Jumat, 14 Juni 2013

Taufiq Kiemas dan Garuda Pancasila

Taufiq Kiemas dan Garuda Pancasila
Agus Dermawan T ;   Penulis Buku-Buku Berbasis Seni, Sosial, dan Budaya
KORAN TEMPO, 13 Juni 2013


Lalu, siapa yang mencipta lambang Garuda Pancasila, sampai sekarang belum ada yang berani memastikan. Namun ide dasarnya diyakini dari Presiden Sukarno, sang penggali Pancasila. 
Taufiq Kiemas, Ketua MPR, menantu Bung Karno, baru saja berpulang. Salah satu pemikiran besarnya adalah mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menjunjung Empat Pilar Kebangsaan, yakni kembali memeluk Pancasila sebagai falsafah hidup, melaksanakan UUD 1945, mengukuhkan NKRI, dan menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai kulminasi perilaku bangsa.
Menyentuh kata Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, almarhum Taufiq Kiemas seperti mengajak kita untuk menengok tajam lambang Garuda Pancasila. Sebuah gambar yang kita tatap setiap waktu, namun acap kita lupakan suratan maknanya. Sebuah ikon visual yang luar biasa dikenali, tetapi sering kita biarkan terpampang tanpa arti. Untuk menggenapi penghormatan kepada Taufiq Kiemas, penting apabila sejarah lambang itu dibuka kembali.
Pancasila dilahirkan pada 1 Juni 1945. Beberapa tahun kemudian, bangsa Indonesia memformulasikan simbol dari Pancasila, dengan memakai burung garuda sebagai maskotnya. Jadilah lambang Garuda Pancasila. Yang jadi pertanyaan, mengapa harus burung garuda? Kok bukan keledai atau kura-kura? Negara sejak awal menjawab hal itu lewat Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951. Di situ disebutkan bahwa burung garuda "dipercaya" lantaran peradaban Nusantara telah mengakrabi satwa itu dalam tempo begitu lama. Sosok garuda (yang disamakan dengan elang dan rajawali) terukir pada relief sejumlah candi yang dibangun pada abad ke-6 sampai ke-16, dengan segala variasinya.
Garuda Erlangga
Di candi Dieng, misalnya, garuda digambarkan sebagai satwa yang anggun dan cantik. Di Candi Prambanan, ia dipersonifikasikan sebagai pahlawan sejati sebagaimana Jatayu dalam cerita Ramayana. Di Candi Penataran, ia digambarkan berparuh panjang, dengan kepala berambut lebat bagai pendeta yang sakti mandraguna. Adapun kajian zoologi memposisikan garuda sebagai satwa yang memiliki keterampilan hebat. Sayapnya sanggup membawa terbang jauh, matanya sangat awas, tenaganya besar, kecepatannya tak tertandingi, dan akselerasinya tinggi. Di sisi yang berhubungan dengan visi, garuda dihubungkan dengan ungkapan "aquila non captat muscas", yang maknanya "garuda tak akan menangkap lalat". Artinya, Sang Garuda, atau bangsa Indonesia, punya target kebangsaan yang besar.
Burung garuda memang menjadi junjungan sejak dahulu kala. Raja Erlangga memaktubkan lambang garuda atau Garudamukka dalam meterai kerajaannya. Sebuah peninggalan unik yang masih bisa dilongok di Museum Nasional, Jakarta. Dalam literatur Barat yang ditulis pada abad ke-15 terjabar betapa raja Jawa acap kali menggambarkan dirinya duduk di punggung seekor burung perkasa yang terbang di atas api unggun, sementara raja Sumatera mengendarai garuda galak yang menunjukkan cakarnya. 
Lalu, siapa yang mencipta lambang Garuda Pancasila, sampai sekarang belum ada yang berani memastikan. Namun ide dasarnya diyakini dari Presiden Sukarno, sang penggali Pancasila. Di celah-celahnya ada masukan filosofi dari Mohammad Hatta. Dari aspek rupa, ada usulan dari Muhammad Yamin serta Sultan Hamid II, yang menjabat Ketua Panitia Lencana Negara di masa kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS). 
Yang pasti, lambang Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang tak pernah berubah sejak dipakai. Perubahan terakhir dilakukan pada 1949. Pada waktu itu Bung Karno meminta kepada pelukis Dullah untuk mengubah gambar kaki burung garuda dalam lambang, yang cengkeramannya dirasakan janggal. Jari-jari garuda itu semula mencengkeram sejurai pita dengan ibu jari tampak di bagian depan. Ibu jari itu dipindah ke belakang, sehingga yang tampak di bagian depan adalah tiga jari garuda yang lain. Atas jasa itu, di antaranya, Dullah lantas diangkat menjadi Pelukis Istana Presiden, 1950-1960.
Burung Garuda ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1951, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66. Namun, setahun sebelumnya, lambang itu telah dipakai untuk berbagai keperluan.
Kitab Sutasoma 
Lambang Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang tentulah yang terbagus di antara gambar-gambar lain yang diajukan oleh Panitia Lencana Negara. Lambang pertama yang tak lolos seleksi tampak menghadirkan banteng bertanduk panjang, dengan di atasnya terlihat matahari sedang memancar di balik pohon kelapa yang lebat buahnya. Lambang kedua berilustrasi seekor burung bertubuh dan berkepala manusia bermahkota, dengan sayap yang menguncup ke bawah. Lambang ketiga bergambar garuda berkaki manusia sedang duduk anggun. Di leher garuda tergantung perisai yang memaktubkan simbol-simbol 5 sila dari Pancasila. Uniknya, gambar keris dijadikan simbol "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Ketiga lambang ini dikurung lingkaran yang memaktubkan tulisan "Republik Indonesia Serikat" atau RIS.
Pada lambang keempat, lingkaran itu dibuang. Lambang Garuda Pancasila kita sekarang adalah modifikasi dari desain keempat ini. Apalagi numerologi yang ditandai oleh jumlah elemen lambang itu juga sama. Misalnya jumlah sayap yang 17 (tanggal kemerdekaan), bulu ekor yang berjumlah delapan (bulan delapan, atau Agustus). Termasuk pemakaian simbol kelima sila. Bintang sebagai presentasi dari cahaya untuk sila "Ketuhanan yang Maha Esa". Rantai hati antar-manusia untuk sila "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Pohon berakar kuat untuk sila "Persatuan Indonesia". Kepala banteng, satwa sabar tapi digdaya, untuk sila "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Gambar padi dan kapas, flora hasil kemurahan bumi Nusantara, untuk sila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". 
Yang tak kalah penting dari semua hal di atas adalah semboyan yang tertulis dalam pita yang dicengkeram oleh kaki Sang Garuda. Di situ terbaca kalimat "Bhinneka Tunggal Ika", yang diterjemahkan sebagai "berbeda-beda namun satu jua". Semboyan ini bersumber dari kitab Sutasoma karangan Empu Tantular, abad ke-14. 
Kata-kata itu dipakai oleh Tantular untuk menjelaskan paham sinkretisme antara Hinduisme dan Buddhisme, yang menjadi aliran pada zamannya. Kalimat tersebut lengkapnya demikian: Siwatattwa lawan Buddhatattwa tunggal, bhinneka tunggal ika, tanhana dharma mangrwa. Artinya, Siwa dan Buddha itu satu, dibedakan tetapi satu, tidak ada ajaran agama yang bersifat mendua.

Rasanya, apa yang termaknakan dari bahasa asal itu bisa jadi bahan renungan bangsa Indonesia sekarang, yang sedang terpecah-pecah akibat sikap intoleran di antara (aliran) agama. Sebuah sikap buruk, yang bisa saja disebabkan oleh ketidakpahaman sebagian masyarakat atas gambar lambang Garuda Pancasila. Lewat Empat Pilar, Taufiq Kiemas mengingatkan kita akan hal itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar