|
RENTETAN
tragedi kemanusiaan terus saja terjadi di Mesir. Tiga wartawan internasional
yang bertugas meliput keganasan polisi dan militer Mesir terhadap para
pengunjuk rasa dikabarkan tewas setelah serangkaian penangkapan terhadap para
pekerja pers yang lain. Dua puluh lima polisi dikabarkan juga tewas akibat
serangan kelompok militan di Sinai. Kondisi itu diperparah dengan penangkapan
Mohamed Badie, mursyid ‘amm jemaah Ikhwanul Muslimin setelah sejumlah pemimpin
Ikhwan yang lain dijebloskan ke penjara. Hal itu masih diperburuk lagi dengan
‘rencana’ pengadilan Mesir untuk membebaskan mantan presiden Hosni Mubarak.
Namun, tragedi terbesar ialah
upaya pembubaran paksa terhadap kelompok pendukung Mursi yang melakukan aksi
damai di sekitar Masjid Rab’ah dan lapangan al-Nahdhah sekitar satu pekan lalu.
Rakyat sipil yang melakukan aksi duduk damai untuk memperjuangkan aspirasi
mereka dibubarkan secara paksa dengan menggunakan senjata pembunuh. Kendati ada
perbedaan pernyataan tentang jumlah korban tewas, diperkirakan ratusan nyawa melayang
secara keji dan ribuan lainnya mengalami luka-luka. Ikhwanul Muslimin bahkan
mengklaim korban tewas mencapai 2.000 orang. Tak ada akses keluar dari tempat itu
atau jalan meminta pertolongan sebab semua penjuru sudah dikepung oleh tentara
dan polisi antihuru-hara.
Bahkan, aliran listrik ke tempat
itu termasuk ke rumah sakit ‘lapangan’ diputus. Tak ada ambulans yang bisa
membantu mereka meskipun dokter di lapangan berteriak sangat keras kepada
mediamedia yang meliput untuk meminta bantuan ambulans segera. Mereka hanya
mengandalkan sepeda motor untuk mengangkut para korban yang terluka parah. Tayangan
televisi memperlihatkan kepanikan luar biasa di kalangan medis dan demonstran
untuk membantu para korban.
Dengan alasan apa pun, tindakan
militer dan polisi itu sungguh keji dan tak bisa diterima. Itu jelas sebagai
tindakan represif yang direncanakan sejak lama. Para pejabat tinggi
pemerintahan sementara berulang kali menyatakan rencana pembubaran massa itu
harus benar-benar dilaksanakan. Mereka berdalih, aksi itu mengancam keamanan
Mesir. Beberapa kali rencana itu urung dilakukan, tetapi akhirnya rencana
tersebut benar-benar dilaksanakan.
Lebih celaka lagi, media Mesir
seperti tutup mata terhadap tragedi itu. Mereka tetap mem-blow up keperkasaan militer Mesir dalam menjaga negeri itu termasuk
dalam menghadapi aksi massa kelompok Ikhwanul Muslimin. Bahkan, televisi
al-Arabiyyah milik Arab Saudi terus saja menayangkan alasan ‘janggal’ bagi
keabsahan terjadinya aksi kekerasan itu. Alasan itu adalah ditangkapnya
beberapa orang peserta aksi yang membawa senjata dan peluru. Melihat mimik dan
gaya bicara orang-orang yang tertangkap itu, penulis sedikit meragukan laporan
tersebut.
Massa yang melakukan aksi damai di
Rab’ah dan al-Nahdhah itu dikepung dari segala penjuru dengan persenjataan
berat untuk menutup akses bantuan.
Ketika menyaksikan tayangan itu
dari televisi al-Jazeera, penulis sungguh tak percaya, tragedi yang mengerikan
semacam itu terjadi di negeri dengan kebudayaan yang sangat tinggi dan tua.
Massa yang mela kukan aksi damai termasuk para ibu dan anak diserang dengan
senapan dari segala penjuru termasuk oleh personel penembak jitu dari sejumlah
gedung tinggi di sekitar lokasi konsentrasi massa. Betapa mengerikan, peluru
untuk perang itu diarahkan kepada massa sipil tak bersenjata.
Perubahan strategi
Yang paling mengerikan ialah
perubahan strategi kelompok Ikhwan atau sebagian faksinya ke jalan senjata.
Perampasan kekuasaan kendati dengan legitimasi aksi massa dalam jumlah sangat
besar dan represi keji terus-menerus yang dilakukan militer terhadap para
pemimpin dan pendukung mereka pasti akan memengaruhi pilihan strategi
perjuangan mereka.
Sejauh ini, mereka memang berupaya
konsisten untuk melakukan aksi secara damai dengan risiko apa pun. Hal itu
sejauh ini cukup terbukti dengan pernyataan para pemimpin dan aksi-aksi damai
Ikhwan. Bagaimanapun, Ikhwan adalah pemenang pemilu pertama Mesir yang
berlangsung secara demokratis. Kemenangan itu tak hanya di pemilu parlemen,
tetapi juga di pemilu presiden. Kelompok ini pasti berupaya sekuat tenaga men
jaga peluang mereka untuk tetap bertarung dalam pemilu. Karena itu, aksi damai
sejauh ini adalah harga mati bagi mereka.
Akan tetapi, dengan realitas baru
seperti sekarang, sampai kapan mereka akan mampu bersabar jika terus
diperlakukan seperti itu. Siapa yang bisa menjamin, peristiwa yang lebih buruk
tak akan menimpa mereka lagi. Padahal solusi politik bisa dikatakan telah gagal
menghentikan konflik. `Bayang-bayang' untuk kembali memilih jalan senjata pasti
sedang menjadi salah satu opsi sebagian faksi dari kelompok ini. Bagaimanapun,
mereka pasti berupaya membela eksistensi kelompok mereka dengan berbagai cara
yang memungkinkan.
Apalagi, Ikhwan adalah kelompok
yang memiliki sejarah perjuangan bersenjata yang tak bisa diremehkan. Andil
mereka dalam perjuangan melawan Israel dan ketahanan mereka terhadap represi
rezim Gamal Abdul Nasser, Anwar Saddad, dan Hosni Mubarak telah membuktikan
kekuatan sesungguhnya kelompok ini. Jika mereka atau sebagian mereka pada
akhirnya kembali memanggul senjata, dipastikan itu akan menjadi petaka bagi
negeri tua tersebut.
Jika jalan itu yang diambil,
Ikhwan Mesir dipastikan tidak sendiri. Mereka sudah ditunggu kelompok Hamas
yang bisa disebut sebagai cabang Ikhwan di Gaza. Keduanya sudah menjalin kerja
sama yang erat dan konkret sejak menjelang penjatuhan Hosni Mubarak dua
setengah tahun lalu. Kelompok-kelompok Ikhwani yang tersebar di berbagai negara
juga pasti turut membantu kendati dengan cara-cara yang lebih soft.
Namun, sebagian pemimpin Ikhwan
pasti akan berpikir lebih panjang demi masa depan kelompok itu. Bisa jadi,
semua itu merupakan skenario sistematis untuk menyingkirkan mereka dari pentas
politik Mesir. Hal tersebut mungkin saja sebab kelompok ini terbukti sangat
kuat untuk dilawan melalui pemilu demokratis, bahkan kelompok ini juga terlalu
tangguh dalam aksi di jalanan. Seruan untuk menyingkirkan Ikhwan dari pentas
politik Mesir memang sudah nyaring terdengar sejak aksi massa menjatuhkan Mursi
beberapa waktu lalu.
Para pemimpin Ikhwan pasti berpikir sangat keras untuk
menentukan langkah berikutnya. Pilihan yang akan ditempuh Ikhwan saat ini,
melanjutkan demonstrasi damai ataupun memanggul senjata. Keduanya sama-sama
pahit, dan berpotensi melahirkan tragedi-tragedi kemanusiaan serupa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar