Rabu, 21 Agustus 2013

HT dan Demokrasi yang Mengecoh

HT dan Demokrasi yang Mengecoh
Max Regus  ;   Peneliti Doktoral The International Institute of Social Studies (ISS) Universitas Erasmus Belanda
KORAN SINDO, 21 Agustus 2013


Institute For Economics and Peace (IEP), yang berpusat di Sydney dan New York, baru saja merilis laporan tahunan. 

Di bawah judul besar, Global Peace Index 2013, berkaitan dengan raihan prospektif demokratisasi, ada kesan positif tentang Indonesia. Berada pada posisi ke-54 dari 162 negara yang dianalisis IEP, menjadikan Indonesia ada di kategori high. Berpijak pada skors yang diraih, IEP menyimpulkan Indonesia sebagai negara yang damai dan demokratis. Sebagian dari antara kita mungkin suka menikmati laporan IEP. Ada justifikasi dari pihak luar tentang pencapaian positif dalam bidang demokrasi dan pembangunan perdamaian di negeri kita. 

Sejajar dengan pendapat IEP, tampaknya, untuk urusan kebebasan sipil dan aktualisasi hak politik, Indonesia selalu disebut sebagai salah satu new comer democracy yang mencengangkan dunia. Freedom House (FH) di Amerika Serikat, selama kurun waktu 2008 hingga 2012, selalu memuji kebebasan sipil dan politik di Indonesia. Pencapaian pada salah satu aspek utama demokrasi menempatkan Indonesia pada kategori free-country. Kita pasti senang membaca sinyalemen semacam ini sebab hanya dalam waktu singkat Indonesia bisa mencapai tingkatan demokrasi yang mengagumkan. 

Kontradiksi 

Namun, ada pertanyaan mendasar lain yang cukup mengganggu kita. Siapa sesungguhnya yang menikmati kebebasan sipil; dan dengan cara apa mereka membahasakannya selama ini. Siapa yang mereguk manis dari proses demokratisasi satu dekade terakhir; lalu hanya meninggalkan remah-remah ekonomi bagi rakyat kebanyakan. 

Di titik ini perlu dikatakan bahwa transisi demokrasi memang telah menghasilkan sejumlah realitas kontradiktif. Kenyataan politik yang telah menyakiti sebagian dari warga negara. Bagi sebagian orang, demokratisasi adalah simpulan dari keuntungan ekonomi-politik yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Demokrasi liberal yang jadi pilihan model praktik politik di Indonesia telah menempatkan sebagian kelompok elite politik pada kasta tertinggi piramida sosial. 

Mereka boleh menangguk kenikmatan kekuasaan tanpa batas. Sementara sebagian besar warga hanya menikmati ketidakpastian politik yang beranakpinak dari rahim perilaku kekuasaan yang sarat keserakahan. Di bidang ekonomi, World-audit.org mengumumkan apa yang mereka sebut sebagai The Index of Economic Freedom. Ini semacam kesimpulan singkat perekonomian sejumlah negara di dunia. Namun, yang diukur dalam indeks ini tidak pada aspek ekonomi makro. 

Yang dikaji justru pada pengalaman konkret masyarakat. Sejauh mana mereka merasa aman secara ekonomis. Lebih nyata lagi, rasa aman tentu berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Pada soal ini Indonesia berada di luar angka seratus dunia. Tepatnya pada posisi ke-119 dari 161 negara. Pada aspek sosial, sebagian dari antara kita mungkin akan lebih sepakat dengan kesimpulan United State Commission on International Religious Freedom (USCRIF). 

USCRIF menyiratkan keadaan Indonesia yang belum sepenuhnya nyaman dan damai untuk sebagian orang. Sekurangnya untuk sebagian dari grup minoritas religius di Indonesia. Tidak terbantahkan, serangkaian diskriminasi politik, intimidasi sosial, dan eksklusi juridis tidak menggambarkan kondisi asali dari apa yang disebut dengan state of peace bagi mereka. Di sini kita tidak harus malu mengakui kondisi nyata kehidupan kebangsaan. Kekerasan masih menyelimuti sebagian orang dari antara kita. Hidup dalam suasana penuh ancaman. Kehidupan nirkedamaian. 

Sulit ditampik bahwa ada sisi di mana kebebasan sipil sedang berjalan pada cara yang menakutkan. Sebagian orang telah memanfaatkan kebebasan sipil untuk menyumpal kebebasan orang lain. Mereka menistakan keberadaan orang lain dalam nama kebebasan sipil. Tidak sulit menyebut contoh dari arus negatif ini. Perusakan keberadaan sebagian warga minoritas adalah ungkapan dari kebebasan sipil pada sisi ini. 

Antitesis 

Pasti tidak ada manfaat apa pun dari perdebatan tentang penilaian mana yang paling benar tentang jalan menyimpang demokrasi di negeri ini. Demokrasi yang sekian banyak mengecoh publik dengan janjijanji manis politik para penguasa. Hal yang paling penting adalah munculnya kesadaran politik bersama. 

Kesadaran itu niscaya bersinggungan dengan saling bertolak belakangnya anggapan tentang keberhasilan demokratisasi berhadapan dengan pengalaman perusakan humanitas dan kemiskinan yang masih mendera sebagian dari warga bangsa. Dengan itu, yang perlu dikerjakan secara sungguh sebetulnya adalah mengasah tekad bersama untuk membahasakan sejumlah kesimpulan positif tentang Indonesia ke dalam pengalaman konkret publik. 

Kita harus bisa mematahkan kontradiksi yang semakin menebal. Kedamaian harus menjadi bagian dari keseharian komunitas sosial. Kemakmuran dan kesejahteraan sosial mesti menjadi aspek pertama yang menentukan sejauh mana demokrasi telah mengerjakan misi paling fundamental bagi rakyat. Posisi apa yang akan diambil rezim demokratis kita pada keadaan semacam ini akan menentukan arah keindonesiaan kita ke depan. Kita butuh pemimpin politik yang tegas untuk menindak perusak kemanusiaan. Mereka yang jauh dari rasa ragu untuk melindungi kelompok lemah. 

Mereka yang bersedia menempatkan ihwal mendasar ini sebagai bagian dari amanah kekuasaan yang sedang mereka genggam. Mereka yang menekuni jalan populis untuk membumikan kemakmuran sosial di Indonesia. Di titik ini antitesis terhadap perilaku politik kekuasaan cara lama yang menggerus demokrasi akan memiliki makna fundamental. 

Alternatif 

Saat merunut pada sikap politik para pemimpin dan penguasa memang segera muncul kecemasan akan kebuntuan demokrasi. Namun, selalu ada calon pemimpin politik baru, yang tidak datang dari ranah politik semata. Tokoh seperti Hary Tanoesoedibjo (HT) yang muncul di tengah krisis kepemimpinan politik sekarang ini pasti menjadi sinyalemen positif untuk sivilisasi demokrasi di Indonesia. 

Ada pada posisi sebagai calon pemimpin politik alternatif yang dapat mengawal keberhasilan demokratisasi merupakan tugas penting yang menunggu tokoh seperti HT. Namun, juga benar bahwa berada secara langsung dan begitu cepat di pusaran sirkulasi elite politik merupakan tantangan yang sangat penting. Tidak mudah mengelola posisi strategis semacam ini. Butuh basis yang kuat. Ini diperoleh dari keterlibatan langsung di tengah kegelisahan sosial rakyat. 

Koneksitas langsung pada kehidupan rakyat yang paling konkret adalah bagian dari karya politik substansial. Keterhubungan sosial yang akurat dengan suasana batin publik pasti menumbuhkan empati demokratik dalam benak politik calon pemimpin alternatif. Dengan basis hubungan sosial yang kuat dengan komunitas rakyat yang paling miskin dan pinggiran, calon pemimpin alternatif akan terluputkan dari praksis demokrasi yang banyak merusak kesadaran asali politik. 

Demokrasi yang hanya menyisakan kepahitan untuk rakyat. Dengan itu, tokoh semacam HT akan menjadi sosok pemimpin alternatif, bukan saja dalam sosok yang baru dan berbeda, melainkan dalam keseluruhan cara pandang politik demokratis yang berorientasi pada kepentingan kerakyatan. Pemimpin politik alternatif yang mau membangun visi baru keadaban sosial-politik keindonesiaan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar