Sabtu, 22 Juni 2013

Peduli Lingkungan Terjebak Angka

Peduli Lingkungan Terjebak Angka
Ery Rura Batubara ;   Pengamat Lingkungan, Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup
SINAR HARAPAN, 21 Juni 2013


Sudah menjadi perhelatan biasa, dalam rangka memperingati hari lingkungan setiap tahun, berbagai kegiatan dilakukan baik di tingkat nasional maupun daerah. Mulai dari Pekan Lingkungan Indonesia yang biasanya digelar di JCC (Jakarta Convention Center) yang dilanjutkan dengan perayaan hari lingkungan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Semuanya itu dilakukan dalam rangka ikut menyemarakkan hari lingkungan.

Namun, satu hal yang menggelitik dan menarik untuk dicermati, setiap kali memperingati hari besar lingkungan itu, biasanya selalu diikuti dengan gerakan menanam pohon, bersepeda gembira, dan berbagai kegiatan lainnya.

Menariknya, aktivitas di atas yang ditonjolkan adalah nominal atau angka. Misalnya saja, gerakan menanam sejuta atau bahkan semiliar pohon atau bersepeda gembira atau bakti lingkungan yang melibatkan ribuan atau puluhan ribu orang.

Dari semua kegiatan itu, gerakan menanam pohon yang paling sering kita dengar, tidak hanya pada momen hari lingkungan, tapi setiap kegiatan berhubungan dengan lingkungan. Ajakan gerakan ayo menanam satu juta atau satu miliar pohon dengan mudah kita jumpai pada spanduk atau iklan di media massa.

Menariknya di sini, seakan-akan orang berlomba dengan angka. Bahkan akhir-akhir ini, jarang kita dengar gerakan menanam seribu pohon, apalagi seratus pohon saja. Umumnya, kalau bukan satu juta pohon, satu miliar pohon.

Pertanyaannya, benarkah yang ditanam itu sejumlah angka tadi. Bila ya, lantas ditanam di mana? Tak hanya itu, dan ini yang terpenting, bagaimana keberlanjutannya, perawatannya, apakah benar anakan pohon tadi dirawat dan tumbuh sehingga punya nilai bagi lingkungan.

Ataukah, jangan-jangan hanya ini permainan angka, supaya lebih terkesan wah, lebih fantastis, sebagaimana judul tulisan ini. Yang penting jumlahnya banyak, soal bagaimana keberlanjutan itu urusan lain.
Tampaknya, yang ingin dicapai adalah kuantitatif–jumlahnya-bukan kualitatif (kualitasnya). Kepedulian lingkungan terjebak pada berapa banyak yang kita tanam.

Jadi, semakin besar jumlah pohon yang ditanam menunjukkan semakin peduli orang itu pada lingkungan, padahal belum tentu itu benar. Demikian sebaliknya, semakin sedikit jumlah yang ditanam, semakin menunjukkan orang itu kurang peduli dengan lingkungan. Pencitraan lingkungan seperti ini yang perlu kita cermati dan kritik.

Kepedulian Dangkal

Kepedulian lingkungan yang kurang mendalam atau dangkal seperti ini digambarkan dengan baik oleh Arne Naes, seorang filsuf Norwegia. Dalam artikelnya berjudul "The Shallow and the Deep, Long-range Ecological Movement: A Summary", Naes membedakan antara Shallow Ecological Movement dan Deep Ecological Movement.

Deep Ecology (DE) adalah cara pandang yang melihat lingkungan dalam kaca yang lebih jauh, lebih dalam tidak hanya berpusat pada manusia, tapi dalam bingkai ekosistem sebagai satu kesatuan.
DE tidak hanya memusatkan perhatiannya pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka panjang. DE lebih berusaha melihat akar permasalahan kerusakan dan pencemaran lingkungan secara lebih komprehensif dan holistik, untuk kemudian mengatasinya secara lebih mendalam dan tepat.

Shallow Ecology (SE) adalah kebalikan dari DE, yaitu suatu cara pandang lingkungan yang sifatnya kurang mendalam, permukaan saja, dan pendekatannya lebih bersifat teknis. Perhatian utama SE adalah bagaimana mengatasi masalah pencemaran dan pengurasan sumber daya alam.

Pendekatan SE ini tentu saja sifatnya cenderung reaktif, instan, tanpa mampu melihat lebih jauh apa akar masalahnya. Tak heran, banyak persoalan lingkungan, seperti masalah banjir, sampah, kemacetan lalu lintas, pembalakan liar, dan masalah lingkungan lainnya tidak pernah tuntas ditangani. Begitu pun terkait dengan gerakan menanam pohon untuk mengatasi perubahan iklim atau menjaga peran Indonesia sebagai paru-paru dunia. Lalu, apa yang harus dilakukan.

Mengubah Paradigma

Tokoh utama gerakan DE, Arne Naes, menyatakan bahwa krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Menurut Arne Naes, yang dibutuhkan di sini sebuah pola hidup atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan.

Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentris, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar objek bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup sekarang ini.

Untuk itu, paradigma atau cara pandang lingkungan kita perlu direstorasi dari cara berpikir yang dangkal (shallow ecology) ke berpikir yang dalam (deep ecology) yang melihat akar permasalahan lingkungan dari sekadar yang tampak di permukaan saja.


Momen hari lingkungan tahun ini yang mengusung tema "Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi untuk Selamatkan Lingkungan", kita perlu mengoreksi dan merefleksi cara pandang dan cara penanganan masalah lingkungan yang tidak ekologis selama ini. Kita harus keluar dari kungkungan cara berpikir kita yang sifatnya shallow ecology menuju pola pikir deep ecology, menuju suatu habitus baru yang ekologis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar