Rabu, 21 Agustus 2013

Mesir dan Terorisme Negara

Mesir dan Terorisme Negara
Hery Sucipto ;   Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Dunia Islam (PKTTDI) Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA, 20 Agustus 2013


Dua bulan terakhir ini, dunia menyaksikan pe mandangan sangat mengerikan: horor demokrasi dan kemanusiaan di Mesir. Tragedi memilukan itu berawal dari penggulingan presiden sah dan terpilih secara demokratis di Mesir, Muhammad Mursi, yang dilakukan oleh militer Mesir. 

Kini, setiap hari Mesir, terutama kota-kota besar seperti Kairo, bak penjara raksasa. Kumpulan ribuan massa sipil berjuang melawan tentara dan polisi Mesir lengkap dengan persenjataan sedang dan berat. Hingga kini, tak kurang 3.000 orang meregang nyawa, puluhan ribu lainnya terluka ringan dan berat. 

Aksi terorisme 
Kejadian di Mesir tentu sangat mengiris hati siapa pun. Bahkan, seorang jenderal polisi bintang dua, yang karena masih punya nurani menolak perintah membunuh demonstran, pun tewas di tangan sesama aparat. Ia dibunuh secara beramai-ramai dengan terlebih dahulu dipreteli baju kebesaran kepolisian sebagai bentuk penghinaan dan aparat yang simpati kepada apa yang dise- but rezim militer dengan "geng teroris" (menunjuk musuh mereka, yakni IM).

Tentu siapa pun sepakat bahwa pelenyapan nyawa tanpa alasan jelas, baik terhadap sesama aparat, terhadap warga sipil, maupun sebaliknya, dilakukan warga sipil terhadap aparat, adalah tindakan biadab yang tidak ada pembenarannya dalam hukum apa pun di dunia ini. Dalam konteks inilah, apa yang terjadi di Mesir, dan juga di Suriah, dapat dikategorikan sebagai tindak terorisme. 

Bahkan, Perdana Menteri (PM) Turki yang lantang mengecam tindakan brutal aparat di Mesir, dalam pidatonya beberapa waktu lalu, menyebut bahwa apa yang terjadi di Mesir adalah terorisme yang dilakukan oleh negara. Sebuah studi yang dilakukan oleh Rudolph J Rummel memperkirakan selama abad ke-20 sebanyak 169 juta orang menjadi korban tindakan terorisme yang dilakukan oleh pemerintah. 

Rummel menyatakan sikapnya dengan menegaskan bahwa hal inilah yang disebut sebagai arti `terorisme' yang sebenarnya. Rummel kemudian menambahkan bahwa pada periode tersebut hanya 518 ribu korban yang terbunuh oleh beberapa kelompok garis keras yang disebut sebagai `teroris', sebuah angka yang bahkan tidak melebihi setengah dari keseluruhan korban yang terbunuh disebabkan oleh kepentingan negara atau peme rintahan pada abad tersebut. 

Semua kebutuhan negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dibiayai oleh rakyat melalui pajak. Setiap tahun, rakyat sipil harus mengeluarkan sebagian pendapatannya untuk memenuhi ketaatan negara dalam bentuk membayar pajak, agar pula kelangsungan berbangsa dan bernegara berjalan dengan baik. Namun, negara yang abai dan bertindak semena-mena terhadap rakyatnya sendiri, secara langsung menyebabkan negara telah melakukan aksi terorisme terhadap warganya sendiri. 

Terorisme oleh negara di Mesir inilah yang jauh lebih berbahaya karena ia menjadi induk dari aksi-aksi teror di tempat lain. Kalau di Mesir saja negara-negara yang selama ini mengklaim sebagai kampiun dan pejuang demokrasi dan HAM seperti Amerika dan negara-negara Eropa "bungkam" dan membenarkan kebiadaban militer di Mesir, maka sangat mungkin hal ini akan terjadi di negara lain, tak terkecuali di Indonesia.

Dukungan Indonesia Mesir dan Indonesia punya hubungan sangat khusus, terutama di masa perjuangan fisik kemerdekaan. Fakta itu misalnya terlihat bagaimana Sekjen Liga Arab (saat itu) Abdurrahman Pasya serta para tokoh IM seperti Hassan Albanna, Sayyid Qutb, dan para petinggi pemerintahan Mesir melobi para kepala negara Arab dan dunia agar mengakui kemerdekaan Indonesia. 

Dukungan lain tampak ketika terjadi serangan Inggris atas Surabaya, 10 Nopember 1945, yang menewaskan ribuan penduduk Surabaya, demonstrasi anti-Belanda-Inggris merebak di Timur Tengah, khususnya Mesir. Shalat ghaib dilakukan oleh masyarakat di lapangan-lapangan dan masjid-masjid di Timur Tengah untuk mendoakan para syuhada yang gugur dalam pertempuran yang sangat dahsyat itu.

Yang mencolok dari gerakan massa internasional adalah ketika momentum pasca-Agresi Militer Belanda ke-1, 21 juli 1947, pada 9 Agustus. Saat kapal Volendam milik Belanda pengangkut serdadu dan senjata telah sampai di Port Said, ribuan penduduk dan buruh pelabuhan Mesir yang dimotori gerakan IM berkumpul di pelabuhan itu. Mereka menggunakan puluhan motor-boat dengan bendera Merah Putih--tanda solidaritas--berkeliaran di permukaan air guna mengejar dan menghalau blokade terhadap motorboat perusahaan asing yang ingin menyuplai air dan makanan untuk kapal Volendam milik Belanda yang berupaya melewati Terusan Suez, hingga kembali ke pelabuhan. Kemudian motor boat besar pengangkut logistik untuk Volendam bergerak dengan dijaga oleh 20 orang polisi bersenjata beserta Mr Blackfield, Konsul Honorer Belanda asal Inggris, dan Direktur perusahaan pengurus kapal Belanda di pelabuhan.
Namun, hal itu tidak menyurutkan perlawanan para buruh Mesir (Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri; karya M. Zein Hassan Lc).

Alhasil, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia pada Juni 1946, setelah itu menyusul negara-negara Arab lainnya. Sementara negara-negara Barat memberikan pengakuan belakangan, tepatnya pada akhir tahun 50-an dan awal tahun 60-an. Sayangnya, momentum baik ini tak dimanfaatkan pemerintah Indonesia dengan mengambil sikap tegas dan mengecam tindakan terorisme negara itu. Indonesia jelas berutang budi kepada rakyat Mesir. 


Kini, ketika rakyat Mesir sedang dilanda kesulitan dan penindasan, pemerintah SBY jangan hanya diam atau takut kepada Amerika (yang bersama Israel) yang disinyalir kuat di balik aksi brutal militer Mesir. Presiden SBY harus membantu rakyat Mesir dengan membawa tragedi itu ke PBB, OKI, dan pembentukan tim investigasi internasional. Peran aktif Indonesia jelas sangat dinantikan untuk membantu mencegah jatuhnya korban lebih besar dan menciptakan perdamaian dunia. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar