|
Pelemahan nilai tukar rupiah cukup
signifikan hingga 160 poin terjadi pada Senin (19/8) sore menjadi Rp 10.540
dibanding sebelumnya di posisi Rp 10.380 per dolar AS. Ini merupakan kelanjutan
dari pelemahan sebelumnya setelah liburan Lebaran. Ada dua faktor utama yang
memengaruhi pelemahan rupiah, yakni faktor eksternal dan internal.
Dari faktor eksternal, rencana
pengurangan program stimulus ekonomi oleh bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) pada akhir tahun ini mendatangkan
sentimen negatif yang menekan rupiah. Muncul spekulasi jadi tidaknya program
itu dilaksanakan hingga menimbulkan tebak-tebakan di antara pelaku usaha dunia.
Situasi ini memberikan dampak yang
besar untuk mempermainkan emerging market agar dana kembali ke AS. Akibatnya,
dolar AS terus menguat dan mata uang negara lain termasuk rupiah cenderung
melemah.
Dari faktor internal, defisit
neraca perdagangan RI ikut berpengaruh terhadap pelemahan rupiah. Kalau nilai
ekspor menurun, sementara impor naik, maka akan terjadi penggunaan dolar dalam
cukup besar untuk membiayai impor. Demikian pula pelemahan rupiah, tak terlepas
karena penurunan IHSG BEI. Meski pekan lalu BI memutuskan untuk tidak menaikkan
suku bunga (tetap di level 6,5 persen), namun IHSG tetap turun 1,6 persen
dibanding pekan sebelumnya.
Pelemahan rupiah juga dipicu
kenaikan harga BBM yang berdampak pada inflasi tinggi. Badan Pusat Statistik
(BPS) melansir inflasi Juli sebesar 3,29 persen atau 8,61 persen secara year on
year. Level ini lebih tinggi dari perkiraan BI sebesar 2,87 persen. Dengan
inflasi tinggi, daya beli masyarakat menurun dan orang jadi tidak tertarik lagi
dengan rupiah dan lebih suka menyimpan dolar.
Kondisi itu masih ditambah lagi
dengan spekulasi rencana kenaikan suku bunga oleh BI yang kemungkinan akan
direspons negatif.
Untuk mengupayakan agar rupiah
tidak terus melemah, maka dolar yang masuk ke Indonesia harus dikendalikan.
Dolar yang sudah masuk tidak boleh seenaknya diambil, tapi harus diterapkan
holding period, misalnya 3-6 bulan baru bisa diambil lagi ke luar. Akibat
pengendalian dolar yang kurang ketat, eksportir lebih suka memarkir dolar
mereka ke luar negeri.
Akibat pelemahan rupiah, dapat
dipastikan defisit membengkak. Persoalannya ada di APBN yang menetapkan asumsi
Rp 9.600 per dolar AS hingga untuk membiayai impor (yang menggunakan dolar),
pemerintah terpaksa mengeluarkan rupiah lebih banyak.
Langkah BI melepaskan rupiah ke
mekanisme pasar mengingat cadangan devisa yang terus merosot, berdampak
negatif. Intervensi tak mungkin terus dilakukan karena cadangan devisa terus
merosot tinggal 92 miliar dari 98 miliar dolar AS. Padahal, tahun lalu cadangan
devisa sempat berada di tingkat tertinggi 120 miliar dolar AS.
Kebijakan apa pun yang dilakukan
BI nyatanya tidak berdampak positif. Suku bunga dinaikkan pun, pelemahan rupiah
tampaknya akan terus terjadi. Kebijakan valuta asing BI sendiri belum
membuahkan hasil signifikan. Ini terjadi karena Indonesia menerapkan rezim
devisa bebas hingga gonjang-ganjing pelemahan rupiah terus mengancam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar