Sabtu, 22 Juni 2013

Kudeta Elemen Non-Aparat Negara

Kudeta Elemen Non-Aparat Negara
Eka S Saputra ;   Pegiat Komunitas Kembang Merak
IndoPROGRESS, 21 Juni 2013


‘SELAMAT’ kepada Susilo Bambang Yudhoyono atas Anugerah Negarawan Dunia 2013, yang diterimanya dari Appeal of Conscience Foundation. Kita semua tahu, dalam sebuah ikhtiar menegakkan demokrasi secara substansial, di mana orang yang memiliki pandangan dan paham berbeda mendapatkan ruang aktualisasi tanpa harus takut dibungkam, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, ada jalan panjang penuh liku yang harus dilalui.
Dan dalam catatan perjalanan panjang itu, suka atau tidak, nama Yudhoyono akan tertera sebagai Presiden Indonesia yang keenam, yang ‘berhasil’ berkuasa selama dua periode dengan mendapatkan dukungan langsung dari rakyat. Tentu hal ini bukan capaian sepele, mengingat presiden pertama Indonesia dikucilkan, presiden kedua memerintah dengan brutal, sementara presiden ketiga, keempat, dan kelima menjabat seumur jagung.
Tak pernah gampang menjadi seorang presiden, apalagi di Indonesia. Negeri ini, seperti selalu disebut-sebut dalam banyak kesempatan, mayoritas penduduknya beragama Islam—yang dalam perspektif Barat seolah selalu tampak eksotis sekaligus problematik. Di tengah kepungan ‘paradigma sekuler,’ sungguh menakjubkan memang melihat bagaimana Indonesia bertahan mendamaikan tarik ulur kepentingan yang agama dan tidak-agama.
Coba lihat foto-foto ‘resmi’ pejabat pemerintah, juga anggota parlemen. Tak banyak kan yang alpa mengenakan peci hitam (untuk lelaki). Kesan yang muncul, setidaknya dari foto-foto itu, Islam (dan lelaki) di Indonesia sukses memimpin dan hidup berdampingan dengan ‘agama lain.’
Ya, adalah Indonesia juga yang dihidupi oleh pemeluk (setidaknya, untuk menyebut beberapa) lima agama lainnya, serta berbagai aliran kepercayaan. Dinamika, serta perselisihan antar-agama dan kepercayaan inilah yang membuat Indonesia terlihat semakin seksi. Yudhoyono pun menyadari itu, sehingga dalam pidatonya saat menerima Anugerah, dia menyampaikan:
‘Dan Indonesia akan  senantiasa  menjadi negara di mana terdapat rumah tempat ibadah yang berlimpah. Saat ini,  Indonesia memiliki  lebih dari 255.000 masjid. Kami juga memiliki lebih dari 13.000 pura  Hindu,  sekitar  2.000 kuil Buddha, dan lebih dari 1.300 kuil Konghucu. Dan—hal ini mungkin akan mengejutkan bagi Anda—kami  memiliki lebih dari 61.000 gereja di Indonesia, lebih banyak dibandingkan di Inggris Raya atau Jerman. Dan banyak dari tempat-tempat ibadah ini dapat ditemui di sepanjang jalan yang sama.’
Data jumlah rumah ibadah seolah menunjukkan betapa Indonesia ber-Bhinneka Tunggal Ika. Persoalannya, tolok ukur penghormatan terhadap perbedaan sama sekali tak cukup hanya bersandar pada jumlah masjid atau gereja. Ada data lain yang menjadi fakta dalam kehidupan sehari-hari, yang tak bisa begitu saja dibilang ‘dangkal’ atau sebatas ‘riak’ di tengah perjuangan transisi demokrasi. Sebab, apa yang dangkal dan riak itu pada kenyataannya tumbuh membesar dari tahun ke tahun.
Kekerasan semakin meningkat
Sejumlah penelitian, misalnya dari Wahid Institute dan Setara Institute, menyebutkan setidaknya dalam 4-5 tahun terakhir kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia terus tergerus. Laporan Wahid Institute menyatakan, pada 2009 terjadi 121 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama. Kemudian pada 2010 meningkat 7 persen menjadi 184 peristiwa, dan 2011 mencapai 267. Terakhir, pada 2012, terdapat 278 peristiwa.
Hasil penelitian Setara Institute tak jauh berbeda. Disebutkan ada 135 peristiwa pada 2007, yang meningkat menjadi 265 di tahun berikutnya. Sedangkan pada 2009 terdapat 200 peristiwa, lalu 2010 menjadi 216, dan 2011 ada 244. Yang paling baru, pada 2012 terjadi 264 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama.
Sedangkan dari sisi korban, selama 2012 saja, laporan kedua lembaga itu sama-sama menyebutkan umat Kristen/Katolik sebagai yang paling rentan. Disusul oleh aliran keagamaan minoritas, kelompok terduga sesat, Jemaah Ahmadiyah Indonesia, dan pengikut Syiah.
Jika umat Kristen/Katolik sering ditimpa persoalan mengenai pendirian rumah ibadah, yang disebut Yudhoyono berlimpah di Indonesia, empat kelompok lainnya di atas diterpa isu soal laku aliran sesat dan tindak penodaan agama. Dengan kata lain, tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan, keempatnya berada dalam satu himpunan bersama, yang kalau ditotal secara kuantitatif jumlah korbannya menjadi yang paling banyak.
Tapi tak serta-merta tulisan ini hendak mementingkan satu korban di atas korban lainnya. Himpunan tersebut diungkapkan semata untuk menelaah salah satu masalah pokok terkait dengan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, yakni konsep penyesatan dan penodaan agama, yang terangkum dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Peraturan inilah yang menjadi salah satu akar masalah, bukan hanya dalam kehadirannya tapi juga tafsir dan penerapannya.
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012 yang dirilis Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, pun memberikan perhatian khusus pada tuduhan penodaan agama yang dikuatkan oleh peraturan itu. Sebab, berdasarkan empat tahun pengalaman mereka menyusun laporan, dua tema tersebut menjadi peristiwa yang terus berulang.
Laporan Program Studi menyebutkan adanya perluasan aktor dan sasaran kampanye anti-aliran sesat, yang senantiasa merujuk pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. ‘Isu penodaan turut mendorong kolaborasi antara kelompok-kelompok radikal, sebagian otoritas lembaga keagamaan arus utama di tingkat lokal, dan pemerintah lokal,’ demikian tertulis dalam halaman 16 laporan tersebut. Uji materi atas peraturan penodaan agama memang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, tapi, laporan ini mengingatkan, MK menyatakan perlunya dilakukan revisi agar tidak terjadi diskriminasi.
Selain itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan secara seksama tentang tafsir dan penerapan peraturan tersebut. Pertama, di bagian pertimbangan peraturan disampaikan,
a. bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan Masyarakat, cita-cita Revolusi Nasional dan pembangunan Nasional Semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur, perlu pengadaan peraturan untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama.
b. bahwa untuk pengamanan revolusi dan ketentuan masyarakat, soal ini perlu diatur dengan Penetapan Presiden.
Repetisi istilah ‘revolusi’ dalam bagian pertimbangan menunjukkan situasi khas yang mengiringi pembentukan peraturan. Sejarah mencatat bagaimana pada periode 1950-an dan 1960-an, pemberontakan atau separatisme berbasiskan agama menjadi isu sensitif bagi Republik, yang baru belajar berdiri. Pada 1950-an, misalnya, gerakan Negara Islam Indonesia (NII), menjalar ke berbagai daerah. Daud Beureueh di Aceh, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, ramai-ramai memproklamasikan bergabung dalam Negara Islam. Sedangkan periode 1960-an adalah masa-masa penumpasan gerakan itu, dengan penjatuhan hukuman mati atas pentolan-pentolannya, termasuk Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang memimpin di Jawa Barat.
Wajar jika pemerintah saat itu khawatir akan muncul muka-muka baru menyusul preseden gerakan separatisme berbasiskan agama. Nah, kedua, kekhawatiran itu kian tampak nyata dalam bagian penjelasan peraturan. Di sana dituliskan, ‘Di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional…’
Dengan kata lain, titik berat Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah pada penyelewengan agama yang membahayakan persatuan bangsa. Memang peraturan itu tetap menyoal hal-hal yang membahayakan ajaran agama. Namun, mekanisme untuk menindaklanjuti ajaran yang dianggap sesat atau menodai agama tertentu sepenuhnya berada di tangan negara. Pasal 1-3 peraturan itu sudah sangat menjelaskan tata caranya. Pertama, negara memberikan teguran keras dan perintah untuk menghentikan perbuatan tersebut. Kedua, memutuskan pembubaran organisasi atau aliran itu. Ketiga, menjatuhkan vonis pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Namun yang terjadi di lapangan sangat jauh menyimpang. Ada penyerangan, pengusiran, bahkan kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Apa pun dalihnya, perbuatan tersebut merupakan tindak pidana yang juga memiliki ketentuan hukum yang harus ditegakkan.
Negara kalah
Data yang dirilis Wahid Institute dan Setara Institute sama-sama menunjukkan bahwa elemen non-aparat negara lebih banyak menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan pada 2012 dibanding dengan pemerintah (197: 166 tindakan, versi Wahid Institute, dan 61: 31 persen, versi Setara Institute).
Menurut Wahid Institute, lima besar elemen non-aparat negara pelaku pelanggaran kebebasan beragama, berturut-turut, adalah anggota Front Pembela Islam, kelompok masyarakat, individu, Majelis Ulama Indonesia, dan tokoh agama. Sedangkan versi Setara Institute: masyarakat, Majelis Ulama Indonesia, Front Pembela Islam, gabungan organisasi massa Islam, dan institusi pendidikan.
Berdasarkan data itu, terlihat jelas bahwa elemen non-aparat negara telah mengangkangi pemerintah. Dengan kata lain, secara tidak langsung, elemen-elemen itu telah mengkudeta pemerintah untuk menjalankan fungsinya menegakkan hukum.
Jadi, pada situasi hari ini, separatisme berbasiskan agama mewujud dalam elemen-elemen non-aparat negara yang menegakkan hukum secara sepihak, menurut tafsirnya sendiri. Elemen-elemen inilah yang telah menodai konstitusi dan semangat persatuan Indonesia.
Anehnya, pemerintah, yang sementara ini direpresentasikan Yudhoyono, tampak tak ambil pusing dengan gerakan elemen itu. Dalam pidatonya saat menerima penghargaan, ia hanya mengutarakan, ‘Namun upaya-upaya global ini (merujuk pada apa yang disebutnya sebagai semangat globalisme baru untuk menghadapi tantangan perdamaian, keadilan, termasuk keadilan ekonomi, kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia) tidak akan mencatat kemajuan apabila para pemimpin lokal dan nasional tidak memainkan peranan mereka.’
Seruan serupa pun pernah disampaikan Yudhoyono dalam pelbagai kesempatan di dalam negeri sebelumnya, yang kurang-lebih menyatakan bahwa pelanggaran kebebasan beragama di daerah adalah domain pemerintah daerah. Padahal, pemerintah daerah ditengarai turut terlibat dalam praktik diskriminasi kebebasan beragama.
Ada dua makna dari pandangan Yudhoyono di atas. Pertama, dia menganggap dirinya sudah masuk kategori pemimpin internasional, dan bukan nasional, apalagi lokal. Kedua, menunjukkan mandulnya kekuasaan presiden yang dipilih langsung secara nasional, sehingga tak bisa berbuat apa-apa saat diharuskan berhadapan dengan gubernur, wali kota, bupati, ataupun mungkin camat.
Terakhir, menarik menyimak pandangan Yudhoyono dalam penutup pidatonya. Dia mengatakan, ‘Membangun masyarakat yang toleran merupakan ranah seni mengelola negara yang baik.Diperlukan  kombinasi yang tepat  antara  persuasi dan penegakan hukum. Apabila tindak  kekerasan terjadi, maka keadilan harus  ditegakkan. Namun, dari pengalaman kami di Indonesia, penegakan hukum semata tidaklah cukup. Hati dan pikiran juga harus dimenangkan.’
Tidak jelas apa yang dia maksud dengan kombinasi antara persuasi dan penegakan hukum. Seolah berarti penegakan hukum bisa ditawar-tawar. Lantas, mengapa ‘penegakan hukum semata tidaklah cukup?’ Sebab, bahkan dalam kajian hukum progresif, penegakan hukum tetap menjadi yang utama. Adapun kalimat ‘hati dan pikiran juga harus dimenangkan’ hanya menegaskan bahwa Yudhoyono lebih memikirkan perspektif mayoritas ketimbang ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.’
Banyaknya pelanggaran kebebasan beragama oleh elemen non-aparat negara, yang dibiarkan begitu saja oleh negara (dalam arti minim sanksi atas pelanggaran itu), pada gilirannya hanya menunjukkan betapa pemerintah sendiri tak punya niat baik menjaga persatuan Nasional, hal yang justru dibela Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965.

Kepustakaan:
- Pidato lengkap Susilo Bambang Yudhoyono saat menerima penghargaan Anugerah Negarawan Dunia 2013 saya akses di http://www.tribunnews.com/2013/05/31/pidato-lengkap-presiden-sby-saat-terima-world-statesman-award

- Sedangkan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2012 dari Wahid Institute, Setara Institute, dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, saya unduh di masing-masing website lembaga tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar