Kamis, 20 Juni 2013

Menelusuri Bara Api dalam Insiden Jeddah

Menelusuri Bara Api dalam Insiden Jeddah
Azhar Irfansyah ;   Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Aktif dalam berbagai forum buruh migran
IndoPROGRESS, 18 Juni 2013

INSIDEN di Jeddah pada 9 Juni lalu, yang berujung pada pembakaran pagar  Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) dan tewasnya seorang buruh migran Indonesia (BMI), seharusnya menjadi tamparan bagi pemerintah Indonesia. Nari kali inilah ada sekelompok warga negara yang membakar konsulat negaranya sendiri di negara lain. Artinya, insiden ini bukan hanya karena panas terik matahari Jeddah yang mencapai 40 derajat celsius sehingga memperpendek sumbu kesabaran orang. Ada permasalahan yang akut dan mengakar di balik mengamuknya para BMI di Jeddah.
Sebagai kaum proletar yang tersingkir dari negaranya sendiri, buruh migran harus mengemban dua status marjinal: sebagai proletar dalam masyarakat kapitalis dan sebagai warga negara asing di negara orang. Ketika bicara soal buruh migran perempuan, status marjinal ini bertambah lagi satu: sebagai perempuan dalam masyarakat patriarkis. Berlapis-lapisnya status marjinal ini membuat posisi BMI sangat rentan. Sebagai kaum proletar, mereka seringkali menjadi korban dari kontrak kerja yang ekspolitatif. Sebagai warga negara asing, mereka tak punya hak politik yang utuh untuk memperjuangkan nasibnya. Kawan-kawan proletar dalam negeri juga meninggalkan mereka sendirian, lantaran perjuangan serikat buruh semakin terjerumus pada tuntutan-tuntutan tradisionalnya (kenaikan upah, perbaikan sistem kerja, dll), serta semakin terbatas pada perjuangan-perjuangan dalam negeri saja.
Kondisi BMI semakin rentan ketika negara—yang seringkali menjadi satu-satunya harapan—justru turut andil dalam mengeksploitasi BMI. Dalam insiden Jeddah yang terjadi 9 Juni lalu, status marjinal yang menambah rentan kondisi 8000 BMI yang mengamuk di depan KJRI adalah status ‘pekerja ilegal’ yang disematkan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Maka BMI pun menjelma menjadi entitas yang paling rentan dieksploitasi—tanpa solidaritas pekerja dari negeri asal maupun tujuannya, tanpa hak politik yang utuh, dan tanpa negara sebagai penjamin haknya. Namun kerentanan ini sebenarnya bukan kondisi yang terberi secara alami, melainkan produk dari pembingkaian pemerintah terhadap posisi buruh migrannya.
Tulisan ‘TKI, Antara Aset dan Pencitraan Negara’ dalam Tabloid Diplomasi No. 47 Tahun IV 15 September-14 Oktober 2011, yang diterbitkan Kementrian Luar Negeri Indonesia, menggambarkan dengan gamblang bagaimana pemerintah membingkai posisi BMI. Di satu sisi,  pemerintah menganggap BMI sebagai aset yang potensial, tapi di sisi lain pemerintah juga menganggap BMI sebagai persoalan sosial yang dapat memperburuk citra negara. Sebagai aset, BMI mampu menyerap angkatan kerja dan menghasilkan remitansi, yang pada 2009 jumlahnya mencapai 6,615 miliar USD, sementara pada 2010 mencapai 7,2 miliar USD. Sedangkan sebagai persoalan sosial, BMI dianggap berpotensi merusak citra bangsa Indonesia di mata dunia. BMI dipandang rentan terhadap pemasalahan yang pada umumnya terkait dengan: narkotika, people smugglingtrafficking, tindak pidana penyiksaan, pelecehan, perkosaan, pembunuhan, dan overstayer, dimana dalam hal ini BMI bisa sebagai korban ataupun pelaku.
Pemerintah hanya membingkai posisi BMI dengan tolok ukur dampak positif dan negatifnya bagi rezim saja. Posisi BMI belum dibingkai sebagai entitas ekonomi-politik yang utuh, apalagi sebagai manusia dengan martabat yang harus dihormati dan hak-hak yang harus dijamin.  Bahasa-bahasa teknis yang digunakan pemerintah juga mencerminkan dehumanisasi buruh migran. Istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) misalnya, sarat dengan alienasi khas kapitalisme yang memisahkan tenaga kerja dari empunya. Dengan menggunakan istilah ‘TKI,’ seolah-olah setiap buruh migran hanya dihitung tenaga kerjanya saja untuk dijual tanpa turut menyertakan manusianya sebagai pemilik dari tenaga kerja. Istilah ‘penempatan’ juga mengandaikan buruh migran sebagai aset tak berkehendak yang bisa seenaknya digudangkan di mess pelatihan atau dipaketkan ke negara lain.
Bingkai posisi yang sarat dengan dehumanisasi inilah yang kemudian terbawa pada orientasi pelayanan pemerintah—jika apa yang dilakukan pemerintah masih layak disebut “pelayanan”—terhadap BMI.  Orientasi pelayanan pemerintah akhirnya hanya sarat dengan kepentingan bisnis dan nyaris tanpa perspektif perlindungan sama sekali. Dalam Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia No 39 tahun 2004, hanya 15 persen pasal yang berpotensi melindungi BMI, sekalipun sulit dilaksanakan. Sisanya tak berhubungan dengan perlindungan BMI (43 persen), tak jelas atau kabur untuk kepentingan perlindungaan BMI (22 persen), tak lengkap (14 persen), dan tak melindungi BMI (6 persen) (Eko Prasetyohadi, 2010).
Pemerintah Indonesia bergerak dengan gesitnya ketika menghitung remitansi yang dikirim BMI, namun lamban dan malas-malasan dalam menyediakan perlindungan. Jumlah kantor atase tenaga kerja Indonesia masih terbatas, yaitu 10 kantor atase tenaga kerja yang tersebar di sembilan negara tujuan BMI. Padahal jumlah negara tujuan BMI seluruhnya ada 24 negara. Dengan jumlahnya yang minim itu, BMI jadi kesulitan untuk mengaksesnya. Apalagi atase-atase tersebut tutup pada hari Minggu, padahal kebanyakan BMI hanya dapat meninggalkan tempat bekerja pada hari tersebut (ILO, 2006). KJRI sebagai perwakilan pemerintah, juga sudah terbiasa untuk menutup diri dari BMI. Ketika BMI Hongkong berdemonstrasi di depan KJRI, misalnya, pihak KJRI tak menemui para demonstran dan segera menutup gerbangnya (Rohmah Abidarin, 2013).
Pemerintah Indonesia juga kerap terlalu keras pada BMI ilegal. Pekerja tanpa dokumentasi sah tak diatur penanganannya dalam undang-undang dan dipersulit untuk melegalkan statusnya. Padahal Filipina, yang juga banyak memberangkatkan buruh migran, telah menunjukkan bahwa buruh migran tanpa dokumentasi bisa dimasukkan dalam pengaturan dan diperlakukan secara lebih humanis. Buruh migran Filipina yang berstatus illegal, diperbolehkan untuk berperan serta dalam skema asuransi tanpa takut terkena hukuman. Buruh migran Filipina ilegal juga memiliki akses ke pengadilan ketenagakerjaan negara, yaitu Komisi Hubungan Ketenagakerjaan Nasional atauNational Labor Relations Commission (ILO, 2006).
Ditambah lagi birokrat-birokrat yang bertugas kerap kali bersikap arogan dan kurang empatik terhadap BMI. Teguh Cahyono, Atase Tenaga Kerja Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, yang kemudian menjadi Staf Mediasi dan Advokasi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, misalnya, secara eksplisit mengumpamakan tugasnya bagaikan ‘terus-menerus membersihkan comberan yang mampat oleh begitu banyak sampah yang berasal dari dalam negeri’ (Eko Prasetyohadi, 2010). Perumpamaan yang tak manusiawi ini kemudian diulangi lagi oleh Wahab Bangkona, Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Wahab menyebut pengiriman BMI yang tak berkualitas ‘sama saja mengirim sampah ke luar negeri’ (Berita Satu, 2013).
Tak jelasnya perlindungan, upaya pemerintah yang minim dalam menyediakan akses pelayanan bagi BMI, tak adanya pengaturan bagi BMI tak berdokumen, dan birokrat-birokrat yang kurang empatik ini akhirnya berakumulasi dan memuncak pada insiden Jeddah. Pemerintah yang tak terbiasa menyediakan pelayanan secara sistematis bagi BMI, akhirnya kelimpungan ketika ribuan BMI tak berdokumen hendak mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) untuk memperjelas statusnya. Pemerintah yang mengandalkan skema pemadam kebakaran—menunggu kasus dulu baru bergerak—merasa telah melakukan yang terbaik dengan menambah staf, relawan, dan loket untuk melayani pengurusan SPLP. Padahal kenyataannya, tindakan ‘terbaik’ pemerintah ini masih jauh dari akomodatif bagi BMI. Pemerintah hanya membuka loket pengurusan SPLP di Riyadh dan Jeddah, sehingga loket di dua kota ini dipadati BMI dari Makkah, Madinah, Taif, Khamis, Musaid, Najran, Baha, Tabuk dan Jizan. Saat terdapat ribuan BMI mengantre di kantor KJRI untuk mengurus dokumen pemutihan izin tinggal, KJRI malah tutup dan tidak melayani pengurusan dokumen, dengan alasan sedang memproses dokumen yang sudah masuk. Hal ini membuat para BMI khawatir tidak dapat memanfaatkan masa amnesti yang diberikan pemerintah Saudi yang tinggal 23 hari lagi (VOA Indonesia, 2013).
Namun ketimbang belajar dari insiden ini, pihak pemerintah justru memamerkan kebebalannya dengan menyalahkan pihak-pihak lain: provokasi oknum tak jelas hingga pemerintah Saudi yang dianggap terlambat memberi informasi permberlakuan amnesti bagi BMI. Barangkali, pemerintah belum juga sadar bahwa kebebalannya itulah yang telah menjadi sekam dan memantik bara api dalam insiden Jeddah. ●

Kepustakaan:
TKI, Antara Aset dan Pencitraan Negara. Dalam Tabloid Diplomasi No. 47 Tahun IV 15 September-14 Oktober 2011, Kementrian Luar Negeri Indonesia.
International Labour Organization. Penerapan Perundangan Indonesia untuk Melindungi dan Memberdayakan Pekerja Migran: Beberapa Pelajaran dari Filipina. 2006. Jakarta
Eko Prasetyohadi (Ed). Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI, Antara Indonesia-Singapura-Malaysia. 2010. Jakarta: TIFA Foundation.
Wawancara dengan Rohmah Abidarin, mantan buruh migran asal Ponorogo yang pernah bekerja di Hongkong. Wawancara dilakukan pada 21 Mei 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar