleh penguasa negara bermental pencuri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar