Kamis, 20 Juni 2013

Populisme Gadungan di Balik Penaikan Harga BBM

Populisme Gadungan di Balik Penaikan Harga BBM
Saharuddin Daming ;   Mantan Komisioner Komnas HAM
MEDIA INDONESIA, 19 Juni 2013


SETELAH publik terlibat pro-kontra tentang diskursus penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selama hampir sebulan, kini teka-teki tersebut mulai terjawab ketika mayoritas fraksi dalam rapat Badan Anggaran DPR pada 15 Juni 2013 yang disahkan sidang paripurna pada 17 Juni 2013 menyepakati penaikan harga BBM bersubsidi. Tak ayal lagi, kebijakan tersebut kontan menimbulkan reaksi secara beragam dari dalam atau di luar parlemen. Tiap-tiap partai politik baik pro maupun kontra pada penaikan harga BBM menggunakan momentum tersebut untuk menebar pesona dengan menjual isu populisme sebagai manuver pencitraan jelang pesta demokrasi 2014.

Pada level anatomi psikologi publik, penaikan harga BBM selalu lekat dengan sikap resistensi. Argumentasi yang melatarbelakangi resistensi publik terhadap diskursus penaikan harga BBM mengacu sekurang-kurangnya pada enam logika sederhana.

Pertama, iming-iming pembangunan infrastruktur dan peningkatan fasilitas kesejahteraan yang diambil dari dana subsidi BBM kurang lebih Rp250 triliun, tak lebih hanyalah retorika kamufl ase penguasa. Pengalaman menunjukkan bahwa sudah sekian kali harga BBM dinaik kan dengan dalih serupa, selama itu pula penguasa tidak pernah mampu mewujudkan komitmennya. Pembangunan infrastruktur ataupun fasilitas kesejahteraan yang diwujudkan tidak ada yang signifikan sebagaimana yang digembargemborkan sebelumnya.

Fakta membuktikan 70% dari total APBN kita setiap tahunnya sudah diplot untuk membiayai birokrasi. Apalagi dengan program remunerasi untuk pejabat dan PNS se-Indonesia, hasil penaikan harga BBM hampir dipastikan justru lebih banyak dinikmati elite birokrat dan elite politik. Namun, borok itu mereka bungkus dengan jubah populisme gadungan yang menuding terjadinya inefisiensi dan ketidakadilan atas subsidi BBM.

Penguasa membangun argumentasi bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati pemilik kendaraan bermotor yang dicap sebagai orang kaya. Penguasa berdalih bahwa anggaran yang seharusnya digunakan untuk membiayai program pembangunan dan kesejahteraan rakyat terutama keluarga miskin justru hanya dinikmati kalangan borjuis.

Penulis nilai argumen tersebut terlalu dicari-cari karena subsidi negara yang dikumpulkan dari uang rakyat ternyata tidak boleh dinikmati kendaraan bermotor. Padahal, tidak semua pemilik kendaraan bermotor roda dua bahkan roda empat sekalipun adalah orang kaya. Boleh jadi kendaraan tersebut terpaksa mereka adakan melalui kredit dari penghasilan pas-pasan semata-mata untuk menanggulangi sarana transportasi umum yang tidak menjamin keamanan, kenyamanan, dan keterjangkauan.

Jika pemerintah memang konsisten mengharamkan subsidi BBM pada orang kaya, penaikan harga BBM seharusnya hanya tertuju pada kendaraan mewah baik pribadi maupun dinas. Alternatif lain naikkan pajak penghasilan atau pajak kekayaan kalangan borjuis.

Kedua, menguatnya tekad kubu Pemerintah untuk menaikkan harga BBM di balik krisis APBN saat ini dilatarbelakangi berbagai manuver kepentingan politik dan bisnis. Tercium aroma yang sangat menusuk hidung dari perse lingkuhan politisi dan pelaku bisnis untuk mengeruk keuntungan di balik agenda penaik an harga BBM. Ada banyak indikasi yang memotret manuver tersebut sebagai upaya untuk menambah deposito bagi kekuatan politik terutama the ruling party dan koalisinya jelang Pemilu 2014.

Ketiga, Bumi Pertiwi menyimpan deposit migas yang sangat besar, sayangnya potensi tersebut melemah pada aspek industri hulu, yaitu eksplorasi dan eksploitasi. Tingkat produksi BBM kita terus merosot dari tahun ke tahun. Itu disebabkan pola kebijakan negara dalam bidang perminyakan kita de wasa ini yang lebih merangsang pada aspek bisnis. Institusi negara yang diberi tanggung jawab untuk menjamin ketersediaan energi BBM di Tanah Air lebih senang bermain pada sektor hilir berupa perdagangan ekspor impor migas karena dinilai lebih memberi keuntungan bagi perusahaan, tetapi tidak untuk rakyat dalam arti yang seluas-luasnya.

Inilah yang menjadi ironi karena dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jelas-jelas mengamanatkan bahwa: ‘Bumi dan air serta segala kekayaan yang terkan dung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.’ Namun, berkaca dari praktik perdagangan migas dewasa ini, sungguh terjadi ketimpangan kalau bukan pengkhianatan. Gas yang sangat melimpah cadangannya di Bumi Pertiwi ternyata masyarakat harus membelinya dengan harga yang sangat mahal dengan tingkat kenaikan melebihi batas rasio cost produksi secara layak.

Keempat, setiap kali penaikan harga BBM, penguasa selalu menunjuk pada subsidi sebagai setan defisit APBN yang herannya karena dalam sejarah penaikan harga BBM, dari masa pemerintahan Presiden Soekarno, BBM naik 12 kali, Soeharto 18 kali, Habibie 1 kali, Gus Dur 1 kali, Megawati 2 kali ditambah 7 kali penyesuaian harga BBM, sedangkan pada masa SBY, BBM naik sebanyak 4 kali. Sampai hari ini, setan defi sit itu ternyata tidak pernah hilang meski total kenaikan sebanyak 38 kali. Jika harga BBM jadi dinaikkan dari Rp4.500 ke Rp6.500, yakinlah bahwa suatu ketika penguasa tetap akan menunjuk setan subsidi sebagai beban APBN meski harga BBM sendiri telah dinaikkan lagi menjadi Rp20.000 bahkan Rp100.000/liter.

Kelima, setiap kali harga BBM dinaikkan, sekecil apa pun pasti akan berimbas pada dampak sekunder. Inflasi diperkirakan akan menembus 7,2%, hal itu tentu akan memukul dan makin menyengsarakan masyarakat miskin. Keadaan yang tidak kondusif tersebut dapat memicu meningkatnya pengangguran, kemiskinan, dan kriminalitas. Negara sebagai pemangku kewajiban pemenuhan HAM warga akan berpotensi melanggar HAM dalam bentuk by commission.

Selain itu, juga akan muncul ancaman instabilitas lantaran aksi-aksi demonstrasi dari kelompok warga, yang bukan tidak mungkin terjadi tindak kekerasan dan pelanggaran HAM antara pihak keamanan dan kelompok demonstran.

Keenam, agar disebut populis, pemerintah mulai mendistribusikan kartu perlindungan sosial (KPS) sebagai ‘pil penenang’. Namun, sudah bukan rahasia lagi bahwa kompensasi penaikan harga BBM dalam bentuk program keluarga harapan, beras miskin, beasiswa, jaminan kesehatan masyarakat, BLSM dan lain-lain banyak salah sasaran. Betapa tidak karena banyak warga miskin yang seharusnya memperoleh kompensasi terpaksa harus gigit jari karena tidak terdaftar dalam database. Oknum kepala desa atau pihak yang diberi otoritas untuk mendata justru sering memasukkan warga dari unsur keluarga atau pendukung sebagai penerima kompensasi meski sebenarnya tidak layak. Belum lagi praktik korupsi atau sunatan massal oleh oknum pejabat/petugas terhadap materi kompensasi BBM kepada warga miskin.

Pemberian kompensasi kepada masyarakat miskin dalam bentuk BLSM sebagaimana yang berlangsung di masa lalu, sangat tidak mendidik bagi tumbuhnya semangat produktivitas masyarakat, serta kerap menimbulkan jatuhnya korban bagi penerima yang berdesak-desakan. Pola seperti ini terkesan mempertontonkan keterbelakangan dan kemiskinan bangsa.

Tak cuma itu, kebijakan tersebut juga tidak adil dan tidak memberikan nilai tambah untuk memberdayakan masyarakat miskin. Sebab, kebutuhan rumah tangga miskin dan rakyat pada umumnya tidak hanya untuk membeli BBM, tetapi juga sembilan bahan pokok lainnya dengan tingkat harga yang terjadi pascapengurangan subsidi BBM jauh lebih tinggi daripada nilai kompensasi. Inilah bukti retorika penaikan harga BBM yang berjubah populisme gadungan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar