Jumat, 02 Agustus 2013

Konstelasi Baru di Timur Tengah

Konstelasi Baru di Timur Tengah
Ibnu Burdah  ;   Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
          MEDIA INDONESIA, 01 Agustus 2013


TUMBANGNYA Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir menandai melemahnya salah satu poros baru yang belum lama terbentuk di Timur Tengah. Poros baru itu diikat oleh sentimen ideologis yang sama yakni Islamis Ikhwani. Poros itu terdiri dari Turki di bawah pemerintahan AKP, Tunisia di bawah al-Nahdhah, Mesir di bawah Partai Hurriyah wa Adalah, dan pada tingkat tertentu Maroko di bawah Hizbal-Adalah wa al-Tanmiyyah. Kelompok-kelompok gerakan Islam yang sangat signifikan seperti di Palestina, Yordania, Suriah, Kuwait, dan di banyak negara Arab serta dunia Islam juga menjadi bagian dari poros baru ini.

Seluruh kekuatan itu sedang menghadapi tantangan yang sangat berat di dalam negeri masing-masing, terutama mereka yang sedang berkuasa di pemerintahan. Skenario `Mesir' menjadi bayang-bayang mengerikan.

Poros itu sebenarnya diharapkan kehadirannya di kawasan terutama untuk mencairkan ketegangan panjang di antara dua poros utama di Timur Tengah yang telah mengeras sejak 1980-an. Yakni, poros negara-negara Arab pro-Barat versus poros Iran yang terdiri dari Iran, Suriah, Hezbollah Libanon, dan pada tingkat tertentu Irak di bawah Nurial-Maliki. Dalam berbagai isu besar, dua poros lama itu berhadapan dan membuat kawasan sulit menciptakan solusi kreatif untuk keluar dari konflik. Kedua kelompok tersebut bertarung hebat di Irak, di Libanon, di Palestina, dan puncaknya dalam perang Suriah hingga sekarang ini.

Pemecah kebuntuan

Kehadiran poros baru yang dipelopori Mesir dan Turki itu sebenarnya sangat mem bantu untuk memecahkan berbagai kebekuan hubungan antarkekuatan yang ada di Timur Tengah sekarang. Poros ini sejak semula mulai memperlihatkan `kemandirian' dalam pergaulan di kawasan. Mereka dekat dengan poros Barat, tetapi juga tidak antipati dan cukup luwes bergaul dengan Iran. Mesir di bawah Mursi, misalnya, sangat dekat dengan kelompok pertama terutama dengan negara-negara Arab teluk khususnya Qatar. Namun, pada sisi yang lain mereka juga berani membangun hubungan yang dekat dengan Iran. Turki juga demikian, sangat dekat dengan d negara-negara Barat dan pron Barat sekaligus dengan negaranegara dan kekuatan-kekuatan islamis poros Iran.

Patut disesalkan poros yang belum lama terbentuk itu seperti `buyar' seketika dengan tumbangnya IM di Mesir. Secara mental dan historis, IM di Mesir ialah induk di Mesir ialah induk dan pemimpin dari kekuatan-kekuatn yang berada di poros ini. Oleh karena itu, negara dan kekuatan yang berada di poros tersebut sangat terpukul dengan peristiwa tragis itu. Apalagi, kejatuhan pemerintahan IM yang dipilih melalui proses demokrasi diakibatkan gerakan massa yang didukung oleh kekuatan bersenjata, bukan melalui pemilu.

Hamas diam, hampir tak berkomentar apa pun me ngenai peristiwa itu kendati mereka sangat memerlukan kedekatan dengan penguasa baru Mesir untuk memperingan beban mereka akibat isolasi Israel. Para pemimpin Turki dan Tunisia melontarkan kecaman sangat keras terhadap apa yang terjadi di Mesir.
Di kedua negara itu, massa `Islamis Ikhwani' melakukan unjuk rasa besar-besaran mengecam `kudeta' Mesir. Mereka menyatakan secara tegas bahwa yang terjadi di Mesir ialah kudeta militer terhadap pemerintahan yang sah. Peristiwa itu, menurut mereka, tak bisa diterima sama sekali. Lebih dari itu, Turki di bawah Erdogan sepertinya memainkan peran penting dalam memimpin perlawanan Islamis Ikhwani terhadap kudeta itu. Erdogan tampaknya juga terus menggalang dukungan untuk mengisolasi Mesir di bawah rezim `militer'.

Isu kunci

Ada beberapa perubahan nyata yang barangkali segera terjadi dalam isu-isu yang masih hangat di kawasan terkait dengan peristiwa ini. Pertama, isu perjuangan Palestina untuk merdeka. Dukungan Mesir terhadap Hamas diperkirakan turun tajam. Jika pemerintahan Mursi mulai menganakemaskan Hamas, pemerintahan transisi itu hampir bisa dipastikan lebih dekat kepada Fatah. Isu perjuangan Palestina tetaplah sesuatu yang penting bagi Mesir, tetapi mereka mungkin akan membangun hubungan yang sedikit lebih baik dengan Israel daripada masa Mursi. Proses perundingan dalam soal Israel-Palestina jelas akan lebih menonjol daripada pilihan perjuangan senjata seperti dilakukan Hamas.

Kedua, mengenai Suriah. Tak ada perubahan secara drastis yang mungkin akan terjadi di Suriah akibat tumbangnya IM di Mesir. Mesir hampir bisa dipastikan tetap mendukung pejuang oposisi. Perbedaannya, kemungkinan ialah jika pada masa Mursi porsi terbesar dukungan diarahkan kepada oposisi Islamis Ikhwani, pada masa transisi ini akan difokuskan kepada kelompok yang lain. Porsi keterlibatan Mesir di Suriah mungkin sedikit turun mengingat hal itu satu poin kelemahan pe merintahan Mursi menurut pemerintah sekarang.

Hanya saja, reim Mesir baru zim Mesir baru mungkin tak selincah rezim Mursi dalam mer acik hubungan kuartet kawasan untuk penyelesaian krisis Suriah. Kuartet yang pernah diga lang Mursi itu terdiri dari Mesir, Iran, Turki, dan Arab Turki, dan Arab Saudi. Mereka akan mudah menjalin hubungan dengan negara yang disebut terakhir yang begitu bersukacita dengan kejatuhan IM, tetapi dengan Turki dipastikan rezim ini akan mengalami hambatan serius. Dengan Iran, pemerintahan baru Mesir diperkirakan juga sedikit lebih menjauh. Sebab, salah satu kritik yang sering dilontarkan untuk pemerintahan Mursi ialah kedekatannya dengan Iran. Apalagi, beberapa tokoh Iran juga melontarkan pernyataan sangat keras terhadap apa yang terjadi di Mesir.

Ketiga, mengenai nasib pemerintahan `Ikhwani' di Turki, Tunisia, dan Maroko. Secara umum, tumbangnya IM di Mesir sangat berpengaruh terhadap mental kekuatan-kekuatan poros Islamis Ikhwani di Timur Tengah. AKP Turki yang memiliki prestasi gemilang sekalipun akan dibayang-bayangi skenario Mesir terjadi terhadap mereka. Apalagi, protes yang dipicu pengembangan kawasan Taqsim belum sepenuhnya reda.

Demikian pula dengan pemerintahan Islamis Ikhwani di Tunisia, mereka tentu mencemaskan, apa yang terjadi di Mesir mendorong musuh-musuh dalam negerinya untuk melakukan hal yang sama. Apalagi, kondisi Tunisia pasca-Bin Ali juga tak jauh lebih baik daripada Mesir pada masa Mursi. Musuh-musuh al-Nahdhah sudah mulai menyebut-nyebut kemungkinan skenario Mesir terjadi di negeri itu. Bahkan Jenderal Sisi, `penguasa baru Mesir' menyerukan kekuatan oposisi Tunisia untuk menjatuhkan penguasa Islamis al-Nahdhah.


Di Maroko, gelombang demo untuk menjatuhkan pemerintahan `Ikhwani' sangat kencang. Penulis yang tak kurang dari 20 kali melebur dalam demo antipemerintah di Maroko sangat yakin jatuhnya Ikhwani membawa pengaruh signifikan terhadap mental gerakan rakyat itu terutama dalam menuntut mundurnya pemerintahan Islamis di bawah kepemimpinan Binkiran. Wallahu a'lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar