Jumat, 23 Agustus 2013

Mengatasi Gempa Pasar Uang

Mengatasi Gempa Pasar Uang
Leo Herlambang ;   Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Unair,
Analis Pasar Modal dan Pasar Uang
JAWA POS, 22 Agustus 2013



SEJAK hegemoni USD awal 1970-an, mayoritas perdagangan dunia harus memakai USD. Sejak itu, AS semakin kaya sekaligus semakin banyak utang. Di pihak lain, banyak negara yang semakin miskin karena ketergantungan pada USD sekaligus semakin banyak utang. Impor harus menggunakan USD. Kalau tidak punya USD, harus ekspor untuk mendapatkan USD. 

Agar mata uang kuat terhadap USD, nilai ekspor dalam USD harus lebih tinggi daripada impor dalam USD. Tentu, hasil ekspor itu bukan hanya barang, tetapi juga jasa seperti kiriman TKI. Kalau impor lebih besar daripada ekspor, secara logika nilai mata uang akan turun. Itulah yang dialami Indonesia sejak 2012, nett export-nya minus.

USD juga bisa didapat dengan masuknya investasi asing ke Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung melalui pasar keuangan, yakni pasar uang dan pasar modal. Yang investasi langsung dengan mendirikan pabrik dan lain-lain tentu akan berjangka panjang. 

Yang menjadi problem adalah yang tidak langsung, melalui pasar uang dan pasar modal. Mereka dapat berinvestasi di instrumen pasar uang, obligasi, SUN, maupun saham yang umumnya disebut hot money. Termasuk bila ada pinjaman langsung pemerintah dan swasta.

Gabungan nett export, investasi langsung dan tidak langsung, serta pinjaman pemerintah dan swasta akan menjadi cadangan devisa. Jadi, di dalam cadangan devisa terdapat yang betul-betul hasil riil ekspor. Selebihnya cadangan devisa adalah hot money, utang pemerintah dan swasta. Jadi, kalau suatu mata uang ingin kuat, nett export-nya harus plus. Ekspor bersih yang plus itu merupakan earning power sekaligus money power. Itulah faktor internal utama kekuatan ekonomi. 

Adapun faktor eksternal utama adalah nilai tukar. Jika seluruh negara di dunia di luar AS bisa impor dengan mata uang masing-masing, tidak begitu masalah meskipun agak ruwet. Misalnya, impor bisa dilakukan dengan rupiah, maka tidak ada masalah. Masalahnya, itu tidak bisa dilakukan. Bandingkan dengan AS, kalau impor, tinggal bayar pakai USD. Kalau tidak punya nett export, tinggal cetak USD dan bayar impor dengan USD. Kalau ekonomi turun, tinggal cetak USD, USD pun mengalir ke seluruh dunia. 

Utang AS pun tertinggi di dunia, tapi tidak bangkrut. Namun, negara lain memiliki risiko bangkrut. AS tidak kenal risiko kurs. Tetapi, seluruh negara di dunia memiliki risiko kurs. Jadi, sebenarnya keberadaan USD meresahkan seluruh negara. Karena itu, Eropa pun menandingi dengan bersatu membuat euro. Bersatunya Eropa mengurangi risiko kurs, bahkan kalau bisa mendapat untung dari kurs. Karena itu, negara-negara kecil yang tidak kuat di Eropa ingin masuk zona euro. Inggris yang kuat tidak mau.

Bila Eropa mampu bersama menyelesaikan, bagaimana dengan negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, termasuk Australia, di luar Jepang? Mereka adalah kumpulan negara yang harus berjibaku menghasilkan earning power dari nett export dan berjibaku mempertahankan kurs. Fakta yang ada, secara umum, meski telah mengekspor banyak, hasilnya hilang atau berkurang karena rugi kurs. Ketika tidak kuat, utang berbentuk USD. Karena itu, kini kebanyakan negara tersebut terjebak utang. Jadi, bisa disimpulkan, USD adalah predatoric finance. 

Selain faktor internal dan eksternal, negara-negara non-USD dan non-euro memiliki risiko diserang spekulator. Spekulator keuangan itu bersenjata margin trading dan short selling serta senjata perdagangan mata uang lainnya. 

Tumbangnya pasar tentu menyebarkan ketakutan. Karena sumber tumbangnya pasar uang dan pasar modal adalah turunnya nilai rupiah, bagaimana Indonesia harus mengatasinya? Inilah langkah yang, antara lain, bisa dilakukan. Pertama, efisiensi belanja dalam APBN. Kedua, memberikan kemudahan ekspor dan memberikan batasan impor yang tidak perlu untuk menjaga cadangan devisa, sekaligus membuat nett export positif. Termasuk, mendorong dan memberikan insentif TKI yang bekerja di luar negeri. 

Ketiga, mengurangi utang dalam USD, baik oleh pemerintah maupun swasta, melalui serangkaian kebijakan. Keempat, menjaga nilai tukar dengan membatasi dan mengawasi trader mata uang, sekaligus mewajibkan hasil ekspor disimpan di Indonesia. Kelima, memberikan tambahan likuiditas ke perbankan, tetapi hanya ke bank BUMN. Keenam, membeli SUN di pasar sekunder yang harganya sudah jatuh dalam.

Ketujuh, membeli saham-saham BUMN di bursa langsung maupun melalui lembaga dana pensiun milik negara maupun lembaga lain. Kedelapan, memberikan kebijakan BUMN dan swasta untuk buy back saham dan surat utangnya di pasar sekunder tanpa harus RUPS. Kesembilan, Bursa Efek Indonesia diminta melakukan auto reject atau menghentikan perdagangan bila IHSG turun 5 persen dan auto reject jika turun 10 persen untuk 20 emiten saham berkapitalisasi terbesar atau yang sumbangannya terhadap nilai kapitalisasi pasar bursa di atas 1 persen. 

Kesepuluh, memberikan kelonggaran penerapan giro wajib minimum bagi perbankan dengan menurunkan rasio GWM. Kesebelas, membatasi transaksi yang dianggap spekulasi, sekaligus menangkap dan memberikan sanksi bagi individu atau perusahaan yang melakukan aksi spekulasi dalam jumlah besar.

Bagaimana sebaiknya langkah investor pasar uang dan pasar modal? Tetap follow the smart money. Time to buy secara selektif dan bertahap atas saham-saham yang sudah turun tajam tetapi berfundamental bagus, sekaligus time to sell untuk USD. Sebab, sejak 1998, rupiah hanya di kisaran Rp 8.000-Rp 11.500 per USD. Ingat tumbangnya pasar uang dan pasar modal 2008, akhirnya harga saham akan naik lagi. Begitu pula, rupiah yang turun tajam akan menguat lagi. Sejarah akan terus berulang. Tetap optimistis dan selamat berinvestasi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar