|
MEDIA
INDONESIA, 21 Juni 2013
FORUM Pemimpin Redaksi (Pemred)
pada 13-14 Juni di Bali mengisyaratkan apa yang menjadi perhatian media massa
saat ini; setidaknya menurut pendapat ketuanya, Wahyu Muryadi, dari Tempo. Beberapa
tema yang dipilih yaitu membangun ekonomi keuangan dan industri, mengukuhkan
ketahanan energi, penataan infrastruktur transportasi nasional, dan membangun
ketahanan pangan nasional. Forum Pemred menegaskan prakarsa dunia usaha dalam
mewujudkan infrastruktur dan perlunya menciptakan konvergensi media di masa
depan.
Apa pun prakarsa itu bertujuan baik dan tentu dihargai
banyak pihak, walaupun ada saja kritik yang mengkhawatirkan forum itu
ditunggangi kepentingan politik dan dunia usaha. Wajar bahwa dalam masyarakat
demokrasi, kontroversi tidak bisa dihindari. Yang penting, bermanfaatkah forum
itu untuk media massa dalam menjalankan tugas mulia sebagai pembela rakyat dan
pilar demokrasi?
Tentu tidak semua tema dapat dibahas dalam pertemuan dua hari.
Yang terasa lowong ialah pembahasan tentang kemelut yang menyelimuti masyarakat
saat ini, yang berpangkal pada terkikisnya moral bangsa; begitu rupa sehingga
hari demi hari media massa berisi beritaberita tentang berbagai keserakahan
segolongan elite yang mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat dan mencetuskan
bermacam tindak kriminalitas ataupun kerusuhan.
Bos Grup Media, Surya Paloh, dalam eksposenya menegaskan
pentingnya rasa kebangsaan; yang menyiratkan perlunya membangun integrasi
sosial berlandaskan moral bangsa. Menjaga moral bangsa jelas menjadi kewajiban
media massa.
Demi integrasi
Selain menjadi sarana penyebaran informasi ataupun kritik
dan komentar pintar tentang situasi, media massa berperan penting demi
tergalangnya integrasi sosial yang diperlukan bagi kelangsungan hidup
demokrasi. Media massa memungkinkan kristalisasi pendapat publik dan konsensus
untuk demokrasi. Para ahli komunikasi meyakini bahwa komunikasi menjadi
landasan psikologi kehidupan modern, bahwa komunikasi modern membangun rasa
kekeluargaan serta pengertian, baik dalam suatu bangsa maupun antarbangsa di
seluruh dunia.
Sebagai sarana integrasi, media massa tentu memberikan
pengaruh positif; tetapi juga sekaligus negatif bila laporan-laporannya
mengungkap proses pembangunan yang diwarnai kecurangan dan ketidakadilan oleh
segolongan elite berkuasa, apakah dari pemerintahan ataupun dari swasta. Pengungkapan
sisi-sisi negatif itu tentu menimbulkan kekecewaan yang ujung-ujungnya
membangkitkan keresahan yang bisa berkembang menjadi kerusuhan. Yang
kecil-kecilan bisa menjadi besar-besaran dan mungkin saja berakhir pada bencana
SARA.
Itu sebabnya media massa
sebenarnya tidak hanya berkewajiban memberikan informasi, edukasi, dan hiburan,
tetapi juga mengusahakan terwujudnya moral bangsa demi kemaslahatan bersama.
Untuk itu, media massa berperan pula sebagai alat untuk mengingatkan, misalnya
antara lain tentang kesengsaraan dan penderitaan yang ada di seputar kita.
Inilah tuntutan bagi media massa bila ingin memotret keadaan masyarakat
seutuhnya; bukan hanya tentang kemajuan yang progresif, tetapi juga tentang
kekurangan-kekurangan yang harus dibenahi bersama.
Moerdiono (alm), menteri yang ada dalam lingkaran kekuasaan
RI-I di masa Orde Baru, pernah menyatakan tidak nyaman dengan kritik-kritik
pedas media massa terhadap pemerintahan waktu itu. Namun dia mengakui, tanpa
laporan-laporan media massa, kita tidak akan banyak tahu tentang situasi.
Sebaliknya, Benny Moerdani (alm), jenderal dan menteri di
lingkaran kekuasaan Orde Baru, yang juga risi dengan pemberitaan di media
massa, dalam suatu forum diskusi berkata, “The
press thinks he is Jesus Christ, but he is not.“ Kritik menyengat, tetapi
lalu membuat yang hadir berpikir: media memang bukan yang memonopoli kebenaran.
Wawas diri
Syukurlah produk-produk media massa sekarang secara berkala
menghadirkan acaraacara yang menyentuh, yang menggugah rasa kemanusiaan. Antara
lain Trans TV, misalnya, sejak lebih dari lima tahun lalu, setiap hari
menyajikan acara berjudul Jika Aku Menjadi....Kaum muda diundang menjadi tamu
yang mengikuti kegiatan dan bercerita tentang orangorang yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Acara tersebut menunjukkan sisi lain kehidupan masyarakat
Indonesia; selain 10% yang hidup mewah. Acara-acara menyentuh seperti itu
pastinya membantu menggugah kepedulian dan rasa kemanusiaan. Kamis minggu lalu,
SCTV menyiarkan konser mengenang Ustaz Jeffry Al Buchori yang meninggal pada
usia muda, 40 tahun, karena kecelakaan.
Konser memesona dengan hadirin berpakaian dan berjilbab
serbaputih menyentuh karena mengingatkan penonton pada orang muda pecandu
narkoba yang akhirnya bertobat dan menjadi pendakwah karismatik yang dicintai
umatnya. Dakwah-dakwahnya mengesankan. Dalam konser itu, salah satu sahabatnya
mengenang, Ustaz Jeffry pernah mengajaknya, “Marilah
kita memperbaiki hati.“ Maksudnya, berusaha menjauhkan orang dari perbuatan-perbuatan
yang menyimpang dari ajaran Tuhan.
Selang sehari, acara Kick Andy menampilkan pendeta JF
Manuputty dan Romo Carolus-sebutan untuk Charlie Patrick Borrows asal Irlandia
yang sekarang menjadi warga negara Indonesia. Pendeta Manuputty terpanggil
merukunkan umat Islam dan Kristen di wilayahnya, Ambon, yang waktu itu
dirundung konflik; sedangkan Romo Carolus yang tinggal di Cilacap antara lain
terpanggil untuk mengingatkan agar menjaga lingkungan hidup. Untuk misinya itu,
dia mengunjungi Nusa Kambangan.
Tentang orang media, Andy Noya ketika mengomentari suatu
peristiwa baru-baru ini mengatakan, “Tidak
ada gunanya kita bicara muluk-muluk tentang kemanusiaan kalau kita sendiri
tidak memiliki kepedulian.“ ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar