Sabtu, 22 Juni 2013

Menjaga Moral Bangsa

Menjaga Moral Bangsa
Toeti Prahas Adhitama ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 21 Juni 2013


FORUM Pemimpin Redaksi (Pemred) pada 13-14 Juni di Bali mengisyaratkan apa yang menjadi perhatian media massa saat ini; setidaknya menurut pendapat ketuanya, Wahyu Muryadi, dari Tempo. Beberapa tema yang dipilih yaitu membangun ekonomi keuangan dan industri, mengukuhkan ketahanan energi, penataan infrastruktur transportasi nasional, dan membangun ketahanan pangan nasional. Forum Pemred menegaskan prakarsa dunia usaha dalam mewujudkan infrastruktur dan perlunya menciptakan konvergensi media di masa depan.

Apa pun prakarsa itu bertujuan baik dan tentu dihargai banyak pihak, walaupun ada saja kritik yang mengkhawatirkan forum itu ditunggangi kepentingan politik dan dunia usaha. Wajar bahwa dalam masyarakat demokrasi, kontroversi tidak bisa dihindari. Yang penting, bermanfaatkah forum itu untuk media massa dalam menjalankan tugas mulia sebagai pembela rakyat dan pilar demokrasi?

Tentu tidak semua tema dapat dibahas dalam pertemuan dua hari. Yang terasa lowong ialah pembahasan tentang kemelut yang menyelimuti masyarakat saat ini, yang berpangkal pada terkikisnya moral bangsa; begitu rupa sehingga hari demi hari media massa berisi beritaberita tentang berbagai keserakahan segolongan elite yang mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat dan mencetuskan bermacam tindak kriminalitas ataupun kerusuhan.

Bos Grup Media, Surya Paloh, dalam eksposenya menegaskan pentingnya rasa kebangsaan; yang menyiratkan perlunya membangun integrasi sosial berlandaskan moral bangsa. Menjaga moral bangsa jelas menjadi kewajiban media massa.

Demi integrasi

Selain menjadi sarana penyebaran informasi ataupun kritik dan komentar pintar tentang situasi, media massa berperan penting demi tergalangnya integrasi sosial yang diperlukan bagi kelangsungan hidup demokrasi. Media massa memungkinkan kristalisasi pendapat publik dan konsensus untuk demokrasi. Para ahli komunikasi meyakini bahwa komunikasi menjadi landasan psikologi kehidupan modern, bahwa komunikasi modern membangun rasa kekeluargaan serta pengertian, baik dalam suatu bangsa maupun antarbangsa di seluruh dunia.

Sebagai sarana integrasi, media massa tentu memberikan pengaruh positif; tetapi juga sekaligus negatif bila laporan-laporannya mengungkap proses pembangunan yang diwarnai kecurangan dan ketidakadilan oleh segolongan elite berkuasa, apakah dari pemerintahan ataupun dari swasta. Pengungkapan sisi-sisi negatif itu tentu menimbulkan kekecewaan yang ujung-ujungnya membangkitkan keresahan yang bisa berkembang menjadi kerusuhan. Yang kecil-kecilan bisa menjadi besar-besaran dan mungkin saja berakhir pada bencana SARA.

Itu sebabnya media massa sebenarnya tidak hanya berkewajiban memberikan informasi, edukasi, dan hiburan, tetapi juga mengusahakan terwujudnya moral bangsa demi kemaslahatan bersama. Untuk itu, media massa berperan pula sebagai alat untuk mengingatkan, misalnya antara lain tentang kesengsaraan dan penderitaan yang ada di seputar kita. Inilah tuntutan bagi media massa bila ingin memotret keadaan masyarakat seutuhnya; bukan hanya tentang kemajuan yang progresif, tetapi juga tentang kekurangan-kekurangan yang harus dibenahi bersama.

Moerdiono (alm), menteri yang ada dalam lingkaran kekuasaan RI-I di masa Orde Baru, pernah menyatakan tidak nyaman dengan kritik-kritik pedas media massa terhadap pemerintahan waktu itu. Namun dia mengakui, tanpa laporan-laporan media massa, kita tidak akan banyak tahu tentang situasi.

Sebaliknya, Benny Moerdani (alm), jenderal dan menteri di lingkaran kekuasaan Orde Baru, yang juga risi dengan pemberitaan di media massa, dalam suatu forum diskusi berkata, “The press thinks he is Jesus Christ, but he is not.“ Kritik menyengat, tetapi lalu membuat yang hadir berpikir: media memang bukan yang memonopoli kebenaran.

Wawas diri

Syukurlah produk-produk media massa sekarang secara berkala menghadirkan acaraacara yang menyentuh, yang menggugah rasa kemanusiaan. Antara lain Trans TV, misalnya, sejak lebih dari lima tahun lalu, setiap hari menyajikan acara berjudul Jika Aku Menjadi....Kaum muda diundang menjadi tamu yang mengikuti kegiatan dan bercerita tentang orangorang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Acara tersebut menunjukkan sisi lain kehidupan masyarakat Indonesia; selain 10% yang hidup mewah. Acara-acara menyentuh seperti itu pastinya membantu menggugah kepedulian dan rasa kemanusiaan. Kamis minggu lalu, SCTV menyiarkan konser mengenang Ustaz Jeffry Al Buchori yang meninggal pada usia muda, 40 tahun, karena kecelakaan.

Konser memesona dengan hadirin berpakaian dan berjilbab serbaputih menyentuh karena mengingatkan penonton pada orang muda pecandu narkoba yang akhirnya bertobat dan menjadi pendakwah karismatik yang dicintai umatnya. Dakwah-dakwahnya mengesankan. Dalam konser itu, salah satu sahabatnya mengenang, Ustaz Jeffry pernah mengajaknya, “Marilah kita memperbaiki hati.“ Maksudnya, berusaha menjauhkan orang dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran Tuhan.

Selang sehari, acara Kick Andy menampilkan pendeta JF Manuputty dan Romo Carolus-sebutan untuk Charlie Patrick Borrows asal Irlandia yang sekarang menjadi warga negara Indonesia. Pendeta Manuputty terpanggil merukunkan umat Islam dan Kristen di wilayahnya, Ambon, yang waktu itu dirundung konflik; sedangkan Romo Carolus yang tinggal di Cilacap antara lain terpanggil untuk mengingatkan agar menjaga lingkungan hidup. Untuk misinya itu, dia mengunjungi Nusa Kambangan.


Tentang orang media, Andy Noya ketika mengomentari suatu peristiwa baru-baru ini mengatakan, “Tidak ada gunanya kita bicara muluk-muluk tentang kemanusiaan kalau kita sendiri tidak memiliki kepedulian.“ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar