Rabu, 21 Agustus 2013

Perempuan Mengisi Kemerdekaan

Perempuan Mengisi Kemerdekaan
Siti Muyassarotul Hafidzoh ;   Litbang PW Fatayat NU DIY,
Peserta Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 20 Agustus 2013


Memasuki usia kemerdekaan yang ke-68, Indonesia mempunyai banyak tantangan yang sangat kompleks. Jangan sampai perayaan kemerdekaan hanya sebatas seremonial semata, tanpa ada inspirasi perubahan dan semangat untuk mengisi kemerdekaan menuju Indonesia yang beradab.

Kalau sebatas seremonial saja, pasti Indonesia hanya akan menjadi negeri upacara yang berhenti dalam setiap momentum saja, sementara kebobrokan dan ketertinggalan terus berlangsung tanpa henti. Lihat saja korupsi yang disajikan kaum elite, tak pernah putus dalam berita media.

Di tengah kegalauan seremonial kemerdekaan, kaum perempuan mempunyai tugas penting untuk melakukan artikulasi perannya dalam mengisi kemerdekaan. Mengartikulasikan peran perempuan tidak bisa dilepaskan dari unit bernama keluarga, karena keluarga merupakan unit negara paling kecil. 

Stabilitas negara bisa dilihat dari stabilitas keluarga yang menghuni negara itu. Tanpa mengesampingkan peran laki-laki, peran perempuan lebih dominan, karena sosok perempuan menjadi tumpuan keluarga, mulai hal yang sangat sederhana (keperluan makan sehari-hari), sampai hal yang sangat krusial (doa, semangat, restu dan surga ibu).

Iya, laki-laki merupakan kepala keluarga, tetapi perempuanlah yang justru ”hidup” dan menghidupkan keluarga. Hadirnya kasih sayang dan keharmonisan dalam keluarga seringkali lahir dari rahim seorang perempuan. Suatu keluarga tanpa kehadiran ayah tetap bisa berdiri tegak, tetapi tak bisa dibayangkan suatu keluarga tanpa kehadiran seorang ibu. Dalam diri seorang ibu, tertancap jiwa ke-manusiaan, kenabian dan ketuhanan secara berimbang, sehingga kunci kesuksesan keluarga ba-nyak ditentukan oleh peran krusial seorang ibu.

Keluarga menjadi tempat berseminya cinta, kasih sayang, keteladanan dan kearifan. Keluarga menjadi ”sekolah pertama” seorang anak untuk mencerap ilmu kehidupan. Kalau keluarga bisa menjadi surga yang penuh ilmu dan keteladanan, maka anak-anak akan mendapatkan warisan agung yang menjadi bekal kehidupan di masa depan. Keluarga yang terjaga akan menegakkan Indonesia yang bermartabat. Keluarga menjadi tempat pertama lahirnya peradaban Indonesia yang maju dan berkeadaban.

Memantapkan diri sebagai poros utama dalam keluarga merupakan modal dasar kaum perempuan (juga laki-laki) untuk mengisi kemerdekaan Indonesia. Tantangan besar yang dihadapi bangsa ini harus dimulai solusinya dari keluarga. Jangan sampai berbicara soal beragam problem bangsa, sementara problem dalam keluarga sendiri tidak paham. Perempuan harus menjadi pelopor membangun keluarga berkualitas, sehingga akan lahir generasi masa depan yang dibanggakan bangsa.

Mengisi Kemerdekaan

Kalau kemantapan keluarga sudah diyakini, maka langkah selanjutnya adalah mengisi kemerdekaan dalam ruang publik. Pertama-tama yang mesti dilakukan perempuan adalah memerdekakan diri sendiri. Memerdekakan perempuan dalam kehidupan hari ini, bagi Husein Muhammad (2012) adalah memberikan kembali hak-hak sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka tanpa pembatasan-pembatasan yang disebabkan oleh jenis kelamin biologisnya.

Perbedaan jenis kelamin biologis dan perbedaan-perbedaan yang lain: etnis, bahasa, warna kulit dan lain-lain, tidak boleh menjadi dasar untuk membeda-bedakan dan membatasi hak masing-masing, karena bertentangan dengan hak-hak dasar manusia. Yakni hak-hak yang diberikan Tuhan kepadanya.
Setelah mampu memerdekaan diri, maka perempuan harus berani membangun perubahan di tengah kondisi sosial yang makin pelik ini. Perempuan harus berani membangun ruang publik, sehingga mampu menjadi jembatan dan katalisator perubahan masyarakat.

Ruang publik, bagi Jurgen Habermas, adalah ruang komunikasi yang terbentuk ketika dua orang atau lebih menjalankan proses komunikasi untuk membantu masyarakat memahami cara-cara prosedural dalam penyelesaian masalah untuk kepentingan bersama. Ruang publik yang demokratis ini untuk ”mengusir” ideologi politik yang menginginkan perempuan semakin mengerdil dalam geraknya. Padahal, Bung Karno melihat peran besar perempuan untuk Indonesia.

Baginya, perempuan harus berdaya. Ini untuk menjadikan perempuan sebagai salah satu penyangga Republik Indonesia yang baru lahir. Dengan tegas, Bung Karno menyatakan: ”Soal perempuan bukanlah soal buat perempuan saja, tetapi soal masyarakat, soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh soal masyarakat  dan negara  yang amat penting.”

Pada awal kemerdekaan, perempuan masih berada di pinggir peradaban. Ruang publik masih resmi menjadi milik kaum Adam. Dalam benak Bung Karno, perempuan sebenarnya mutiara yang indah sekali, kalau bisa dipamerkan kepada publik, pastilah perempuan menjadi berharga dan sangat berguna. Soekarno menyatakan: ”tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan istrinya itu di dalam kurungan.”

Itulah, Soekarno masih menyayangkan, karena perempuan masih berada dalam kotak yang disembunyikan.
Karena itu, perempuan harus bangkit membangun perubahan dan ruang publik. Dengan tegas Bung Karno berkata kepada perempuan: ”Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang merdeka!”


Memerdekakan diri, memantapkan keluarga, membangun ruang publik dan tantangan modernitas merupakan empat hal mendasar bagi perempuan dalam mengisi kemerdekaan. Apa pun posisi perempuan, kalau keempat hal itu bisa dipahami, maka perempuan menjadi mutiara yang sangat indah untuk Indonesia. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar