Jumat, 23 Agustus 2013

Dualisme Penyelenggara Pemilu

Dualisme Penyelenggara Pemilu
Khairul Fahmi ;   Dosen Hukum Tata Negara, Koordinator Kajian Pemilu Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
MEDIA INDONESIA, 22 Agustus 2013

PERKEMBANGAN rancang bangun kelembagaan penyelenggara pemilu yang sudah sampai pada titik ketika KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu diletakkan dalam satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu patut diapresiasi. Desain kelembagaan yang demikian setidaknya akan berkontribusi memperbaiki ketidakseimbangan selama ini, bahwa salah satu lembaga menjadi subordinat bagi yang lain, sehingga pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu sulit dilakukan secara maksimal.

Pada saat bersamaan, format yang demikian juga akan mendorong terciptanya sebuah mekanisme saling kontrol antarpenyelenggara pemilu. Kesempatan KPU dan jajarannya untuk berlaku curang akan semakin kecil karena ada pengawasan dari institusi yang ‘sama kuatnya’ dengan KPU. Begitu pula dengan Bawaslu, lembaga pengawas itu pun harus menjaga diri agar terhindar dari tindakan tidak profesional dalam melaksanakan tugas karena juga diawasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Tatanan seperti itu sengaja dibangun untuk lebih memberikan jaminan bahwa pemilu yang jujur dan adil dapat diwujudkan.

Hanya saja, menggapai citacita yang demikian bukan perkara gampang. Sebab, dalam posisi setara, benturan antarpenyelenggara pemilu bukan hal yang mustahil. Penyelenggaraan dua tahapan pemilu legislatif terakhir membuktikan betapa gesekan tajam antara KPU dan Bawaslu nyata adanya. Kondisi tersebut tidak dapat lagi dinilai sekadar dinamika hubungan kelembagaan semata, tetapi sudah masuk pada ranah hubungan kelembagaan yang kurang sehat dalam penyelenggaraan pemilu.

Dikatakan kurang sehat karena jika kondisi seperti itu terus dipertahankan, bukan tidak mungkin akan dimanfaatkan peserta pemilu untuk mengais keuntungan politik dari buruknya hubungan KPUBawaslu. Salah satu contoh, perseteruan antara KPU dan Bawaslu dalam menyelesaikan persoalan daftar calon anggota legislatif sementara. Bawaslu membatalkan keputusan KPU tentang penetapan daftar calon sementara terkait sejumlah partai politik yang dinyatakan tidak memenuhi syarat di beberapa daerah pemilihan. Di satu pihak, KPU berpendapat, segala keputusan yang diambil telah didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun Bawaslu menilai keputusan KPU tersebut sudah benar, tapi tidak adil (Kompas, 11/7), sehingga keputusan itu pun dibatalkan.

Tidak ada perlawanan dari KPU atas putusan Bawaslu karena undang-undang menegaskan keputusan Bawaslu bersifat terakhir dan mengikat dalam penyelesaian sengketa pemilu. Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada persoalan. Sifat final keputusan Bawaslu telah menegasikan keharusan adanya koreksi atas putusan Bawaslu. Apa pun yang diputus Bawaslu tidak dapat dibantah. Terlepas apakah benar atau tidak, keputusan tersebut harus dijalankan sekalipun mungkin telah menyimpang dari ketentuan yang digunakan KPU dalam melakukan verifikasi dan penetapan calon anggota legislatif sementara.

Tiga catatan

Pengalaman penyelenggaraan tahapan Pemilu 2014 yang tengah berjalan setidaknya sudah meninggalkan tiga catat an penting. Pertama, terjadi pergeseran pendulum keseimbangan hubungan antarpenyelenggara pemilu. Desain awal kelembagaan penyelenggara pemilu yang menempatkan KPU superior atas Bawaslu bergeser ke kondisi sebaliknya; Bawaslu terlihat lebih superior ketimbang KPU. Setidaknya, kesan itu muncul dalam penyelesaian sengketa pemilu yang menempatkan keputusan Bawaslu final dan mengikat.
KPU `dipaksa' melaksanakan putusan Bawaslu sekalipun putusan bersebut dalam ukuran-ukuran tertentu dapat dikatakan bermasalah.

Kedua, pada saat bersamaan, pelaksanaan tugas setiap institusi penyelenggara pemilu masih diwarnai ego sektoral yang destruktif. Belum didasarkan pada semangat dan kearifan untuk mewujudkan kesuksesan pemilu sesuai asas jujur dan adil. Ego tersebut juga terlihat dalam proses pembatalan keputusan KPU terkait dengan daftar calon sementara yang menggugurkan partai politik di sejumlah daerah pemilihan. Dalam hal ini, Bawaslu menilai peraturan yang digunakan KPU sebagai dasar memutus pengguguran parpol peserta pemilu di sejumlah daerah pemilihan tidak adil bagi caleg yang memenuhi syarat. Lalu, untuk maksud menegakkan keadilan pemilu, Bawaslu membatalkan keputusan KPU yang dibuat sesuai peraturan KPU yang mengatur pencalonan anggota legislatif.

Jika aturan yang hendak dipersoalkan, mengapa sedari awal peraturan tersebut dibiarkan begitu saja? Bagi partai-partai yang merasa diperlakukan tidak adil, kenapa tidak mencegahnya pada saat proses konsultasi pembentukan peraturan di DPR? Untuk Bawaslu, sudahkah proses pembentukan peraturan KPU diawasi secara benar sehingga peraturan tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi peserta pemilu? Membiarkan peraturan KPU yang tidak adil, lalu kemudian mempersoalkannya pada saat dilaksanakan, bukankah hanya sebuah wujud sikap kurang fair yang akan berdampak pada kebaikan penyelenggara pemilu?

Ketiga, keengganan menyelesaikan masalah menurut kanal-kanal yang tersedia.
Dalam arti, apabila terdapat materi muatan peraturan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan rasa keadilan, jalan keluar bukanlah menabraknya, melainkan melakukan pengujian terhadap materi yang dianggap bermasalah. Bahkan untuk peraturan selevel peraturan KPU tersedia mekanisme pencegahan agar tidak menyimpang dari materi yang seharusnya dimuat. Yaitu, konsultasi dengan DPR dan pemerintah sebelum peraturan KPU ditetapkan, juga pengawasan oleh Bawaslu terhadap tahapan penyusunan peraturan pelaksana penyelenggaraan pemilu. 

Pada kenyataannya, semua ingin instan. Masalah yang terjadi hanya diselesaikan untuk jangka pendek, tetapi melupakan dampak buruk jangka panjang dari keputusan penyelesaian masalah yang diambil.


Tiga catatan tersebut patut segera dijawab secara bersama oleh KPU dan Bawaslu. Keseimbangan hubungan harus segera diciptakan dengan membangun kesepahaman bersama terkait dengan ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam menyelenggarakan tahapan pemilu. Selain itu, kearifan untuk membangun dua lembaga dalam satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu mestilah dibangun secara sadar oleh setiap penyelenggara pemilu. Kiranya, hanya itulah jalan untuk segera mengakhiri dualisme penyelenggara pemilu yang sudah ditabuh. Dengan jalan itu pula, harapan terselenggaranya Pemilu 2014 yang jujur dan adil tetap dapat dipelihara. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar