Rabu, 21 Agustus 2013

Sekularisme sebagai Represi Ideologi

Sekularisme sebagai Represi Ideologi
Rene L Pattiradjawane ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 21 Agustus 2013


Majalah bergengsi Inggris, The Economist, akhir pekan lalu, muncul dengan sampul bertajuk ”The Battle for Egypt”, menggambarkan seriusnya persoalan demokrasi, sekularisme, dan tentara di Mesir yang membahayakan stabilitas kawasan dan dunia secara umum. Kita menilik persoalan Mesir sebagai perubahan persepsi, dimulai dari pembebasan melawan tirani berubah menjadi politik sekuler melawan islamisme.
Pemimpin India yang paling berpengaruh dengan ajarannya, ahimsa, Mohandas K Gandhi, mungkin benar dengan pernyataannya, ”Mereka berpikir agama bisa dipisahkan dari politik, tidak mengerti sama sekali tentang agama atau politik.”
Tajuk The Economist mengingatkan dunia agar bertindak tanggap. Celakanya, kutukan dalam berbagai pernyataan pemimpin dunia setelah pembersihan pendukung Presiden Muhammad Mursi dan Ikhwanul Muslimin (IM) meninggalkan ratusan korban jiwa, mengabaikan kenyataan demokrasi di Mesir sudah ditegakkan dan dirontokkan atas nama sekularisme.
Banyak pertanyaan muncul, termasuk apakah krisis Mesir sebenarnya terletak dalam politik Islam seperti yang terjadi di Aljazair, Libya, sampai Suriah. Dalam konteks Mesir, kita melihat oposisi IM terhadap pemerintahan Mubarak, misalnya, lebih pada individu penguasanya, bukan rezim kekuasaannya.
Setelah pemilu demokratis di Mesir setahun lalu, tidak terdengar perbincangan tentang otoritarianisme, korupsi, penyiksaan, dan ketakwaan terhadap ”dikte” kebijakan luar negeri AS atau paket bantuan yang mendukung kediktatoran militer di Kairo sebesar 2 miliar dollar AS setiap tahun. Semua masalah kronis Mesir dan negara Timur Tengah lain tidak pernah mendorong terjadinya oposisi secara islami.
Ada beberapa faktor yang terlintas melihat perubahan drastis dan berbahaya di Mesir. Pertama, lingkungan global yang ambivalen menyebabkan demokrasi tidak diterima secara utuh, baik oleh negara besar dan maju maupun negara-negara regional. Ketidaksukaan negara-negara Barat melecehkan demokrasi IM atau perilaku Arab Saudi menulis cek kosong bagi kelompok militer melawan IM menjadi pemicu kesengsaraan menuju kematian sia-sia, seperti yang terjadi di Suriah.
Faktor kedua, berbeda dengan Turki dan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, kita perlu berpikir ulang mengenai berbagai asumsi selama ini tentang demokratisasi, khususnya peranan keagamaan dalam proses tersebut. Berbeda dengan negara Barat, pandangan keagamaan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pemilu di negara-negara Asia.
Faktor ketiga, dinamika politik Mesir dikangkangi oleh kelompok militer saja dan kelompok ekonomi Mesir tidak berkompetisi langsung dalam proses pemilu. Tidak adanya kekuatan partai politik yang dominan berhadapan dengan IM menyebabkan hilangnya sikap pragmatis, termasuk dari kelompok militer, menghadapi perubahan.

Selama negara-negara demokratis di seluruh dunia tidak bisa menghargai proses demokrasi sebagai pilihan yang benar, selama itu pula kekisruhan dan pengorbanan jiwa dalam proses politik di negara-negara Islam akan terbengkalai. Sekularisme dianggap sebagai represi ideologi penuh dengan despotisme, kediktatoran, dan pelecehan hak asasi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar