|
IndoPROGRESS,
18 Juni 2013
INSIDEN
di Jeddah pada 9 Juni lalu, yang berujung pada pembakaran pagar Konsulat
Jenderal Republik Indonesia (KJRI) dan tewasnya seorang buruh migran Indonesia
(BMI), seharusnya menjadi tamparan bagi pemerintah Indonesia. Nari kali inilah
ada sekelompok warga negara yang membakar konsulat negaranya sendiri di negara
lain. Artinya, insiden ini bukan hanya karena panas terik matahari Jeddah yang
mencapai 40 derajat celsius sehingga memperpendek sumbu kesabaran orang. Ada
permasalahan yang akut dan mengakar di balik mengamuknya para BMI di Jeddah.
Sebagai
kaum proletar yang tersingkir dari negaranya sendiri, buruh migran harus
mengemban dua status marjinal: sebagai proletar dalam masyarakat kapitalis dan
sebagai warga negara asing di negara orang. Ketika bicara soal buruh migran
perempuan, status marjinal ini bertambah lagi satu: sebagai perempuan dalam
masyarakat patriarkis. Berlapis-lapisnya status marjinal ini membuat posisi BMI
sangat rentan. Sebagai kaum proletar, mereka seringkali menjadi korban dari
kontrak kerja yang ekspolitatif. Sebagai warga negara asing, mereka tak punya
hak politik yang utuh untuk memperjuangkan nasibnya. Kawan-kawan proletar dalam
negeri juga meninggalkan mereka sendirian, lantaran perjuangan serikat buruh
semakin terjerumus pada tuntutan-tuntutan tradisionalnya (kenaikan upah,
perbaikan sistem kerja, dll), serta semakin terbatas pada perjuangan-perjuangan
dalam negeri saja.
Kondisi
BMI semakin rentan ketika negara—yang seringkali menjadi satu-satunya
harapan—justru turut andil dalam mengeksploitasi BMI. Dalam insiden Jeddah yang
terjadi 9 Juni lalu, status marjinal yang menambah rentan kondisi 8000 BMI yang
mengamuk di depan KJRI adalah status ‘pekerja ilegal’ yang disematkan oleh
pemerintah Indonesia sendiri. Maka BMI pun menjelma menjadi entitas yang paling
rentan dieksploitasi—tanpa solidaritas pekerja dari negeri asal maupun
tujuannya, tanpa hak politik yang utuh, dan tanpa negara sebagai penjamin
haknya. Namun kerentanan ini sebenarnya bukan kondisi yang terberi secara
alami, melainkan produk dari pembingkaian pemerintah terhadap posisi buruh
migrannya.
Tulisan ‘TKI, Antara Aset dan Pencitraan Negara’ dalam Tabloid
Diplomasi No. 47 Tahun IV 15 September-14 Oktober 2011, yang diterbitkan
Kementrian Luar Negeri Indonesia, menggambarkan dengan gamblang bagaimana
pemerintah membingkai posisi BMI. Di satu sisi, pemerintah menganggap BMI
sebagai aset yang potensial, tapi di sisi lain pemerintah juga menganggap BMI
sebagai persoalan sosial yang dapat memperburuk citra negara. Sebagai aset, BMI
mampu menyerap angkatan kerja dan menghasilkan remitansi, yang pada 2009
jumlahnya mencapai 6,615 miliar USD, sementara pada 2010 mencapai 7,2 miliar
USD. Sedangkan sebagai persoalan sosial, BMI dianggap berpotensi merusak citra
bangsa Indonesia di mata dunia. BMI dipandang rentan terhadap pemasalahan yang
pada umumnya terkait dengan: narkotika, people smuggling, trafficking, tindak pidana penyiksaan, pelecehan,
perkosaan, pembunuhan, dan overstayer, dimana
dalam hal ini BMI bisa sebagai korban ataupun pelaku.
Pemerintah
hanya membingkai posisi BMI dengan tolok ukur dampak positif dan negatifnya
bagi rezim saja. Posisi BMI belum dibingkai sebagai entitas ekonomi-politik
yang utuh, apalagi sebagai manusia dengan martabat yang harus dihormati dan
hak-hak yang harus dijamin. Bahasa-bahasa teknis yang digunakan
pemerintah juga mencerminkan dehumanisasi buruh migran. Istilah Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) misalnya, sarat dengan alienasi khas kapitalisme yang
memisahkan tenaga kerja dari empunya. Dengan menggunakan istilah ‘TKI,’
seolah-olah setiap buruh migran hanya dihitung tenaga kerjanya saja untuk
dijual tanpa turut menyertakan manusianya sebagai pemilik dari tenaga kerja.
Istilah ‘penempatan’ juga mengandaikan buruh migran sebagai aset tak
berkehendak yang bisa seenaknya digudangkan di mess pelatihan atau dipaketkan
ke negara lain.
Bingkai
posisi yang sarat dengan dehumanisasi inilah yang kemudian terbawa pada
orientasi pelayanan pemerintah—jika apa yang dilakukan pemerintah masih layak
disebut “pelayanan”—terhadap BMI. Orientasi pelayanan pemerintah akhirnya
hanya sarat dengan kepentingan bisnis dan nyaris tanpa perspektif perlindungan
sama sekali. Dalam Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia No 39 tahun 2004, hanya 15 persen pasal yang berpotensi melindungi
BMI, sekalipun sulit dilaksanakan. Sisanya tak berhubungan dengan perlindungan
BMI (43 persen), tak jelas atau kabur untuk kepentingan perlindungaan BMI (22
persen), tak lengkap (14 persen), dan tak melindungi BMI (6 persen) (Eko Prasetyohadi, 2010).
Pemerintah
Indonesia bergerak dengan gesitnya ketika menghitung remitansi yang dikirim
BMI, namun lamban dan malas-malasan dalam menyediakan perlindungan. Jumlah
kantor atase tenaga kerja Indonesia masih terbatas, yaitu 10 kantor atase tenaga
kerja yang tersebar di sembilan negara tujuan BMI. Padahal jumlah negara tujuan
BMI seluruhnya ada 24 negara. Dengan jumlahnya yang minim itu, BMI jadi
kesulitan untuk mengaksesnya. Apalagi atase-atase tersebut tutup pada hari
Minggu, padahal kebanyakan BMI hanya dapat meninggalkan tempat bekerja pada
hari tersebut (ILO, 2006). KJRI sebagai perwakilan pemerintah, juga sudah
terbiasa untuk menutup diri dari BMI. Ketika BMI Hongkong berdemonstrasi di
depan KJRI, misalnya, pihak KJRI tak menemui para demonstran dan segera menutup
gerbangnya (Rohmah Abidarin, 2013).
Pemerintah Indonesia juga
kerap terlalu keras pada BMI ilegal. Pekerja tanpa dokumentasi sah tak diatur
penanganannya dalam undang-undang dan dipersulit untuk melegalkan statusnya.
Padahal Filipina, yang juga banyak memberangkatkan buruh migran, telah
menunjukkan bahwa buruh migran tanpa dokumentasi bisa dimasukkan dalam
pengaturan dan diperlakukan secara lebih humanis. Buruh migran Filipina yang
berstatus illegal, diperbolehkan untuk berperan serta dalam skema asuransi
tanpa takut terkena hukuman. Buruh migran Filipina ilegal juga memiliki akses
ke pengadilan ketenagakerjaan negara, yaitu Komisi Hubungan Ketenagakerjaan
Nasional atauNational Labor Relations Commission (ILO, 2006).
Ditambah
lagi birokrat-birokrat yang bertugas kerap kali bersikap arogan dan kurang
empatik terhadap BMI. Teguh Cahyono, Atase Tenaga Kerja Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Kuala Lumpur, yang kemudian menjadi Staf Mediasi dan Advokasi
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, misalnya, secara eksplisit
mengumpamakan tugasnya bagaikan ‘terus-menerus membersihkan comberan yang
mampat oleh begitu banyak sampah yang berasal dari dalam negeri’ (Eko Prasetyohadi, 2010). Perumpamaan
yang tak manusiawi ini kemudian diulangi lagi oleh Wahab Bangkona, Dirjen
Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Wahab menyebut pengiriman BMI yang tak berkualitas ‘sama saja mengirim sampah
ke luar negeri’ (Berita Satu, 2013).
Tak
jelasnya perlindungan, upaya pemerintah yang minim dalam menyediakan akses
pelayanan bagi BMI, tak adanya pengaturan bagi BMI tak berdokumen, dan
birokrat-birokrat yang kurang empatik ini akhirnya berakumulasi dan memuncak
pada insiden Jeddah. Pemerintah yang tak terbiasa menyediakan pelayanan secara
sistematis bagi BMI, akhirnya kelimpungan ketika ribuan BMI tak berdokumen
hendak mengurus Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) untuk memperjelas
statusnya. Pemerintah yang mengandalkan skema pemadam kebakaran—menunggu kasus
dulu baru bergerak—merasa telah melakukan yang terbaik dengan menambah staf,
relawan, dan loket untuk melayani pengurusan SPLP. Padahal kenyataannya,
tindakan ‘terbaik’ pemerintah ini masih jauh dari akomodatif bagi BMI.
Pemerintah hanya membuka loket pengurusan SPLP di Riyadh dan Jeddah, sehingga
loket di dua kota ini dipadati BMI dari Makkah, Madinah, Taif, Khamis, Musaid,
Najran, Baha, Tabuk dan Jizan. Saat terdapat ribuan BMI mengantre di kantor
KJRI untuk mengurus dokumen pemutihan izin tinggal, KJRI malah tutup dan tidak
melayani pengurusan dokumen, dengan alasan sedang memproses dokumen yang sudah
masuk. Hal ini membuat para BMI khawatir tidak dapat memanfaatkan masa amnesti
yang diberikan pemerintah Saudi yang tinggal 23 hari lagi (VOA Indonesia, 2013).
Namun
ketimbang belajar dari insiden ini, pihak pemerintah justru memamerkan
kebebalannya dengan menyalahkan pihak-pihak lain: provokasi oknum tak jelas
hingga pemerintah Saudi yang dianggap terlambat memberi informasi permberlakuan
amnesti bagi BMI. Barangkali, pemerintah belum juga sadar bahwa kebebalannya
itulah yang telah menjadi sekam dan memantik bara api dalam insiden Jeddah. ●
Kepustakaan:
TKI, Antara Aset dan Pencitraan Negara. Dalam Tabloid Diplomasi No. 47 Tahun
IV 15 September-14 Oktober 2011, Kementrian Luar Negeri Indonesia.
International Labour Organization. Penerapan Perundangan Indonesia untuk Melindungi dan Memberdayakan
Pekerja Migran: Beberapa Pelajaran dari Filipina. 2006. Jakarta
Eko Prasetyohadi (Ed). Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI, Antara
Indonesia-Singapura-Malaysia. 2010. Jakarta: TIFA Foundation.
Migrat Care Salahkan KJRI Jeddah atas Insiden
TKI, http://www.voaindonesia.com/content/migrant-care-salahkan-kjri-jeddah-atas-insiden-tki/1679237.html
Soal TKI, Kemenakertrans: Jangan Kirim
“Sampah” ke Luar Negeri,http://www.beritasatu.com/ekonomi/117754-soal-tki-kemnakertrans-jangan-kirim-sampah-ke-luar-negeri.html
Wawancara dengan Rohmah
Abidarin, mantan buruh migran asal Ponorogo yang pernah bekerja di Hongkong.
Wawancara dilakukan pada 21 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar