|
COEN Husain Pontoh, Editor IndoPPROGRESS,
menulis artikel Masa Depan Politik Mesir.[1] Substansi gagasan yang diuraikannya sama sekali tak
cocok dengan judul terpasang. Bukan masa depan demokrasi di Mesir dengan
beragam tantangannya yang diulas, tapi debat perspektif Liberal vs Islamis,
konstelasi politik domestik, bahkan kolaborasi militer yang menyembulkan
pengkhianatan Ikhwanul Muslimin (IM), seperti dituduhkan Coen. Posisi IM
sebagai salah satu aktor politik utama dikuliti habis, hingga visi ekonomi IM
diadili tanpa riset memadai. Tesis tentang masa depan demokrasi di Mesir hanya
dibeberkan dalam dua – cuma dua – paragraf terakhir. Sayang sekali, pembaca
disodorkan banyak informasi parsial dan logika tak nyambung dengan dinamika
faktual di lapangan.
Perspektif kiri
Artikel Coen mewakili pandangan golongan Kiri yang
terkesan lepas tangan atas gejolak politik atau – lebih keren dijuluki —
revolusi rakyat yang telah didorongnya. Aktivis Kiri di Mesir yang tergabung
dalam gerakan Tamarrud[2] (pembangkangan sipil), berperan sentral dalam
penjatuhan Presiden Muhammad Mursi. Namun, ketika kudeta militer mengambil alih
kuasa, mereka terkejut dan meradang, lalu kini gamang menghadapi situasi yang
tak bisa dikendalikan lagi.
Karena itu, sangat aneh bila Coen hanya menyorot
perdebatan terbuka antara pendukung liberal vs islamis. Pada kenyataannya, ada
kelompok Kiri semisal Egyptians Movement for Change yang
memelopori Tamarrud dengan membuat petisi penolakan atas legitimasi Presiden
Mursi. Petisi Tamarrud itu mengklaim telah berhasil mengumpulkan dukungan: 15
juta (10 Juni) atau 22 juta (29 Juni) atau 30 juta (2 Juli) tanda tangan. Entah
mana yang benar dan bagaimana proses pengumpulan tanda tangan secepat itu
dilakukan, karena bukti kongkritnya tak pernah diperlihatkan ke publik, kecuali
170.000 tanda tangan yang dikirimkan ke Mahkamah Konstitusi. Jika benar
Tamarrud mampu mengumpulkan dukungan sebanyak itu, mengapa mereka tidak segera
membentuk ‘Partai Pelopor Revolusioner?’ Niscaya tidak ada satu kekuatan pun
yang bisa menandinginya di kotak suara atau di jalanan.
Tamarrud juga menepuk dada telah sukses mengerahkan 17
juta massa di Tahrir Square, dan itu dipercaya oleh para pengagumnya di luar
Mesir sebagai demonstrasi terbesar sepanjang sejarah. Tetapi, orang yang pernah
datang ke Kairo dan mengunjungi Tahrir Square akan bingung, bagaimana mungkin
jutaan orang bisa berkumpul di kawasan yang mirip dengan lapangan Monas Jakarta
itu? Gamal Abdel Nasser memang acap berbagi inspirasi dengan Soekarno, sehingga
mereka melontarkan gagasan dan kebijakan yang mirip, salah satunya adalah
membangun Tahrir Square dan Medan Merdeka (dengan Monas sebagai simbol) menjadi
lanskap utama ibukota Mesir dan Indonesia. Bagi pengamat yang obyektif, Tahrir
Square hanya bisa disesaki oleh 300-400 ribu massa. Lebih dari itu, akan jadi
neraka kerumunan.[3]
Sementara itu, pendukung Mursi – bukan hanya dari kubu
Islamis, tetapi juga National Coalition for
Supporting Legitimacy yang bersetuju dengan hasil Pemilu dan
supremasi sipil – telah mencatat 11 juta dukungan (pertengahan Juni 2013).[4] Ini juga sulit dibuktikan, tetapi bisa dilacak
tanda-tandanya dalam demonstrasi massa yang berpusat di lapangan Rabiah
el-Adaweyah (Naser City), lalu menyebar Maidan Nahdah, selanjutnya menyemuti
pusat kota Ramses Street. Sekujur kota Kairo stop beraktivitas untuk sementara
waktu. Bahkan, aksi massa itu mempengaruhi lalu lintas ke kota lain, karena
terminal Ramses yang berdekatan dengan Jembatan 6 Oktober jadi urat nadi. Tapi
semua berjalan damai, tak ada aksi anarki, kecuali saat preman bayaran dan
aparat keamanan memprovokasi. Karena itulah bisa dipahami majalah Time[5] membuat laporan utama The World Best Protesters,’ dengan 7 juta massa di
seluruh penjuru kota.
Diskursus revolusi di Mesir pada pada fase penumbangan
diktator (2011) maupun fase kudeta (2013) tak mungkin dilepaskan dari peran
gerakan Kiri (sosialis-Nasseris), karena itu tak bisa disederhanakan hanya
sebagai pertarungan wacana Liberal vs Islamis.[6] Coen sengaja menyimpan jejak aktivis Kiri agar
terselamatkan dari perebutan kekuasaan temporal, sehingga dapat berlindung
dalam tesis suci tentang revolusi genuin rakyat. Hal itu tidak berlaku bagi Alaa
Abdel Fattah,[7]salah seorang tokoh muda Kiri di balik Revolusi 25
Januari 2011, yang mempopulerkan slogan ‘Roti, Kebebasan, dan Keadilan Sosial’
(Bread, Freedom, Social Justice). Sebenarnya ada pula
peran kelompok independen yang antara lain diwakili figur Wael Ghanem,[8] Marketing
Executive Google untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang
menginisiasi gerakan We Are All Khaled Saidlewat facebook. Ada lagi, aktivis perempuan Asmaa Mahfoudz,[9] yang menerbitkan video berani mati sebagai bentuk
deklarasi anti-Mubarak di Youtube untuk
membakar semangat para demonstran di Tahrir Square. Spektrum ideologi pendukung
Revolusi sangat rancak mirip Wikipedia, dalam
istilah Ghanem, karena setiap orang dapat memberikan kontribusi.
Apakah Coen sengaja membatasi bacaan atau menyembunyikan
fakta gerakan Kiri (dan beragam kelompok lain) di Mesir? Yang menyedihkan,
inisiatif pembangkangan aktivis Kiri telah dimanfaatkan jenderal militer
loyalis Mubarak dan memunculkan impase politik baru, kebuntuan yang berujung
kekerasan. Sebagaimana pengamat liberal, Zuhairi Misrawi,[10] Coen berselebrasi dengan wacana kudeta, seraya
melupakan sejarah kelam pemerintahan sipil Salvador Allende yang digulingkan
Jenderal Augusto Pinochet.
Menjadi tanggung-jawab intelektual Kiri untuk
berterus-terang: apakah mereka bersetuju dengan kudeta militer sebagai bagian
dari perlawanan rakyat tak bersenjata? Jika menolak pemerintahan sipil hasil
pemilu yang dinilai tak becus menjalankan tuntutan Revolusi, maka haruskah
bersepakat dengan pemerintahan boneka yang dikontrol penuh militer dan berniat
menjalankan pemilu di masa darurat (agar calon militer maju lagi dalam pemilu
dan mendapat legitimasi palsu)? Bagaimana upaya mencerdaskan dan menjaga
stamina rakyat proletar untuk mengawal misi Revolusi, jika sebagai intelektual
Kiri sudah menentukan distingsi: mana (kelompok) rakyat yang harus dibela, mana
(kelompok) rakyat yang harus dikorbankan? Seberapa relevan pandangan humanisme
Kiri dalam menimbang nyawa manusia yang bergelora menuntut perubahan?[11]Darah yang tumpah di Indonesia (1965) atau di Chile
(1973) atau di Mesir (2013) adalah darah rakyat, meski berlabel komunis atau
sosialis atau islamis.
Konstelasi politik rumit
Coen
menyebut empat kekuatan yang berpengaruh pasca kejatuhan Mubarak di Mesir,
yaitu: militer yang terselamatkan gempuran Revolusi, birokrat antek Mubarak
(fulul), IM yang diakui memiliki struktur dan jaringan organisasi luas, dan
massa rakyat yang berasal dari berbagai aliran politik dan ideologi
campur-aduk. Lalu, di mana posisi kekuatan kiri (sosialis-nasseris)? Rupanya,
Coen menisbatkan kelompok Kiri sebagai bagian dari kuasa besar bernama ‘massa
rakyat,’ padahal real politiknya terbatas. Tiga kelompok pertama dicap Coen
sebagai ‘pemain lama dalam desain politik Mubarak dan secara institusi dan program-program
politik adalah yang paling siap dalam proses politik pasca penggulingan.’
Sementara kekuatan rakyat, dijelaskan Coen, walaupun moral politiknya besar,
tapi secara kelembagaan politik paling lemah karena: tidak punya kepemimpinan
politik yang jelas, tidak punya struktur organisasi yang teratur dan luas,
serta tidak memiliki program-program politik dan ekonomi alternatif yang solid.
Sebuah otokritik yang jujur tentang kelemahan golongan Kiri.
Coen mengkategorikan IM sebagai pemain lama bersama militer
dan birokrat fulul, seakan terpisah dari kekuatan rakyat yang secara implisit
dipersepsikan sebagai pemain baru. Di sinilah kesalahan persepsi itu bermula,
berdasar asumsi bahwa IM tidak terlibat dalam arus Revolusi Januari 2011
menggulingkan rezim Mubarak. Suatu asumsi yang terbangun berlandaskan teks
formal dan tidak membaca secara cermat dinamika di lapangan, termasuk di Medan
Tahrir pada masa-masa genting kejatuhan Mubarak. Pimpinan IM[12] memang tidak memberikan pernyataan formal untuk
memelopori atau memimpin Revolusi, namun mereka mendukung penuh dan menugaskan
kader-kader muda[13] untuk memperkuat soliditas aksi dan melindungi
peserta aksi dari kalangan perempuan atau kelompok rentan.
Tokoh muda IM, Mohammed Abbas merupakan salah seorang
anggota The Revolutionary Youth Council yang terbentuk di
Medan Tahrir dan bertahan selama 18 hari Revolusi. Tokoh senior IM secara bijak
mengambil jarak dari Revolusi Kaum Muda Mesir, agar gerakan perlawanan massif
itu tidak prematur karena bisa dicap mengusung ideologi Islamis atau dicap
sekadar duplikasi Revolusi Islam Iran (1979). Harga yang harus dibayar adalah
IM dipersepsikan kontra-revolusioner atau justru menunggangi Revolusi untuk
ambisi kekuasaan. Anehnya, tak ada yang menuding hal serupa ketika tokoh
liberal semacam Mohammed el-Baradei baru turun ke Medan Tahrir persis di bulan
Januari 2011. El-Baradei kini diangkat sebagai Wakil PM dalam pemerintahan
sementara, setelah kalah dalam pilpres tahun 2012.
Para aktivis dan wartawan yang terlibat langsung di Medan
Tahrir pasti mencatat peran tak terbantahkan kader IM dalam melindungi gerakan
rakyat dari penyusupan dan provokasi preman atau aparat loyalis Mubarak.[14] Tugas lain kader IM ialah mengamankan toko dan
apartemen yang ditinggalkan penghuninya karena bergabung dengan aksi di Medan
Tahrir, termasuk memasok dan mengatur logistik demonstran. Bahkan, sampai soal
kecil kebersihan di Medan Tahrir menjadi perhatian kader IM, disamping penataan
waktu dan barisan shalat berjamaah. Konsistensi IM dalam pendisiplinan aksi
massa tetap terjaga pada saat atau pasca penjatuhan Mursi, dengan mengusung
slogan pro-legitimasi dan pro-konstitusi. Demonstrasi Tajarrud yang berpusat di
Medan Rabiah al-Adawiyah terlihat rapi dan aman, sementara demonstrasi di Medan
Tahrir yang dimotori Tamarrud merekam pelecehan seksual terhadap sedikitnya 100
perempuan.
Pada momen
yang tepat dan diperhitungkan dengan jeli untuk menandai Revolusi 2011, IM
menghadirkan tokoh sekaliber Yusuf Qaradhawy untuk memimpin khutbah Jum’at di
Medan Tahrir. Tapi, IM tidak mau memonopoli panggung Tahrir, sehingga tokoh
seperti el-Baradei dan Amr Mousa yang lebih menguasai panggung, selain Hamdin Sabahi.
IM memang pemain lama dalam perpolitikan Mesir, jauh sebelum Mubarak berkuasa,
karena sejak berdiri 1928 di kota Ismailiyah, IM menyatakan menaruh perhatian
terhadap kondisi negara Mesir (saat masih di bawah kekuasaan Raja Farouk) dan
dunia Islam. IM bukan semata gerakan dakwah yang meramaikan masjid dengan
zikir, namun memompa semangat perjuangan rakyat. Pendukung utama IM di masa
awal terdiri dari kalangan pedagang, pekerja, kuli pelabuhan dan petani kecil
plus guru dan dosen. Karena formasi keanggotaan yang beragam itulah, IM
menampilkan diri sebagai gerakan populis, meski tak bisa dibilang gerakan
proletariat dalam kacamata Kiri. Tapi jelas, IM tak bisa dikategorikan sebagai
kelas borjuasi yang tak memiliki basis sosial dan ideologi di akar rumput.
Hasil
pemilu legislatif tahun 2011 diperkuat dengan pemilihan presiden 2012
menunjukkan, basis IM justru di pedesaan dan kota-kota kecil di luar Kairo.
Sangat gamblang tergambar dalam hasil pemilu itu, betapa loyalis Mubarak hanya
menguasai kota-kota besar yang dikontrol ketat aparat, sambil berbagi suara
dengan partai sosialis dan liberal yang bermain di kalangan menengah. Jika
harus dibandingkan, IM di Mesir bak perpaduan Masyumi (dalam hal ideologi) cum
PDIP/NU (dalam hal loyalitas pengikut) di Indonesia. Mungkin tak paralel betul,
namun siapa dapat memungkiri bahwa IM adalah arus utama gerakan populis di
Mesir dan bukan kelompok minoritas pinggiran, apalagi sekadar klub intelektual
salon.
Pengkhianatan IM?
Untuk mendukung tesisnya, betapa kudeta militer tak perlu
ditangisi, Coen mendalilkan IM mengkhianati Revolusi saat berkolaborasi dengan
militer. Pada Februari 2011, Coen menyitir beberapa anggota Dewan Penasehat[15] IM bertemu dengan Wakil Presiden Jenderal
Omar Suleiman. Hasil pertemuan itu, masih menurut Coen, adalah IM sepakat untuk
membersihkan Tahrir Square dari para demonstran. Sebagai imbalannya, militer
akan membebaskan dua tokoh terkemuka IM dari dalam penjara, yakni Khairat
El-Shater dan Hassan Malek. Entah apa kaitannya, Coen menjelaskan, militer
kemudian membebaskan Aboud dan Tarek El Zomor yang dipenjara karena tuduhan
hendak membunuh Presiden Anwar Sadat. Tak lama kemudian, Tarek al-Bishri dan
anggota IM Sobhi Saleh, ditunjuk SCAF untuk mempersiapkan amandemen konstitusi.
Simpulan Coen terlalu jauh menafsirkan interaksi antar
kekuatan politik di tengah situasi chaospasca mundurnya
Mubarak. Esam al-Amin[16] mencatat, justru militer (SCAF) yang
berinisiatif mencari pelindung agar kejahatan politik dan skandal korupsinya
selama rezim Mubarak berkuasa tak dituntut kaum revolusioner. Militer memasang
tiga target utama sebagai garansi apabila kekuasaan diserahkan kepada
pemerintahan sipil. Pertama, mengamankan
kekayaan haram para jenderal yang bernilai 25-35 persen dari ekonomi nasional
hasil korupsi. Kedua, imunitas dan impunitas
dari segala kejahatan politik dan ekonomi yang dilakukan di masa lalu. Ketiga, status istimewa dalam konstitusi yang
membolehkan militer mengontrol anggarannya tanpa pengawasan sipili dan memiliki
hak veto untuk kebijakan strategis, termasuk hubungan luar negeri dan keputusan
untuk menyatakan perang dan damai. Bagaimana mungkin IM dapat memberikan
garansi itu semua, sedang legitimasi politik belum di tangan dan pemilu yang
bebas masih dalam wacana? Media pro-militer dan loyalis Mubarak, telah
mendefinisikan setiap peristiwa sesuai dengan kehendak politiknya. Bahkan,
media pro-status quo tak segan-segan melakukan manipulasi agar membentuk opini
publik. Itulah yang dianggap sebagai fakta.
Sikap kritis tetap dipertahankan kaum Islamis sebagaimana
terlihat dalam kritik Tariq Ramadan,[17]cucu langsung Hassan al-Banna yang kini menetap di Eropa,
dalam kondisi revolusi yang kompleks sering terjadi paradoks. Setelah Mursi
terpilih sebagai Presiden dan rancangan konstitusi mulai disusun, maka militer
menuntut kembali hak prerogatifnya. Konstitusi itu menetapkan 15 anggota Dewan
Keamanan Nasional, sesuai dengan jumlah wilayah otonomi militer, mencakup
tanggung-jawab untuk masalah vital seperti pernyataan perang dan damai, serta
kewenangan peradilan militer untuk memeriksa kasus sipil. Sebuah porsi
kuasa yang membuat peran militer lebih menentukan dalam konfigurasi baru
politik Mesir, bahkan lebih luas daripada di masa Mubarak, begitu kritik tajam
Ramadan.
Pandangan
kritis sangat diperhatikan penentu kebijakan IM di masa Revolusi, karena itu
mereka tidak pernah memberikan konsesi kepada militer untuk menekan aksi
demonstran di Tahrir Square. Buktinya, kader muda IM tetap bergabung bersama
kaum revolusioner sampai jadwal pemilu ditentukan. Setelah proses pemilu,
segenap komponen gerakan IM menyokong fondasi kehidupan demokrasi berbasis
konstitusi baru. Sebab, mereka merasakan betul derita rakyat akibat kondisi
darurat militer sejak Revolusi 1952. Presiden sementara Adly Mansour dan PM
Hazem Beblawi serta Wakil PM el-Baradei tak pernah merasakan sedikitpun derita
rakyat. Mereka kaum elite borjuasi sejati yang hidup aman dan mewah di tengah
penderitaan rakyat. IM menginginkan rakyat Mesir hidup normal sebagaimana
negeri demokrasi lainnya. Sikap politik IM itu dapat diteorikan sebagai format
baru gerakan Islam pasca Musim Semi Arab, yang mengarah pada gerakan
konstitusionalisme. Andai saja, IM mau berkolaborasi dengan militer untuk
memenuhi ambisi politiknya, sebagaimana ilusi Coen, maka kedua kekuatan itu
akan sukses bersekutu menghabisi lawan politik lainnya. Tak ada yang mampu
menandingi kedua aktor utama itu seandainya bersatu, meskipun kekuatan lain
didukung Amerika Serikat dan Israel serta didanai Negara-negara Teluk
sekalipun.
Tapi, IM menolak berselingkuh dengan militer. Mereka
konsisten untuk memenuhi misi Revolusi: mengakhiri rezim darurat militer dan
membentuk pemerintahan sipil yang kokoh. Untuk itu, IM menyetujui pembentukan
partai politik (Freedom and Justice Party),
sebagaimana kekuatan lain bebas melakukan hal serupa. Tatkala FPJ menang pemilu
dan Mursi memenangkan kursi Presiden, Muhammad Badie selaku Ketua Umum IM
menyatakan secara terbuka: ‘Rakyat Mesir telah menentukan pemimpinnya yang
baru. Saya tunduk kepada perintah Presiden yang dipilih oleh rakyat.[18]
Fakta yang
tak terbantahkan, Presiden Mursi kemudian memensiunkan dini dua Jenderal paling
berpengaruh dalam militer, yakni Hussein Tantawi (Panglima Angkatan Bersenjata
Mesir yang berkuasa sejak 1991) dan Sami Anan (Kepala Staf Angkatan Bersenjata
sejak 2005). Tak hanya itu, Mursi juga membebas-tugaskan 70 perwira militer dan
menugaskan perwira baru yang lebih berintegritas. Hal itu bagian dari upaya
reformasi di tubuh militer. Mursi menumbuhkan kebanggaan baru di tubuh militer
saat berhasil merebut wilayah Sinai dari tangan Israel dan sukses menggelar
gencatan senjata Palestina-Israel serta mengakhiri blokade Gaza. Tak ada nuansa
kolaborasi, apalagi pengkhianatan IM, secara terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi. Suatu perkara yang luput dilakukan Mursi: reformasi di tubuh
Kepolisian dan Dinas Intelijen (Mukhabarat), yang selama ini membatasi gerak
bebas rakyat. Selain itu juga, institusi Kejaksaan dan Kehakiman masih dipenuhi
pendukung rezim lama, sehingga mereka dapat memproses dakwaan yang tak masuk
akal kepada kaum sipil revolusioner.
Tudingan Coen melompat ke kebijakan ekonomi Mursi yang
dicap neoliberal seperti model Erdoganomic di Turki. Apa yang bisa dilakukan
seorang Presiden di masa transisi, ketika tuntutan rakyat begitu tinggi dan
tekanan asing demikian dahsyat? Tatkala cadangan devisa merosot drastik,
inflasi menjulang dan angka kemiskinan serta pengangguran ikut terkerek; sebuah
langkah darurat harus dilakukan. Menurut Strategic Analysis,[19] cadangan
devisa Mesir menciut dari $13,5 milyar (2010) tinggal $4,8 milyar (2012). Angka
pengangguran meningkat dari 12,06 persen (2011) menjadi 12,31 persen (2012).
Begitu pula angka kemiskinan sangat tinggi (40 persen).
Suasana yang dihadapi Mursi, boleh jadi mirip dengan
tekanan yang dihadapi Presiden B.J. Habibie (1998-1999) di Indonesia. Karena
itu, Mursi menempuh langkah drastis berupa mengurangi impor gandum, seraya
mengoptimalkan anggaran negara untuk subsidi pertanian agar kebutuhan pokok
(roti) terpenuhi. Di era Mubarak produksi gandum domestik dibatasi maksimal 20
persen, sekarang sudah melampaui 60 persen. Dulu Mesir harus mengimpor gandum
sepenuhnya dari AS, sekarang Mursi mengimpor dari negara yang lebih bersahabat
demi menghemat belanja negara, sambil meningkatkan pendapatan petani lokal.
Mursi juga membebaskan hutang produktif 40.000 petani marjinal yang memiliki
hutang di bawah 10.000 pounds (Rp 30 Juta), sehingga mereka bisa bernafas lega
dan memulai hidup baru. Itu semacam bail out untuk
rakyat kecil.
Kesalahan
Mursi mungkin adalah menerima pinjaman IMF sebesar $ 4,8 milyar. Hal itu
dibesar-besarkan kelompok kiri Nasseris yang menggalang gerakan Tamarrud
(pembangkangan). Padahal, pinjaman itu untuk memperkuat cadangan devisa.
Padahal, di luar IMF, Mursi juga mendapat bantuan Qatar senilai $ 8 milyar dan
pinjaman lunak dari Turki sebesar $ 2 milyar. Investasi memang sulit datang di
tengah krisis politik, tapi kunjungan Mursi ke China (Agustus 2012)
menghasilkan perjanjian investasi senilai $4,9 milyar. Bersama investor Korea, Mursi
merintis pembangunan pabrik Samsung terbesar di kawasan Arab, di provinsi Bani
Suweif, agar barang elektronik terjangkau masyarakat. Pembangunan pabrik
otomotif nasional, komputer, hingga peralatan militer sudah masuk dalam program
kabinet Mursi. Yang paling memukul Negara-negara Teluk penyokong kudeta adalah
kebijakan Mursi merevitalisasi Terusan Suez, sehingga dalam satu tahun
ditargetkan meningkatkan devisa hingga $100 milyar dari semula hanya $5,6
milyar. Hal itu tentu akan menekan ekonomi Uni Emirat dan Kuwait yang bersandar
pada pelabuhan internasional.
Jika Coen masih berpikir Mursi menjalankan kebijakan
neoliberal sebagaimana Erdogan, maka Coen harus membaca ulang referensi yang
digunakannya.[20]
Kiri romantik
Sikap intelektual kiri yang membiarkan kudeta militer
tanpa kritik, bahkan melakukan selebrasi, telah menciderai aspirasi gerakan
rakyat yang murni. Dalam bahasa Khaled Abou el-Fadl,[21] justru intelegensia sekular yang terang-terangan
melakukan pengkhianatan terhadap cita-cita Revolusi dan demokrasi. Romantisme
yang mengorbankan akal sehat dan nurani universal. Sebagian di antara aktivis
Kiri ada yang menjual ayat-ayat Revolusi demi kursi kekuasaan.
Kaum Islamis dengan segala catatan plus-minus atas
gebrakan politiknya di Mesir, telah membuktikan bahwa mereka lebih siap untuk
menghadapi ajang demokrasi (Pemilu dan Referendum). Lebih dari itu, mereka juga
siap untuk berpolitik secara elegan (nir-kekerasan) di jalanan dengan aksi
massa yang tak pernah terbayangkan (unthinkable)
sebelumnya. Bukan semata mempertahankan kekuasaan, tapi menegakkan konstitusi
dan meraih legitimasi publik yang otentik.
Sementara kaum Kiri yang
berlindung di balik tesis Rosa Luxemburg atau Leon Trotsky, telah kehilangan
elan revolusionernya. Sebab, mereka tak dapat lagi merasakan harumnya gas air
mata dan wanginya darah yang tumpah ditembus peluru aparat, saat asyik
berdiskusi di ruang berpendingin udara. ●
Kepustakaan
[1] Coen Husain Pontoh, Masa Depan Demokrasi Mesir,’ http://indoprogress.com/masa-depan-demokrasi-mesir/, diakses 19 Juli 2013.
[3] Noah Shachtman, How Many People Are in Tahrir Square? Here’s
How to Tell,www.wired.com/dangerroom/2011/02/how-many-people-are-in-tahrir-square-heres-how-to-tell/, diakses 21 Juli 2013.
[4] Al-Sharq Al-Awsat, Egypt Braces for June 30 Protests,http://www.aawsat.net/2013/06/article55307786, diunduh 23 Juli 2013.
[6] Kekeliruan serupa juga terlihat dalam opini Ikhwanul Kiram
di Republika, Islam
Versus Liberal Sekuler, http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/12/23/mfhk6f-islam-versus-liberalsekuler, diunduh 24 Juli 2013.
[7] Alaa Abdel Fattah adalah seorang blogger yang
mencetuskan slogan Revolusi. Ia pembaca buku Sayid Qutb, yang salah satunya
membahas “Keadilan Sosial dalam Islam” (Al Adalah al-Ijtimaiyah fil
Islam). The
Guardian, 2 November
2011, Egyptian activist Alaa Abd El Fattah accuses army of hijacking
revolution, http://www.guardian.co.uk/world/2011/nov/02/egyptian-activist-alaa-accuses-army, diunduh 24 Juli 2013.
[8] Nancy Scola, Ghonim: “Our Revolution Is Like Wikipedia”, 14 Februari 2011,http://techpresident.com/blog-entry/ghonim-our-revolution-wikipedia, diakses 24 Juli 2013.
[9] Democracy Now!, Asmaa Mahfouz & the YouTube Video that
Helped Spark the Egyptian Uprising,http://www.democracynow.org/2011/2/8/asmaa_mahfouz_the_youtube_video_that, diunduh 24 Juli 2013.
[11] Gelombang demonstran pro-Legitimasi telah merasakan
tragedi pasca kudeta: penyerangan Jum’at (5/7) menyebabkan 47 tewas,
pembantaian subuh (8/7) menewaskan 51 jamaah di Masjid Rabiah al Adawiyah, dan
penyerangan preman bayaran di Manshurah (19/7) menewaskan 4 perempuan
demonstran.
[12] Jonathan D. Halevi, the Jerusalem Center for Public
Affairs, Intelligence
Document Reveals Muslim Brotherhood Role in Egyptian Revolution, http://jcpa.org/intelligence-document-reveals-muslim-brotherhood-role-in-egyptian-revolution/#sthash.oFSkJGL7.dpuf, diunduh 24 Juli 2013.
[13] Global Post, Inside the Muslim Brotherhood: Part 1,www.globalpost.com/dispacth/egypt/110220/inside-the-muslim-brotherhood#1, diakses 22 Juli 2013.
[14] Al Youm al Sab’aa, No. 120, “Protesters in Bloody
Wednesday clashes in Cairo’s Tahrir Square would have been slain but for the
fact that young Muslim Brothers defended them”, 15 Februari 2011.
[15] Suatu bukti Coen tak menguasasi betul struktur organisasi
IM. Maktab al-Irsyad bukanlah “Dewan Penasehat”, tapi Pengurus Pusat IM.
Istilah Mursyid Aam, sebagai konsekuensinya, juga bukan “Ketua Dewan
Penasehat”, tapi Ketua Umum. IM memang kerap menggunakan nomenklatur sufi
sebagai identitas organisasinya.
[16] Esam al-Amin, The Calculus of Egypt’s Presidential Race, International Policy Digest,http://www.internationalpolicydigest.org/2012/04/23/the-calculus-of-egypts-presidential-race/, diunggah 22 Juli 2013.
[17] Tariq Ramadan, Mohammad Morsy’s dangerous game: The unfolding
paradox in Egypt,http://www.abc.net.au/religion/articles/2012/12/13/3654018.htm, diunduh 22 Juli 2013.
[19] Strategic Analysis, Middle East and North Africa Oil and Gas
Sector Risks and Forecasts Report, The Henry Jackson Society, Juni 2013.
[20] Ahmad Dzakirin, Kebangkitan Pos-Islamisme: Analisis Strategi
dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu, Solo: Era Adicitra Intermedia, 2012.
[21] Khaled Abou El Fadl, The collapse of legitimacy How Egypts secular
intelligentsia betrayed the revolution, http://www.abc.net.au/religion/articles/2013/07/11/3800817.htm, diakses 24 Juli 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar