|
IndoPROGRESS,
21 Juni 2013
‘SELAMAT’ kepada Susilo Bambang Yudhoyono atas Anugerah
Negarawan Dunia 2013, yang diterimanya dari Appeal
of Conscience Foundation. Kita semua tahu, dalam sebuah ikhtiar menegakkan
demokrasi secara substansial, di mana orang yang memiliki pandangan dan paham
berbeda mendapatkan ruang aktualisasi tanpa harus takut dibungkam, baik secara
diam-diam maupun terang-terangan, ada jalan panjang penuh liku yang harus
dilalui.
Dan dalam catatan perjalanan panjang itu, suka atau
tidak, nama Yudhoyono akan tertera sebagai Presiden Indonesia yang keenam, yang
‘berhasil’ berkuasa selama dua periode dengan mendapatkan dukungan langsung
dari rakyat. Tentu hal ini bukan capaian sepele, mengingat presiden pertama
Indonesia dikucilkan, presiden kedua memerintah dengan brutal, sementara
presiden ketiga, keempat, dan kelima menjabat seumur jagung.
Tak pernah gampang menjadi seorang presiden, apalagi di
Indonesia. Negeri ini, seperti selalu disebut-sebut dalam banyak kesempatan,
mayoritas penduduknya beragama Islam—yang dalam perspektif Barat seolah selalu
tampak eksotis sekaligus problematik. Di tengah kepungan ‘paradigma sekuler,’
sungguh menakjubkan memang melihat bagaimana Indonesia bertahan mendamaikan
tarik ulur kepentingan yang agama dan tidak-agama.
Coba lihat foto-foto ‘resmi’ pejabat pemerintah, juga
anggota parlemen. Tak banyak kan yang alpa mengenakan peci hitam (untuk
lelaki). Kesan yang muncul, setidaknya dari foto-foto itu, Islam (dan lelaki)
di Indonesia sukses memimpin dan hidup berdampingan dengan ‘agama lain.’
Ya, adalah Indonesia juga yang dihidupi oleh pemeluk
(setidaknya, untuk menyebut beberapa) lima agama lainnya, serta berbagai aliran
kepercayaan. Dinamika, serta perselisihan antar-agama dan kepercayaan inilah
yang membuat Indonesia terlihat semakin seksi. Yudhoyono pun menyadari itu,
sehingga dalam pidatonya saat menerima Anugerah, dia menyampaikan:
‘Dan Indonesia akan senantiasa menjadi negara
di mana terdapat rumah tempat ibadah yang berlimpah. Saat ini, Indonesia
memiliki lebih dari 255.000 masjid. Kami juga memiliki lebih dari 13.000
pura Hindu, sekitar 2.000 kuil Buddha, dan lebih dari 1.300
kuil Konghucu. Dan—hal ini mungkin akan mengejutkan bagi Anda—kami
memiliki lebih dari 61.000 gereja di Indonesia, lebih banyak dibandingkan di
Inggris Raya atau Jerman. Dan banyak dari tempat-tempat ibadah ini dapat
ditemui di sepanjang jalan yang sama.’
Data jumlah rumah ibadah seolah menunjukkan betapa
Indonesia ber-Bhinneka Tunggal Ika. Persoalannya, tolok ukur penghormatan
terhadap perbedaan sama sekali tak cukup hanya bersandar pada jumlah masjid
atau gereja. Ada data lain yang menjadi fakta dalam kehidupan sehari-hari, yang
tak bisa begitu saja dibilang ‘dangkal’ atau sebatas ‘riak’ di tengah
perjuangan transisi demokrasi. Sebab, apa yang dangkal dan riak itu pada
kenyataannya tumbuh membesar dari tahun ke tahun.
Kekerasan
semakin meningkat
Sejumlah penelitian, misalnya dari Wahid Institute dan
Setara Institute, menyebutkan setidaknya dalam 4-5 tahun terakhir kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia terus tergerus. Laporan Wahid Institute
menyatakan, pada 2009 terjadi 121 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama.
Kemudian pada 2010 meningkat 7 persen menjadi 184 peristiwa, dan 2011 mencapai
267. Terakhir, pada 2012, terdapat 278 peristiwa.
Hasil penelitian Setara Institute tak jauh berbeda.
Disebutkan ada 135 peristiwa pada 2007, yang meningkat menjadi 265 di tahun
berikutnya. Sedangkan pada 2009 terdapat 200 peristiwa, lalu 2010 menjadi 216,
dan 2011 ada 244. Yang paling baru, pada 2012 terjadi 264 peristiwa pelanggaran
kebebasan beragama.
Sedangkan dari sisi korban, selama 2012 saja, laporan
kedua lembaga itu sama-sama menyebutkan umat Kristen/Katolik sebagai yang
paling rentan. Disusul oleh aliran keagamaan minoritas, kelompok terduga sesat,
Jemaah Ahmadiyah Indonesia, dan pengikut Syiah.
Jika umat Kristen/Katolik sering ditimpa persoalan
mengenai pendirian rumah ibadah, yang disebut Yudhoyono berlimpah di Indonesia,
empat kelompok lainnya di atas diterpa isu soal laku aliran sesat dan tindak
penodaan agama. Dengan kata lain, tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan,
keempatnya berada dalam satu himpunan bersama, yang kalau ditotal secara
kuantitatif jumlah korbannya menjadi yang paling banyak.
Tapi tak serta-merta tulisan ini hendak mementingkan satu
korban di atas korban lainnya. Himpunan tersebut diungkapkan semata untuk
menelaah salah satu masalah pokok terkait dengan pelanggaran kebebasan beragama
dan berkeyakinan di Indonesia, yakni konsep penyesatan dan penodaan agama, yang
terangkum dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Peraturan inilah yang menjadi salah
satu akar masalah, bukan hanya dalam kehadirannya tapi juga tafsir dan
penerapannya.
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012 yang
dirilis Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, pun
memberikan perhatian khusus pada tuduhan penodaan agama yang dikuatkan oleh
peraturan itu. Sebab, berdasarkan empat tahun pengalaman mereka menyusun
laporan, dua tema tersebut menjadi peristiwa yang terus berulang.
Laporan Program Studi menyebutkan adanya perluasan aktor
dan sasaran kampanye anti-aliran sesat, yang senantiasa merujuk pada
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. ‘Isu penodaan turut mendorong kolaborasi
antara kelompok-kelompok radikal, sebagian otoritas lembaga keagamaan arus
utama di tingkat lokal, dan pemerintah lokal,’ demikian tertulis dalam halaman
16 laporan tersebut. Uji materi atas peraturan penodaan agama memang telah
dibatalkan Mahkamah Konstitusi, tapi, laporan ini mengingatkan, MK menyatakan
perlunya dilakukan revisi agar tidak terjadi diskriminasi.
Selain
itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan secara seksama tentang tafsir dan
penerapan peraturan tersebut. Pertama, di bagian
pertimbangan peraturan disampaikan,
a. bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan Masyarakat,
cita-cita Revolusi Nasional dan pembangunan Nasional Semesta menuju ke
masyarakat adil dan makmur, perlu pengadaan peraturan untuk mencegah penyalahgunaan
atau penodaan agama.
b. bahwa untuk pengamanan revolusi dan ketentuan
masyarakat, soal ini perlu diatur dengan Penetapan Presiden.
Repetisi istilah ‘revolusi’ dalam bagian pertimbangan
menunjukkan situasi khas yang mengiringi pembentukan peraturan. Sejarah
mencatat bagaimana pada periode 1950-an dan 1960-an, pemberontakan atau
separatisme berbasiskan agama menjadi isu sensitif bagi Republik, yang baru
belajar berdiri. Pada 1950-an, misalnya, gerakan Negara Islam Indonesia (NII),
menjalar ke berbagai daerah. Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hadjar di Kalimantan
Selatan, dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, ramai-ramai memproklamasikan
bergabung dalam Negara Islam. Sedangkan periode 1960-an adalah masa-masa
penumpasan gerakan itu, dengan penjatuhan hukuman mati atas
pentolan-pentolannya, termasuk Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang memimpin
di Jawa Barat.
Wajar
jika pemerintah saat itu khawatir akan muncul muka-muka baru menyusul preseden
gerakan separatisme berbasiskan agama. Nah, kedua, kekhawatiran
itu kian tampak nyata dalam bagian penjelasan peraturan. Di sana dituliskan,
‘Di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran
tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum,
memecah persatuan Nasional…’
Dengan
kata lain, titik berat Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah pada
penyelewengan agama yang membahayakan persatuan bangsa. Memang peraturan itu
tetap menyoal hal-hal yang membahayakan ajaran agama. Namun, mekanisme untuk
menindaklanjuti ajaran yang dianggap sesat atau menodai agama tertentu
sepenuhnya berada di tangan negara. Pasal 1-3 peraturan itu sudah sangat
menjelaskan tata caranya. Pertama, negara
memberikan teguran keras dan perintah untuk menghentikan perbuatan
tersebut. Kedua, memutuskan pembubaran
organisasi atau aliran itu. Ketiga, menjatuhkan
vonis pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Namun yang terjadi di lapangan sangat jauh menyimpang.
Ada penyerangan, pengusiran, bahkan kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya
korban jiwa. Apa pun dalihnya, perbuatan tersebut merupakan tindak pidana yang
juga memiliki ketentuan hukum yang harus ditegakkan.
Negara
kalah
Data yang dirilis Wahid Institute dan Setara Institute
sama-sama menunjukkan bahwa elemen non-aparat negara lebih banyak menjadi pelaku
pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan pada 2012 dibanding dengan
pemerintah (197: 166 tindakan, versi Wahid Institute, dan 61: 31 persen, versi
Setara Institute).
Menurut Wahid Institute, lima besar elemen non-aparat
negara pelaku pelanggaran kebebasan beragama, berturut-turut, adalah anggota
Front Pembela Islam, kelompok masyarakat, individu, Majelis Ulama Indonesia,
dan tokoh agama. Sedangkan versi Setara Institute: masyarakat, Majelis Ulama
Indonesia, Front Pembela Islam, gabungan organisasi massa Islam, dan institusi
pendidikan.
Berdasarkan data itu, terlihat jelas bahwa elemen
non-aparat negara telah mengangkangi pemerintah. Dengan kata lain, secara tidak
langsung, elemen-elemen itu telah mengkudeta pemerintah untuk menjalankan
fungsinya menegakkan hukum.
Jadi, pada situasi hari ini, separatisme berbasiskan
agama mewujud dalam elemen-elemen non-aparat negara yang menegakkan hukum
secara sepihak, menurut tafsirnya sendiri. Elemen-elemen inilah yang telah
menodai konstitusi dan semangat persatuan Indonesia.
Anehnya, pemerintah, yang sementara ini direpresentasikan
Yudhoyono, tampak tak ambil pusing dengan gerakan elemen itu. Dalam pidatonya
saat menerima penghargaan, ia hanya mengutarakan, ‘Namun upaya-upaya global ini
(merujuk pada apa yang disebutnya sebagai semangat globalisme baru untuk
menghadapi tantangan perdamaian, keadilan, termasuk keadilan ekonomi,
kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia) tidak akan mencatat kemajuan
apabila para pemimpin lokal dan nasional tidak memainkan peranan mereka.’
Seruan serupa pun pernah disampaikan Yudhoyono dalam
pelbagai kesempatan di dalam negeri sebelumnya, yang kurang-lebih menyatakan
bahwa pelanggaran kebebasan beragama di daerah adalah domain pemerintah daerah.
Padahal, pemerintah daerah ditengarai turut terlibat dalam praktik diskriminasi
kebebasan beragama.
Ada
dua makna dari pandangan Yudhoyono di atas. Pertama, dia
menganggap dirinya sudah masuk kategori pemimpin internasional, dan bukan
nasional, apalagi lokal. Kedua, menunjukkan
mandulnya kekuasaan presiden yang dipilih langsung secara nasional, sehingga
tak bisa berbuat apa-apa saat diharuskan berhadapan dengan gubernur, wali kota,
bupati, ataupun mungkin camat.
Terakhir,
menarik menyimak pandangan Yudhoyono dalam penutup pidatonya. Dia mengatakan,
‘Membangun masyarakat yang toleran merupakan ranah seni mengelola negara yang
baik.Diperlukan kombinasi yang tepat antara persuasi dan
penegakan hukum. Apabila tindak kekerasan terjadi, maka
keadilan harus ditegakkan. Namun, dari pengalaman kami di
Indonesia, penegakan hukum semata tidaklah cukup. Hati dan pikiran
juga harus dimenangkan.’
Tidak jelas apa yang dia maksud dengan kombinasi antara
persuasi dan penegakan hukum. Seolah berarti penegakan hukum bisa
ditawar-tawar. Lantas, mengapa ‘penegakan hukum semata tidaklah cukup?’ Sebab,
bahkan dalam kajian hukum progresif, penegakan hukum tetap menjadi yang utama.
Adapun kalimat ‘hati dan pikiran juga harus dimenangkan’ hanya menegaskan bahwa
Yudhoyono lebih memikirkan perspektif mayoritas ketimbang ‘keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.’
Banyaknya pelanggaran kebebasan beragama oleh elemen
non-aparat negara, yang dibiarkan begitu saja oleh negara (dalam arti minim
sanksi atas pelanggaran itu), pada gilirannya hanya menunjukkan betapa pemerintah
sendiri tak punya niat baik menjaga persatuan Nasional, hal yang justru dibela
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. ●
Kepustakaan:
- Pidato lengkap Susilo Bambang Yudhoyono saat
menerima penghargaan Anugerah Negarawan Dunia 2013 saya akses di http://www.tribunnews.com/2013/05/31/pidato-lengkap-presiden-sby-saat-terima-world-statesman-award
- Sedangkan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan 2012 dari Wahid Institute, Setara Institute, dan Program Studi
Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, saya unduh di
masing-masing website lembaga tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar