|
Tetapi yang selalu kita abaikan adalah memperbaiki kondisi
fundamental rupiah yang lebih berjangka menengah-panjang. Bahwa suplai valas
yang fundamental adalah dari kekuatan nasional melalui kekuatan ekspor dan daya
tarik penanaman modal asing (foreign
direct investment), bukan modal portofolio yang sarat dengan spekulasi dan gambling.
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), Senin
malam (19 Agustus), menggelar rapat mendadak menyikapi dua isu penting, salah
satunya adalah nilai tukar rupiah yang terus melemah (depresiasi) beberapa
waktu terakhir. FKSSK adalah forum yang terdiri atas Kementerian Keuangan, Bank
Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan LPS.
Sebagaimana yang diketahui, depresiasi rupiah sehingga
mencapai angka di atas 10 ribu per dolar AS telah terjadi sejak pekan ketiga
Juli tahun ini. Pelemahan ini terus terjadi, bahkan sempat menembus angka
10.600 (19 Agustus) per dolar, bandingkan dengan kurs satu bulan yang lalu (18
Juli) yang sebesar 10.059 per dolar.
Untuk mengoreksi depresiasi rupiah tersebut, BI telah
berupaya menstabilisasi melalui intervensi suku bunga dengan menaikkan suku
bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FasBI Rate) atau deposit facility dan
intervensi di pasar valas dengan mengeluarkan kebijakan melelang swap valas
atau FX Swap yang dilakukan setiap minggu. Tetapi tampaknya jurus-jurus bank
sentral tersebut belum mampu menstabilkan rupiah di angka yang diharapkan,
yakni jika merujuk pada asumsi makroekonomi Nota Keuangan dan RAPBN 2014 yang
sebesar 9.750 per dolar.
Mengapa kita perlu khawatir atas melemahnya rupiah ini?
Pertama, karena ia menghadirkan inflasi. Hal ini karena sekarang kita butuh
lebih banyak rupiah untuk harga dolar yang sama dari suatu barang dan jasa di
pasar internasional. Ketika barang itu adalah barang modal, ia menimbulkan
inflasi karena menaikkan biaya produksi (cost-pushed
inflation). Sebagaimana yang diketahui, impor bahan baku kita mencapai 77
persen dari total impor. Sedangkan ketika yang diimpor itu adalah barang
konsumsi, inflasi terjadi akibat kenaikan langsung harga barang itu ketika
dinilai dengan rupiah (import inflation).
Dan inflasi selalu tidak disukai, karena dia adalah pajak
yang dikenakan kepada kita secara curang. Dikatakan curang karena rupiah yang
Anda miliki tergerus karena inflasi. Pendapatan riil Anda berkurang karena
dipotong inflasi, tapi tidak ada kompensasi yang diberikan kepada kita dari
pengurangan pendapatan riil tersebut. Bandingkan dengan ketika kita kena pajak,
pendapatan riil kita memang berkurang, tetapi kita mendapatkan kompensasi
ketika uang pajak dikembalikan lagi kepada kita dalam bentuk barang-barang
publik yang disediakan negara (infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan
lain-lain).
Dampak lain, bisa menimbulkan kontraksi ekonomi. Pada
kondisi di mana barang-barang modal mayoritas bersumber dari impor, depresiasi
rupiah berimplikasi naiknya biaya pembelian barang-barang modal tersebut.
Ketika biaya produksi ini naik dan tidak bisa ditutupi oleh penerimaan
perusahaan, hal ini bisa berimplikasi kolapsnya sebagian perusahaan. Dan
implikasi lanjutannya bisa berdampak bertambahnya angka pengangguran.
Melemahnya rupiah terjadi ketika suplai dolar yang masuk
lebih rendah daripada dolar yang keluar dari dalam negeri. Kita bangsa yang
gandrung impor itulah yang menyebabkan neraca transaksi berjalan kita defisit.
Defisit sebesar US$ -1,69 miliar pada triwulan IV 2011 dan berlanjut sepanjang
2012 dengan defisit sebesar US$ -24,18 miliar. Inilah penyebab utama depresiasi
rupiah.
Ditambah pula, transaksi modal dan finansial terganggu
karena rencana bank sentral AS (The Fed)
yang akan menghentikan kebijakan pemberian stimulus sehingga mengganggu aliran
dana dari AS. Hal ini berimplikasi suplai dolar di dalam negeri kita semakin
langka.
Secara teori, depresiasi ini akan menguntungkan. Hal ini
karena harga-harga komoditas domestik relatif lebih murah dari harga-harga di
pasar internasional yang dampaknya akan memacu kenaikan ekspor dan selanjutnya
memperbaiki neraca pembayaran dan menguatkan kembali rupiah. Dengan naiknya
ekspor, pertumbuhan ekonomi kembali meningkat dan selanjutnya bisa mengurangi
angka pengangguran.
Tetapi proses yang demikian itu jarang terjadi dalam waktu
singkat. Yang umum terjadi adalah fenomena Marshall
Lerner Condition. Fenomena ini mengilustrasikan depresiasi rupiah dalam
jangka waktu tertentu yang menyebabkan kondisi defisit neraca pembayaran tidak
membaik, malah memburuk. Jadi, implikasi depresiasi seperti inflasi dan
kontraksi pertumbuhan ekonomi akan kita rasakan cukup panjang. Pengalaman
negara-negara maju, depresiasi berakibat memburuknya defisit neraca pembayaran
selama berkisar 6 bulan sampai 1 tahun. Pengalaman depresiasi rupiah ketika
krisis ekonomi Indonesia 1998, semua ketidaknyamanan ekonomi yang ditimbulkan
dari depresiasi rupiah kita rasakan mencapai 2-3 tahun.
Untuk kasus kita, fenomena Marshall Lerner Condition bisa terjadi karena komoditas yang
umumnya kita impor adalah komoditas dengan elastisitas permintaan yang in
elastik, di mana perubahan harga pasar relatif tidak mengurangi jumlah barang
yang dibutuhkan. Kita impor bahan pangan, bahan baku industri, dan bahan bakar
minyak yang merupakan barang-barang yang sangat dibutuhkan bagi perekonomian
Indonesia.
Apa yang dilakukan BI sebagai otoritas yang bertugas
menjaga stabilitas rupiah, sebagaimana yang kita ungkapkan di atas, sudah tepat
sebagai solusi jangka pendek.
Tetapi yang selalu kita abaikan adalah memperbaiki kondisi
fundamental rupiah yang lebih berjangka menengah-panjang. Bahwa suplai valas
yang fundamental adalah dari kekuatan nasional melalui kekuatan ekspor dan daya
tarik penanaman modal asing (foreign
direct investment), bukan modal portofolio yang sarat dengan spekulasi dan gambling.
Membangun kekuatan ekspor, berarti kita membangun kekuatan
ekonomi nasional yang bersumber dari kekuatan domestik untuk dijual di pasar
dunia. Meningkatkan penanaman modal asing berarti menjadikan Indonesia investment darling yang meningkatkan
gairah investor asing untuk menanam modalnya di sektor riil di negara ini.
Kekuatan sisi suplai valas ini memang belum hadir, karena selalu terganjal
masalah klasik, seperti faktor inefisiensi kelembagaan ekonomi pasar yang
berbiaya tinggi akibat sarat dengan perburuan rente, infrastruktur, dan SDM
dengan kualitas yang lemah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar