|
KORAN
TEMPO, 13 Juni 2013
Lalu, siapa yang mencipta lambang Garuda Pancasila, sampai
sekarang belum ada yang berani memastikan. Namun ide dasarnya diyakini dari
Presiden Sukarno, sang penggali Pancasila.
Taufiq Kiemas, Ketua MPR, menantu Bung Karno, baru saja
berpulang. Salah satu pemikiran besarnya adalah mengajak seluruh masyarakat
Indonesia untuk menjunjung Empat Pilar Kebangsaan, yakni kembali memeluk
Pancasila sebagai falsafah hidup, melaksanakan UUD 1945, mengukuhkan NKRI, dan
menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai kulminasi perilaku bangsa.
Menyentuh kata Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, almarhum
Taufiq Kiemas seperti mengajak kita untuk menengok tajam lambang Garuda
Pancasila. Sebuah gambar yang kita tatap setiap waktu, namun acap kita lupakan
suratan maknanya. Sebuah ikon visual yang luar biasa dikenali, tetapi sering kita
biarkan terpampang tanpa arti. Untuk menggenapi penghormatan kepada Taufiq
Kiemas, penting apabila sejarah lambang itu dibuka kembali.
Pancasila dilahirkan pada 1 Juni 1945. Beberapa tahun
kemudian, bangsa Indonesia memformulasikan simbol dari Pancasila, dengan
memakai burung garuda sebagai maskotnya. Jadilah lambang Garuda Pancasila. Yang
jadi pertanyaan, mengapa harus burung garuda? Kok bukan keledai atau kura-kura?
Negara sejak awal menjawab hal itu lewat Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 66
Tahun 1951. Di situ disebutkan bahwa burung garuda "dipercaya"
lantaran peradaban Nusantara telah mengakrabi satwa itu dalam tempo begitu
lama. Sosok garuda (yang disamakan dengan elang dan rajawali) terukir pada
relief sejumlah candi yang dibangun pada abad ke-6 sampai ke-16, dengan segala
variasinya.
Garuda Erlangga
Di candi Dieng, misalnya, garuda digambarkan sebagai satwa
yang anggun dan cantik. Di Candi Prambanan, ia dipersonifikasikan sebagai
pahlawan sejati sebagaimana Jatayu dalam cerita Ramayana. Di Candi Penataran,
ia digambarkan berparuh panjang, dengan kepala berambut lebat bagai pendeta
yang sakti mandraguna. Adapun kajian zoologi memposisikan garuda sebagai satwa
yang memiliki keterampilan hebat. Sayapnya sanggup membawa terbang jauh,
matanya sangat awas, tenaganya besar, kecepatannya tak tertandingi, dan
akselerasinya tinggi. Di sisi yang berhubungan dengan visi, garuda dihubungkan
dengan ungkapan "aquila non captat
muscas", yang maknanya "garuda
tak akan menangkap lalat". Artinya, Sang Garuda, atau bangsa
Indonesia, punya target kebangsaan yang besar.
Burung garuda memang menjadi junjungan sejak dahulu kala.
Raja Erlangga memaktubkan lambang garuda atau Garudamukka dalam meterai
kerajaannya. Sebuah peninggalan unik yang masih bisa dilongok di Museum Nasional,
Jakarta. Dalam literatur Barat yang ditulis pada abad ke-15 terjabar betapa
raja Jawa acap kali menggambarkan dirinya duduk di punggung seekor burung
perkasa yang terbang di atas api unggun, sementara raja Sumatera mengendarai
garuda galak yang menunjukkan cakarnya.
Lalu, siapa yang mencipta lambang Garuda Pancasila, sampai
sekarang belum ada yang berani memastikan. Namun ide dasarnya diyakini dari
Presiden Sukarno, sang penggali Pancasila. Di celah-celahnya ada masukan
filosofi dari Mohammad Hatta. Dari aspek rupa, ada usulan dari Muhammad Yamin
serta Sultan Hamid II, yang menjabat Ketua Panitia Lencana Negara di masa
kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS).
Yang pasti, lambang Garuda Pancasila yang kita kenal
sekarang tak pernah berubah sejak dipakai. Perubahan terakhir dilakukan pada
1949. Pada waktu itu Bung Karno meminta kepada pelukis Dullah untuk mengubah
gambar kaki burung garuda dalam lambang, yang cengkeramannya dirasakan janggal.
Jari-jari garuda itu semula mencengkeram sejurai pita dengan ibu jari tampak di
bagian depan. Ibu jari itu dipindah ke belakang, sehingga yang tampak di bagian
depan adalah tiga jari garuda yang lain. Atas jasa itu, di antaranya, Dullah
lantas diangkat menjadi Pelukis Istana Presiden, 1950-1960.
Burung Garuda ditetapkan sebagai lambang negara Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1951, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66.
Namun, setahun sebelumnya, lambang itu telah dipakai untuk berbagai keperluan.
Kitab Sutasoma
Lambang Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang tentulah
yang terbagus di antara gambar-gambar lain yang diajukan oleh Panitia Lencana
Negara. Lambang pertama yang tak lolos seleksi tampak menghadirkan banteng
bertanduk panjang, dengan di atasnya terlihat matahari sedang memancar di balik
pohon kelapa yang lebat buahnya. Lambang kedua berilustrasi seekor burung
bertubuh dan berkepala manusia bermahkota, dengan sayap yang menguncup ke
bawah. Lambang ketiga bergambar garuda berkaki manusia sedang duduk anggun. Di
leher garuda tergantung perisai yang memaktubkan simbol-simbol 5 sila dari
Pancasila. Uniknya, gambar keris dijadikan simbol "Kemanusiaan yang adil
dan beradab". Ketiga lambang ini dikurung lingkaran yang memaktubkan
tulisan "Republik Indonesia Serikat" atau RIS.
Pada lambang keempat, lingkaran itu dibuang. Lambang Garuda
Pancasila kita sekarang adalah modifikasi dari desain keempat ini. Apalagi
numerologi yang ditandai oleh jumlah elemen lambang itu juga sama. Misalnya
jumlah sayap yang 17 (tanggal kemerdekaan), bulu ekor yang berjumlah delapan
(bulan delapan, atau Agustus). Termasuk pemakaian simbol kelima sila. Bintang
sebagai presentasi dari cahaya untuk sila "Ketuhanan yang Maha Esa".
Rantai hati antar-manusia untuk sila "Kemanusiaan yang adil dan
beradab". Pohon berakar kuat untuk sila "Persatuan Indonesia".
Kepala banteng, satwa sabar tapi digdaya, untuk sila "Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".
Gambar padi dan kapas, flora hasil kemurahan bumi Nusantara, untuk sila "Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Yang tak kalah penting dari semua hal di atas adalah
semboyan yang tertulis dalam pita yang dicengkeram oleh kaki Sang Garuda. Di
situ terbaca kalimat "Bhinneka Tunggal Ika", yang diterjemahkan
sebagai "berbeda-beda namun satu jua". Semboyan ini bersumber dari
kitab Sutasoma karangan Empu Tantular, abad ke-14.
Kata-kata itu dipakai oleh Tantular untuk menjelaskan paham
sinkretisme antara Hinduisme dan Buddhisme, yang menjadi aliran pada zamannya.
Kalimat tersebut lengkapnya demikian: Siwatattwa
lawan Buddhatattwa tunggal, bhinneka
tunggal ika, tanhana dharma mangrwa. Artinya, Siwa dan Buddha itu satu,
dibedakan tetapi satu, tidak ada ajaran agama yang bersifat mendua.
Rasanya, apa yang termaknakan dari bahasa asal itu bisa
jadi bahan renungan bangsa Indonesia sekarang, yang sedang terpecah-pecah
akibat sikap intoleran di antara (aliran) agama. Sebuah sikap buruk, yang bisa
saja disebabkan oleh ketidakpahaman sebagian masyarakat atas gambar lambang
Garuda Pancasila. Lewat Empat Pilar, Taufiq Kiemas mengingatkan kita akan hal
itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar