Jumat, 14 Juni 2013

Saat TKI Ditinggal Negara

Saat TKI Ditinggal Negara
Siti Marwiyah ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas dr Soetomo Surabaya
JAWA POS, 13 Juni 2013



WITH money you can buy blood but not life (Dengan uang, Anda bisa membeli darah, tapi tidak bisa membeli hidup). Insiden Jeddah membuktikan bahwa real yang diperoleh TKI tidak mampu menyelamatkan nyawa sendiri ketika negara ''membunuhnya''. Setelah insiden Jeddah, negara memang wajib mendapat kritik sengit. Pasalnya, insiden itu menjadi sampel bahwa negara sedang mengidap amnesia soal kewajibannya dalam melindungi atau menyelamatkan hak hidup rakyanya yang menjadi TKI di negara lain. 

Selama ini para TKI memang bisa memberikan ''investasi'' besar kepada negaranya dalam bentuk real, dolar, ringgit, dan lain sebagainya kepada keluarga dan negara. Namun, mereka sering terabaikan saat sedang bermasalah secara hukum atau mengurus perpanjangan perizinan yang menjadi kewajiban negara melayani. Ketika harus menghadapi aparat hukum asing, mereka diperberat dengan meladeni birokrat-birokrat nakal dan lamban di KJRI.

Janji pejabat negara, termasuk menteri tenaga kerja, untuk melindungi hak hidup buruh/TKI sering kita dengar, namun terus terjadi peristiwa besar yang menyentak. Kalau kekerasannya tidak sangat parah, elemen negara biasanya tidak banyak memberikan respons positif. Apa yang menimpa mereka dianggap oleh negara sebagai kecelakaan wajar dalam dunia kerja atau risiko pergulatan hidup di luar negeri. 

Kasus Jeddah menunjukkan birokrat Indonesia di mancanegara juga memproduksi model perlakuan yang menempatkan TKI sebagai objek. Mereka, misalnya, dibiarkan mengurus perizinan di KBRI dengan tanpa penghormatan perlindungan kesehatan dan keselamatan. Logis jika kita mengajukan gugatan, benarkah pekerja Indonesia di luar negeri (buruh migran) masih menjadi warga yang punya negara? Tidakkah kekerasan akibat payahnya birokrat negara RI layak dikategorikan sebagai perbuatan anti kemanusiaan?

Secara de jure, pemerintah ini memang masih mengakui bahwa TKI yang bekerja di Malaysia, Brunei, Hongkong, Arab Saudi, Singapura, dan sejumlah negara lain yang menjadi jujukan TKI adalah warganya. Tetapi, dalam realitasnya, negara ini belum menunjukkan jati dirinya sebagai negara yang tampil prima dalam membela, melindungi, dan mengadvokasi mereka. 

Mereka (TKI) yang sudah memberikan banyak kepada negeri ini, yakni lebih dari Rp 10 triliun rupiah per tahun, ternyata dibiarkan menjadi anak negeri yang nyaris mutlak dibiarkan sebagai objek perdagangan manusia (human trafficking) atau kekerasan individual (majikan) maupun kekerasan korporasi (perusahaan) secara terus- menerus dan berlapis.

Masih banyak horor yang tidak terkuak. Di permukaan, LSM Migrant Care memaparkan, akumulasi angka kematian buruh migran Indonesia di luar negeri 1.018 jiwa. Angka itu terbilang yang tertinggi selama satu dekade terakhir. Selain melepas nyawa, banyak TKI yang menjadi korban kekerasan dan penyiksaan. Kekerasan terhadap TKI tercatat 2.878 orang setahun. ''Angka kriminalisasi'' tersebut menunjukkan terjadi penurunan martabat bangsa Indonesia di hadapan bangsa lain yang mengeksploitasi pekerja dari tanah air. (Khalid Mawardi, 2012) 

Data tersebut terbaca bahwa TKI yang bekerja di negara-negara lain menempati ranah layaknya menjalani hidup tanpa negara (life without state). Tidak sedikit di antara TKI itu yang malas melaporkan atau mengadukan kasus kekerasan yang dialaminya kepada kedutaan atau atase. Pasalnya, mereka menganggap opsi demikian, selain kurang ditindak-lanjuti secara maksimal, belum tentu menjadi jalan keluar yang menguntungkannya. Kurang maksimalnya pengayoman atau pembelaan, dan gerakan pencitraan kepada TKI dari negara membuat mereka memilih jalur setengah hati untuk memublikasikan atau menyampaikan testimoni atas penderitaan yang menimpanya.

Mereka itu terpaksa menikmati ''penderitaan dalam diam'' atau menerima dehumanisasi yang menimpanya demi keberlanjutan hidup di negara lain. Mereka lebih memilih mengamankan pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dengan risiko menerima dehumanisasi yang menimpanya. Sikap itu tidak lepas dari perlakuan negara yang menempatkan mereka sebagai warga kelas II (underprivilege) dan bukan elemen negara yang mempunyai hak egalitarian dan hidup berkeadaban. Negara baru menyiapkan antivirus ketika virusnya menampakkan (dipublikasikan) keganasannya dalam mencabik-cabik martabat TKI. 

Negara sudah diingatkan oleh CD (Cairo Decla­ration) yang dikenal sebagai Deklarasi OKI yang disahkan pada 5 Agustus 1990 pada pasal 13 CD yang menyebutkan, bahwa ''bekerja adalah hal yang dijamin oleh pemerintah dan masyarakat untuk setiap orang yang siap untuk bekerja. Setiap orang harus bebas untuk memilih pekerjaan yang paling sesuai dan berguna bagi dirinya dan masyarakat''. Pasal 6 CD disebutkan, ''wanita memiliki hak yang sama dengan pria dalam mempertahankan derajat kemanusiaannya dan memiliki hak-hak untuk menik­mati hak persamaan tersebut, selain melaksanakan kewajiban-kewajibannya, memiliki hak sipil dan kebebasan yang berhubungan dengan keuangan dan hak untuk menjaga nama baik pribadi dan keturunannya''.

Jika berpijak kepada deklarasi tersebut, pengayoman maksimal bisa dilakukan sejak tahap persiapan pendaftaran atau seleksi menjadi TKI. Dalam tahap awal, pemerintah berkewajiban memberikan pembekalan mentalitas dan intelektalitas TKI tentang arti dan macam hak asasinya, eksistensi nasionalisme, cara melawan berbagai bentuk kekerasan, atau kemungkinan pelanggaran hak yang dilakukan seseorang, atau majikan (perusahaan), dan strategi membangun serikat kerja secara militan dan demokratis, serta beberapa materi lain yang berelasi dengan problem ketenagakerjaan.

Ketika TKI sudah berada di luar negeri, pemerintah sebaiknya tidak sebatas menunggu laporan atau mendengarkan testimoni dari TKI yang bermasalah atau mencoba mencari kambing hitam kepada PJTKI yang diduga pelat hitam, tetapi benar-benar mengawasi ke mana saja zona-zona yang ditempati TKI. 

Stigmatisasi TKI di negara asing sebagai warga tanpa negara akan tetap berlanjut manakala yang disembuhkan oleh pemerintah hanya virus yang ''sedikit'' muncul ke permukaan. Kepahlawanan TKI terbatas sebagai gambaran komunitas serba tidak berdaya di tangan elemen negara, yang mengidap virus miskin kinerja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar