Kamis, 20 Juni 2013

Kinerja Ekonomi Indonesia dan Tantangannya

Kinerja Ekonomi Indonesia dan Tantangannya
Thee Kian Wie ;   Staf Ahli Pusat Penelitian Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI), Jakarta
KORAN TEMPO, 19 Juni 2013


Pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan bertujuan mencapai pembangunan ekonomi yang pesat dan berkelanjutan disertai pemerataan, yaitu penurunan yang terus-menerus dalam kemiskinan absolut dan ketimpangan dalam pembagian pendapatan dan harta (assets). Pembangunan yang berkelanjutan juga berarti bahwa Indonesia harus memanfaatkan sumber daya alam yang tidak terbarukan (depletable) secara efisien, agar sumber daya alam ini tidak cepat habis. Indonesia harus pula memanfaatkan sumber dayanya yang terbarukan, seperti hutan, seefisien mungkin agar sumber daya alam ini tidak cepat habis, yang merugikan generasi-generasi yang akan datang.
Kebijakan ekonomi yang sehat pertama-tama memerlukan kebijakan makroekonomi yang sehat, yang tecermin dari laju inflasinya, defisit anggaran belanja pemerintah, keberlanjutan fiskal yang tecermin dari utang pemerintah Indonesia sebagai persentase dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, serta defisit akun berjalan neraca pembayaran Indonesia sebagai persentase dari PDB Indonesia. Ternyata, setelah 2009, laju inflasi cukup stabil karena Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menempuh kebijakan makroekonomi yang hari-hati, termasuk kebijakan yang menetapkan rentang laju inflasi yang rendah (inflation targeting policy).
Laju inflasi yang stabil dan rendah penting untuk menarik lebih banyak investasi langsung oleh investor domestik dan investor asing. Laju inflasi yang stabil dan rendah juga penting bagi golongan masyarakat berpendapatan rendah dan yang memperoleh gaji yang tetap, seperti pegawai negeri, pensiunan pegawai negeri, TNI, dan polisi. 
Sejak 2008, bahkan sejak awal pemerintah Orde Baru, defisit anggaran belanja pemerintah Indonesia rendah sekali. Akibat kebijakan makroekonomi yang buruk selama tahun-tahun terakhir pemerintah Presiden Sukarno, pemerintah Presiden Soeharto memberlakukan undang-undang anggaran berimbang. Undang-undang ini menetapkan bahwa anggaran belanja pemerintah wajib berimbang, artinya pengeluaran pemerintah tidak boleh melebihi penerimaan pemerintah. Namun, karena dalam praktek ternyata pengeluaran pemerintah selalu melebihi penerimaan pemerintah, bantuan luar negeri yang diperoleh konsorsium bantuan luar negeri Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI), yang pada 1992 digantikan oleh Consultative Group on Indonesia (CGI), juga dimasukkan sebagai penerimaan pemerintah. CGI ini pada awal 2007 dibubarkan oleh pemerintah SBY karena, sejak waktu itu, jenis dan jumlah bantuan luar negeri diputuskan akan dirundingkan secara bilateral dengan masing-masing negara donor.
Kebijakan makroekonomi yang sehat juga tecermin pada penurunan yang terus-menerus dalam keberlanjutan fiskal, yaitu penurunan yang terus-menerus dalam rasio antara utang pemerintah dan PDB Indonesia. Data pemerintah memperlihatkan bahwa, sejak 2009 sampai 2012, keberlanjutan fiskal pemerintah Indonesia makin kuat, yang tecermin pada penurunan yang terus-menerus dalam rasio antara utang pemerintah dan PDB Indonesia.
Selama kurun waktu 2008-2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi dan stabil, kecuali 2009. Data yang tersedia memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu 2008-2012 cukup tinggi (di atas 6 persen) dan stabil. Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 disebabkan oleh dampak Krisis Finansial Global yang terjadi pada 2008. Akan tetapi, karena ekonomi Indonesia tidak begitu berorientasi ekspor seperti negara-negara anggota ASEAN lainnya, Krisis Finansial Global pada ekonomi Indonesia hanya berdampak ringan dibanding pada negara-negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Singapura. 
Selama kurun waktu 2008-2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga disertai penurunan yang terus-menerus dalam kemiskinan absolut. Data yang tersedia memperlihatkan bahwa sejak 2008 angka-angka kemiskinan absolut terus menurun. Namun penurunan dalam kemiskinan absolut disertai kenaikan dalam ketimpangan dalam pembagian pendapatan, yang tecermin pada kenaikan dalam angka rasio Gini, yang pada awal 2013 untuk pertama kali menembus angka 0,4, menjadi 0,41.
Di samping kebijakan makroekonomi yang sehat, Indonesia perlu mengambil berbagai langkah untuk meningkatkan kemampuan teknologi industri perusahaan-perusahaan manufaktur Indonesia, khususnya perusahaan-perusahaan manufaktur nasional. Hal ini perlu karena membangun sektor industri manufaktur yang dinamis sangat diperlukan untuk mencapai transformasi struktural ekonomi Indonesia. Hal ini juga penting karena sektor industri manufaktur adalah sumber lapangan kerja yang lebih produktif daripada sektor pertanian, serta sumber ekspor barang-barang jadi ataupun katalisator untuk perkembangan sektor jasa-jasa. Untuk hal ini, diperlukan prasarana fisik dan logistik yang baik (yang masih sangat tidak memadai), pekerja yang berketerampilan tinggi, serta penegakan hukum yang baik.
Untuk meningkatkan daya saing internasional, perusahaan-perusahaan manufaktur Indonesia perlu meningkatkan kemampuan teknologi mereka, yaitu penggunaan yang efektif dari pengetahuan teknologi mereka melalui upaya teknologi yang terus-menerus untuk mengasimilasi, menyesuaikan, dan/atau menciptakan teknologi baru, baik dalam teknologi proses produksi maupun dalam teknologi produk (yang jauh lebih sulit). Upaya teknologi ini berarti bahwa pimpinan perusahaan manufaktur perlu menginvestasikan sebagian dari dananya untuk mencari dan membeli teknologi yang maju, dengan syarat yang sebaik mungkin serta dengan harga yang serendah mungkin.
Hutan-hutan tropis kayu keras (tropical hardwood forests) yang paling berharga di Asia Tenggara terdapat di Filipina, Indonesia, dan Malaysia. Dari ketiga negara ini, eksploitasi dan ekspor kayu gelondongan lebih menguntungkan daripada ekspor kayu gelondongan dari Amerika Latin, karena akses ke hutan-hutan kayu tropis di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, lebih mudah dibanding di Amerika Latin, yang luasnya jauh lebih besar daripada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Lagi pula, jenis pohon-pohon di hutan-hutan kayu tropis di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, lebih homogen daripada di Amerika Latin, sehingga hutan-hutan kayu tropis di Indonesia lebih menguntungkan.
Namun, karena di Indonesia telah lama terjadi deforestasi dan pembakaran hutan yang luas untuk eksploitasi komersial hutan-hutan ini, luas hutan telah berkurang dari 70 persen dari luas bumi Indonesia pada 1990 menjadi hanya 50 persen dari luas bumi Indonesia menurut laporan OECD 2012 tentang Indonesia. Di samping ini, polusi udara Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia, dan hanya dilampaui oleh polusi udara yang lebih besar dari Cina dan India. Selain itu, pembakaran hutan dan polusi udara tidak hanya membawa dampak buruk bagi kesehatan penduduk di Kalimantan dan Sumatera, tapi juga bagi Malaysia dan Singapura. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar