JAWA POS, 01
Agustus 2013
|
Banyak orang yang penasaran, apa jadinya bila ekonomi
Tiongkok benar-benar ambruk? Setelah Amerika Serikat dan Eropa dilanda krisis,
lima tahun kemudian, awan gelap mulai bergeser ke Tiongkok. Para penganut
adagium ''the world is flat'' pun percaya, jatuhnya Tiongkok sama juga
dengan jatuhnya Asia.
Artinya, India juga bakal memasuki masa sulit.
Demikian pula negara-negara ASEAN plus Jepang. Berarti, satu-satunya harapan tinggal Australia dan Afrika. Padahal, penduduk Afrika masih miskin. Ledakan penduduknya begitu besar dan banyak pemerintahan yang otoriter serta korup.
Tapi, benarkah Tiongkok mengalami kesulitan? Jadi, bagaimana dengan Indonesia?
Big Is Problematic
Minggu lalu, di Brunei Darussalam, saya tersenyum-senyum menyaksikan negeri yang kata orang sungguh kaya itu. Malnya saja jauh lebih bagus dari Mal Pondok Gede sepuluh tahun yang lalu. Tidak ada orang yang berpakaian modis seperti yang biasa Anda lihat di negara-negara yang berpenduduk sejahtera.
Petugas imigrasinya juga lusuh dan tidak ada senyum, mengingatkan saya kepada petugas imigrasi di bandara Rusia pada awal-awal reformasi. Disambut kata selamat pagi atau good morning, mereka tetap cemberut.
Itu berbeda dengan Singapura, negeri kecil tetapi penduduknya mulai susah tersenyum. Di Bandara Changi, Anda diminta memberikan rate senyum petugas imigrasi dan pelayan toko yang dibentuk perusahaan, sehingga mereka mulai menunjukkan keramahan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, hidup mereka serbasulit.
Bagaimana dengan Tiongkok?
Teman-teman saya di Renmin University, Beijing, mengaku kehidupan mulai terasa berat. Jumlah eksekutif yang mendaftar untuk ikut program MBA menurun tajam. Persis tahun 1998 di sini. Jalan raya mulai semacet Jakarta, harga apartemen semakin tidak terjangkau, dan kelas menengahnya mulai beremigrasi ke Selandia Baru, London, Seoul, Hongkong, atau Singapura.
Separo dosen Renmin adalah PhD lulusan Barat, dari kampus-kampus terkenal di AS (Harvard dan Wharton) atau Inggris (London School of Economics). Meski beretnis Tiongkok, mereka berkewarganegaraan asing dan memilih pindah ke Tiongkok karena di sana sedang terjadi krisis.
Tetapi, teman-teman pengusaha menjawab dengan nada yang berbeda-beda. Jin Dong, e-commerce Tiongkok yang dikelola alumnus Renmin Business School, menolak tudingan Barat bahwa pertumbuhan ekonominya dikatakan telah berakhir. Sebab, penjualan Jin Dong masih tumbuh.
Tetapi, para ahli menunjukkan data yang mencemaskan. Sektor manufaktur Tiongkok pada kuartal pertama 2012 menurun 15 persen dari rata-rata dekade itu, bahkan sekitar 25 persen dari setahun sebelumnya. Konsumsi listrik turun lebih besar, yakni dari 50 persen menjadi 3,7 persen.
Jadi, sebagian orang mulai merasakan hukum big is problematic. Dan karena ''matahari'' tidak tinggal diam di tempat (karena bumi terus berputar), Tiongkok pun dapat terimbas ''kegelapan'' pada masanya.
Hanya, perubahan di abad ini tidak terjadi tiba-tiba. Ia hanya mengirimkan sinyal yang serba perlahan, selembut perputaran bumi pada porosnya, sehingga membuat banyak orang menyangkal, tidak menerima, atau tidak mampu membacanya. Seperti kata pepatah, setiap permulaan kesulitan, hanya para sufi yang bisa membacanya.
Krisis Selalu Dikutuk
Karena menyangkal, manusia ''menyembunyikan'' kekurangan-kekurangannya. Hal itu menjadi semakin rumit karena ada masalah ''national security'', jangan sampai terjadi escalation of committment yang memperburuk keadaan. Pemimpin punya peran menambal lubang-lubang yang bocor sambil terus meyakinkan warga negara dan investor-investor asing bahwa ''everything will be okay'' atau menghibur dengan mengatakan, ''Ini hanya kejutan sementara!''
Tetapi, semakin ditutupi, semakin tajam orang ingin membelahnya. Semakin dicari palu dan godam yang bisa memecah batu yang mengurung ''isi'' suatu kebenaran. Semua itu ditambahi ''bumbu kutukan'' karena manusia membenci krisis, merasa kepentingan terusik.
Minggu lalu, penerima hadiah Nobel Ekonomi Paul Krugman menulis di harian The New York Times dengan judul yang amat menggigit, ''Hitting the China's wall''. Katanya, ''Tanda-tandanya sekarang tidak mungkin salah lagi: Tiongkok sedang dalam masalah besar. Itu bisa dilihat dari bukan hal-hal remeh, tetapi dari fundamentalnya. Cara bangsa ini menjalankan kegiatan ekonomi serta bisnisnya dan sistem ekonomi yang telah digerakkan selama tiga dekade dengan pertumbuhan yang mengesankan telah mencapai titik batas tertingginya.''
Krugman ingin mengatakan, gelombang pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dunia itu mulai bertabrakan dengan Tembok China yang kekar. ''Itu sudah pasti. Namun, pertanyaannya, seberapa buruk benturan itu menimbulkan akibatnya?'' ungkap Krugman. ●
Artinya, India juga bakal memasuki masa sulit.
Demikian pula negara-negara ASEAN plus Jepang. Berarti, satu-satunya harapan tinggal Australia dan Afrika. Padahal, penduduk Afrika masih miskin. Ledakan penduduknya begitu besar dan banyak pemerintahan yang otoriter serta korup.
Tapi, benarkah Tiongkok mengalami kesulitan? Jadi, bagaimana dengan Indonesia?
Big Is Problematic
Minggu lalu, di Brunei Darussalam, saya tersenyum-senyum menyaksikan negeri yang kata orang sungguh kaya itu. Malnya saja jauh lebih bagus dari Mal Pondok Gede sepuluh tahun yang lalu. Tidak ada orang yang berpakaian modis seperti yang biasa Anda lihat di negara-negara yang berpenduduk sejahtera.
Petugas imigrasinya juga lusuh dan tidak ada senyum, mengingatkan saya kepada petugas imigrasi di bandara Rusia pada awal-awal reformasi. Disambut kata selamat pagi atau good morning, mereka tetap cemberut.
Itu berbeda dengan Singapura, negeri kecil tetapi penduduknya mulai susah tersenyum. Di Bandara Changi, Anda diminta memberikan rate senyum petugas imigrasi dan pelayan toko yang dibentuk perusahaan, sehingga mereka mulai menunjukkan keramahan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, hidup mereka serbasulit.
Bagaimana dengan Tiongkok?
Teman-teman saya di Renmin University, Beijing, mengaku kehidupan mulai terasa berat. Jumlah eksekutif yang mendaftar untuk ikut program MBA menurun tajam. Persis tahun 1998 di sini. Jalan raya mulai semacet Jakarta, harga apartemen semakin tidak terjangkau, dan kelas menengahnya mulai beremigrasi ke Selandia Baru, London, Seoul, Hongkong, atau Singapura.
Separo dosen Renmin adalah PhD lulusan Barat, dari kampus-kampus terkenal di AS (Harvard dan Wharton) atau Inggris (London School of Economics). Meski beretnis Tiongkok, mereka berkewarganegaraan asing dan memilih pindah ke Tiongkok karena di sana sedang terjadi krisis.
Tetapi, teman-teman pengusaha menjawab dengan nada yang berbeda-beda. Jin Dong, e-commerce Tiongkok yang dikelola alumnus Renmin Business School, menolak tudingan Barat bahwa pertumbuhan ekonominya dikatakan telah berakhir. Sebab, penjualan Jin Dong masih tumbuh.
Tetapi, para ahli menunjukkan data yang mencemaskan. Sektor manufaktur Tiongkok pada kuartal pertama 2012 menurun 15 persen dari rata-rata dekade itu, bahkan sekitar 25 persen dari setahun sebelumnya. Konsumsi listrik turun lebih besar, yakni dari 50 persen menjadi 3,7 persen.
Jadi, sebagian orang mulai merasakan hukum big is problematic. Dan karena ''matahari'' tidak tinggal diam di tempat (karena bumi terus berputar), Tiongkok pun dapat terimbas ''kegelapan'' pada masanya.
Hanya, perubahan di abad ini tidak terjadi tiba-tiba. Ia hanya mengirimkan sinyal yang serba perlahan, selembut perputaran bumi pada porosnya, sehingga membuat banyak orang menyangkal, tidak menerima, atau tidak mampu membacanya. Seperti kata pepatah, setiap permulaan kesulitan, hanya para sufi yang bisa membacanya.
Krisis Selalu Dikutuk
Karena menyangkal, manusia ''menyembunyikan'' kekurangan-kekurangannya. Hal itu menjadi semakin rumit karena ada masalah ''national security'', jangan sampai terjadi escalation of committment yang memperburuk keadaan. Pemimpin punya peran menambal lubang-lubang yang bocor sambil terus meyakinkan warga negara dan investor-investor asing bahwa ''everything will be okay'' atau menghibur dengan mengatakan, ''Ini hanya kejutan sementara!''
Tetapi, semakin ditutupi, semakin tajam orang ingin membelahnya. Semakin dicari palu dan godam yang bisa memecah batu yang mengurung ''isi'' suatu kebenaran. Semua itu ditambahi ''bumbu kutukan'' karena manusia membenci krisis, merasa kepentingan terusik.
Minggu lalu, penerima hadiah Nobel Ekonomi Paul Krugman menulis di harian The New York Times dengan judul yang amat menggigit, ''Hitting the China's wall''. Katanya, ''Tanda-tandanya sekarang tidak mungkin salah lagi: Tiongkok sedang dalam masalah besar. Itu bisa dilihat dari bukan hal-hal remeh, tetapi dari fundamentalnya. Cara bangsa ini menjalankan kegiatan ekonomi serta bisnisnya dan sistem ekonomi yang telah digerakkan selama tiga dekade dengan pertumbuhan yang mengesankan telah mencapai titik batas tertingginya.''
Krugman ingin mengatakan, gelombang pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dunia itu mulai bertabrakan dengan Tembok China yang kekar. ''Itu sudah pasti. Namun, pertanyaannya, seberapa buruk benturan itu menimbulkan akibatnya?'' ungkap Krugman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar