JAWA POS, 01
Agustus 2013
|
Ngototnya Musyafak Rouf untuk kembali ke posisinya sebagai
wakil ketua DPRD Surabaya, setelah selesai jadi napi korupsi, menimbulkan rasan-rasan. Dia akan menggagalkan
pelantikan penggantinya yang dijadwalkan Jumat esok. Dia juga mengancam akan
menggugat pihak-pihak yang menghalang-halangi kembalinya ke kursi pimpinan
dewan. Celah yang dijadikan dasar adalah keputusan gubernur No.
172/4767/436.1.2/2013 yang klausulnya menyebut bahwa PAW tersebut berlaku saat
ada pelantikan penggantinya.
Kengototan Musyafak tersebut diklarifikasi oleh ketua DPRD Surabaya bahwa apakah masuknya Musyafak diterima atau tidak menunggu penjelasan pakar hukum tata negara Unair yang akan diundang untuk memberikan penjelasan hari ini. Penjelasan tersebut, dalam keputusan ketua DPRD, harus diterima dua pihak.
Analisis berikut tidak berpretensi memihak. Sekadar sebagai bahan pertimbangan, bukan dengan pendekatan hukum, tetapi dengan logika sederhana yang didasarkan pada fatsoen politik atau moral politik yang kiranya lebih pas dijadikan pijakan. Manakala dicari-cari alasan yuridis formal dengan mengutip pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, tidak akan ada habisnya.
Contohlah proses peradilan. Ibarat sebuah putusan, ketika memenangkan dan atau mengalahkan, memenjarakan atau membebaskan, seseorang hakim punya pertimbangan tersendiri, yang sama-sama logis. Sama-sama didasarkan pada hukum yang secara yuridis dapat dipertanggungjawabkan.
Ketentuan pasal pun dapat diinterpretasikan berdasar kepentingan siapa yang menerjemahkannya. Hal itu jamak terjadi. Pada kasus (pidana), advokat akan membela kliennya bahwa kliennya tidak bersalah. Seolah memang terdakwa tidak bersalah. Malah sangat tidak logis manakala advokat mempersalahkan klien meskipun tujuan profesinya sama dengan jaksa dan hakim, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sementara jaksa akan bekerja keras pula membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Itu pun logis karena posisi dan tugasnya memang demikian. Sangat tidak logis dan langka terjadi di dunia persidangan, jaksa menuntut bebas seorang terdakwa. Bahkan, ketika vonis hakim kurang dari dua pertiga dari tuntutan, menjadi kewajiban profesinya banding. Kalau belum sesuai juga, melakukan kasasi.
Manakala hakim memutuskan, dengan tidak mengamini tuntutan jaksa atau sebaliknya pro dengan advokat, itu pun juga sangat logis. Pertimbangan hukum yang dijadikan sebagai landasan putusan sangat logis dan terasa pas.
Pada perspektif ini, kembalinya Musyafak pasti sudah didukung oleh serangkaian pasal yang memperkuat keberanian dan kengototannya untuk menuntut haknya. Selalu ada celah pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar.
Pada pihak lain, yang diputuskan oleh DPRD sebagai lembaga yang memutuskan untuk mengganti Musyafak pun sudah didasarkan pada ketentuan hukum yang tidak kalah kuat.
Ketika kemudian katakanlah ada pakar hukum tata negara yang akan memberikan klarifikasi, ketika klarifikasi nanti mengilegalkan kembalinya Musyafak, yang bersangkutan tetap bisa menolak. Dia akan berdalih bahwa itu bukan putusan pengadilan yang punya nilai eksekutorial. Jadi, bisa saja dikomentari: emang gue pikirin.
Menengok Prinsip PKB
Fatsoen politik atau mahkota moral politik adalah dasar etika. Tidak bersifat tertulis karena politik memang sesuatu yang sangat kompleks. Karena itu, ketika peristiwa atau perkara politik diselesaikan oleh hukum, yang muncul adalah konflik baru dan tidak akan ada selesainya. Selalu bisa diadakan atau dimunculkan masalah ikutan. Konflik itu di sepanjang kiprah politik tidak akan selesai kecuali dengan fatsoen politik.
Beberapa moral politik yang hendaknya menjadi pertimbangan pada keinginan kembalinya Musyafak tersebut adalah, pertama, DPRD adalah lembaga wakil rakyat yang memperjuangkan aspirasi rakyat. Pertanyaan sederhana, kalau dirinya mau kembali, dia mewakili rakyat yang mana? Memperjuangkan aspirasi rakyat yang mana?
Kedua, Musyafak pernah dijatuhi hukuman. Perkara apakah vonis yang dijatuhkan bernilai adil atau tidak, itu soal materiil. Formalnya dengan dijatuhkannya hukuman berarti bersalah. Orang yang bersalah sudah cacat di mata hukum. Apakah dengan demikian masih layak kembali mewakili rakyat?
Ketiga, ketika eksekusi akan dijalankan, dirinya juga harus lari ke sana kemari, merepotkan petugas, dan berkelit dengan berbagai alasan hingga harus ditangkap (paksa). Hal itu membuktikan ketidakpatuhan atas hukum ketika hukum tidak berpihak kepada dirinya. Padahal, sebagai wakil rakyat, harusnya dia menjadi teladan. Sesuai dengan ajaran agama, tunduk dan laksanakan hukum kendatipun terasa pahit. Adalah hal yang tidak sesuai dengan fatsoen politik, ketika mantan narapidana kemudian menginginkan kembali ke panggung politik yang sama dengan tanpa beban. Seolah tidak bersalah, padahal sekali lagi formal di mata hukum jelas bersalah.
Keempat, masa tugas yang sangat pendek, sekitar setahun dipermasalahkan, menunjukkan betapa sebenarnya hal tersebut mencerminkan trauma (post power syndrome) atas tidak adanya kedudukan sekeluarnya dari LP. Padahal, apalah artinya jabatan sependek itu. Apalagi masih Ramadan, baik sekali merenungi diri.
Kelima, last but not least dapat dicermati Anggaran Dasar PKB sendiri, sebagai partai yang mendudukkan sebagai wakil rakyat (partai) sebagai fatsoen organisasi yang diwakili. Disebutkan pada pasal 4 bahwa prinsip perjuangan partai adalah pengabdian kepada Allah subhanahu wata'ala, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga pesatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai Islam ahlussunnah waljamaah.
Mbok ya tanya kepada hati nurani, apakah upaya kembali (dengan konflik) itu sesuai dengan prinsip pejuangan partai yang sangat mulia tersebut? Karena itu, kembali ke akal sehat kiranya lebih sehat. Legawa menjadi politikus yang negarawan lebih elok dan bermartabat daripada ngeyel yang pada akhirnya justru akan menunjukkan jati diri sebagai politikus yang tidak paham fatsoen politik.
Hal itu hanya menambah deret panjang perilaku politikus yang bisa digambarkan dalam pepatah dunia Barat: Alliance with hell is justified as long as it is temporary (aliansi dengan neraka dibenarkan asalkan bersifat sementara). ●
Kengototan Musyafak tersebut diklarifikasi oleh ketua DPRD Surabaya bahwa apakah masuknya Musyafak diterima atau tidak menunggu penjelasan pakar hukum tata negara Unair yang akan diundang untuk memberikan penjelasan hari ini. Penjelasan tersebut, dalam keputusan ketua DPRD, harus diterima dua pihak.
Analisis berikut tidak berpretensi memihak. Sekadar sebagai bahan pertimbangan, bukan dengan pendekatan hukum, tetapi dengan logika sederhana yang didasarkan pada fatsoen politik atau moral politik yang kiranya lebih pas dijadikan pijakan. Manakala dicari-cari alasan yuridis formal dengan mengutip pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, tidak akan ada habisnya.
Contohlah proses peradilan. Ibarat sebuah putusan, ketika memenangkan dan atau mengalahkan, memenjarakan atau membebaskan, seseorang hakim punya pertimbangan tersendiri, yang sama-sama logis. Sama-sama didasarkan pada hukum yang secara yuridis dapat dipertanggungjawabkan.
Ketentuan pasal pun dapat diinterpretasikan berdasar kepentingan siapa yang menerjemahkannya. Hal itu jamak terjadi. Pada kasus (pidana), advokat akan membela kliennya bahwa kliennya tidak bersalah. Seolah memang terdakwa tidak bersalah. Malah sangat tidak logis manakala advokat mempersalahkan klien meskipun tujuan profesinya sama dengan jaksa dan hakim, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan.
Sementara jaksa akan bekerja keras pula membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Itu pun logis karena posisi dan tugasnya memang demikian. Sangat tidak logis dan langka terjadi di dunia persidangan, jaksa menuntut bebas seorang terdakwa. Bahkan, ketika vonis hakim kurang dari dua pertiga dari tuntutan, menjadi kewajiban profesinya banding. Kalau belum sesuai juga, melakukan kasasi.
Manakala hakim memutuskan, dengan tidak mengamini tuntutan jaksa atau sebaliknya pro dengan advokat, itu pun juga sangat logis. Pertimbangan hukum yang dijadikan sebagai landasan putusan sangat logis dan terasa pas.
Pada perspektif ini, kembalinya Musyafak pasti sudah didukung oleh serangkaian pasal yang memperkuat keberanian dan kengototannya untuk menuntut haknya. Selalu ada celah pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar.
Pada pihak lain, yang diputuskan oleh DPRD sebagai lembaga yang memutuskan untuk mengganti Musyafak pun sudah didasarkan pada ketentuan hukum yang tidak kalah kuat.
Ketika kemudian katakanlah ada pakar hukum tata negara yang akan memberikan klarifikasi, ketika klarifikasi nanti mengilegalkan kembalinya Musyafak, yang bersangkutan tetap bisa menolak. Dia akan berdalih bahwa itu bukan putusan pengadilan yang punya nilai eksekutorial. Jadi, bisa saja dikomentari: emang gue pikirin.
Menengok Prinsip PKB
Fatsoen politik atau mahkota moral politik adalah dasar etika. Tidak bersifat tertulis karena politik memang sesuatu yang sangat kompleks. Karena itu, ketika peristiwa atau perkara politik diselesaikan oleh hukum, yang muncul adalah konflik baru dan tidak akan ada selesainya. Selalu bisa diadakan atau dimunculkan masalah ikutan. Konflik itu di sepanjang kiprah politik tidak akan selesai kecuali dengan fatsoen politik.
Beberapa moral politik yang hendaknya menjadi pertimbangan pada keinginan kembalinya Musyafak tersebut adalah, pertama, DPRD adalah lembaga wakil rakyat yang memperjuangkan aspirasi rakyat. Pertanyaan sederhana, kalau dirinya mau kembali, dia mewakili rakyat yang mana? Memperjuangkan aspirasi rakyat yang mana?
Kedua, Musyafak pernah dijatuhi hukuman. Perkara apakah vonis yang dijatuhkan bernilai adil atau tidak, itu soal materiil. Formalnya dengan dijatuhkannya hukuman berarti bersalah. Orang yang bersalah sudah cacat di mata hukum. Apakah dengan demikian masih layak kembali mewakili rakyat?
Ketiga, ketika eksekusi akan dijalankan, dirinya juga harus lari ke sana kemari, merepotkan petugas, dan berkelit dengan berbagai alasan hingga harus ditangkap (paksa). Hal itu membuktikan ketidakpatuhan atas hukum ketika hukum tidak berpihak kepada dirinya. Padahal, sebagai wakil rakyat, harusnya dia menjadi teladan. Sesuai dengan ajaran agama, tunduk dan laksanakan hukum kendatipun terasa pahit. Adalah hal yang tidak sesuai dengan fatsoen politik, ketika mantan narapidana kemudian menginginkan kembali ke panggung politik yang sama dengan tanpa beban. Seolah tidak bersalah, padahal sekali lagi formal di mata hukum jelas bersalah.
Keempat, masa tugas yang sangat pendek, sekitar setahun dipermasalahkan, menunjukkan betapa sebenarnya hal tersebut mencerminkan trauma (post power syndrome) atas tidak adanya kedudukan sekeluarnya dari LP. Padahal, apalah artinya jabatan sependek itu. Apalagi masih Ramadan, baik sekali merenungi diri.
Kelima, last but not least dapat dicermati Anggaran Dasar PKB sendiri, sebagai partai yang mendudukkan sebagai wakil rakyat (partai) sebagai fatsoen organisasi yang diwakili. Disebutkan pada pasal 4 bahwa prinsip perjuangan partai adalah pengabdian kepada Allah subhanahu wata'ala, menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, menegakkan keadilan, menjaga pesatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai Islam ahlussunnah waljamaah.
Mbok ya tanya kepada hati nurani, apakah upaya kembali (dengan konflik) itu sesuai dengan prinsip pejuangan partai yang sangat mulia tersebut? Karena itu, kembali ke akal sehat kiranya lebih sehat. Legawa menjadi politikus yang negarawan lebih elok dan bermartabat daripada ngeyel yang pada akhirnya justru akan menunjukkan jati diri sebagai politikus yang tidak paham fatsoen politik.
Hal itu hanya menambah deret panjang perilaku politikus yang bisa digambarkan dalam pepatah dunia Barat: Alliance with hell is justified as long as it is temporary (aliansi dengan neraka dibenarkan asalkan bersifat sementara). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar