|
KORAN
TEMPO, 19 Juni 2013
Pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan bertujuan
mencapai pembangunan ekonomi yang pesat dan berkelanjutan disertai pemerataan,
yaitu penurunan yang terus-menerus dalam kemiskinan absolut dan ketimpangan
dalam pembagian pendapatan dan harta (assets).
Pembangunan yang berkelanjutan juga berarti bahwa Indonesia harus memanfaatkan
sumber daya alam yang tidak terbarukan (depletable)
secara efisien, agar sumber daya alam ini tidak cepat habis. Indonesia harus
pula memanfaatkan sumber dayanya yang terbarukan, seperti hutan, seefisien
mungkin agar sumber daya alam ini tidak cepat habis, yang merugikan
generasi-generasi yang akan datang.
Kebijakan ekonomi yang sehat pertama-tama memerlukan
kebijakan makroekonomi yang sehat, yang tecermin dari laju inflasinya, defisit
anggaran belanja pemerintah, keberlanjutan fiskal yang tecermin dari utang
pemerintah Indonesia sebagai persentase dari produk domestik bruto (PDB)
Indonesia, serta defisit akun berjalan neraca pembayaran Indonesia sebagai
persentase dari PDB Indonesia. Ternyata, setelah 2009, laju inflasi cukup
stabil karena Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menempuh kebijakan
makroekonomi yang hari-hati, termasuk kebijakan yang menetapkan rentang laju
inflasi yang rendah (inflation targeting
policy).
Laju inflasi yang stabil dan rendah penting untuk menarik
lebih banyak investasi langsung oleh investor domestik dan investor asing. Laju
inflasi yang stabil dan rendah juga penting bagi golongan masyarakat
berpendapatan rendah dan yang memperoleh gaji yang tetap, seperti pegawai
negeri, pensiunan pegawai negeri, TNI, dan polisi.
Sejak 2008, bahkan sejak awal pemerintah Orde Baru, defisit
anggaran belanja pemerintah Indonesia rendah sekali. Akibat kebijakan
makroekonomi yang buruk selama tahun-tahun terakhir pemerintah Presiden
Sukarno, pemerintah Presiden Soeharto memberlakukan undang-undang anggaran
berimbang. Undang-undang ini menetapkan bahwa anggaran belanja pemerintah wajib
berimbang, artinya pengeluaran pemerintah tidak boleh melebihi penerimaan pemerintah.
Namun, karena dalam praktek ternyata pengeluaran pemerintah selalu melebihi
penerimaan pemerintah, bantuan luar negeri yang diperoleh konsorsium bantuan
luar negeri Intergovernmental Group on
Indonesia (IGGI), yang pada 1992 digantikan oleh Consultative Group on Indonesia (CGI), juga dimasukkan sebagai
penerimaan pemerintah. CGI ini pada awal 2007 dibubarkan oleh pemerintah SBY
karena, sejak waktu itu, jenis dan jumlah bantuan luar negeri diputuskan akan
dirundingkan secara bilateral dengan masing-masing negara donor.
Kebijakan makroekonomi yang sehat juga tecermin pada
penurunan yang terus-menerus dalam keberlanjutan fiskal, yaitu penurunan yang
terus-menerus dalam rasio antara utang pemerintah dan PDB Indonesia. Data
pemerintah memperlihatkan bahwa, sejak 2009 sampai 2012, keberlanjutan fiskal
pemerintah Indonesia makin kuat, yang tecermin pada penurunan yang
terus-menerus dalam rasio antara utang pemerintah dan PDB Indonesia.
Selama kurun waktu 2008-2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia
cukup tinggi dan stabil, kecuali 2009. Data yang tersedia memperlihatkan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu 2008-2012 cukup tinggi (di
atas 6 persen) dan stabil. Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009
disebabkan oleh dampak Krisis Finansial Global yang terjadi pada 2008. Akan
tetapi, karena ekonomi Indonesia tidak begitu berorientasi ekspor seperti
negara-negara anggota ASEAN lainnya, Krisis Finansial Global pada ekonomi
Indonesia hanya berdampak ringan dibanding pada negara-negara ASEAN lainnya,
seperti Malaysia dan Singapura.
Selama kurun waktu 2008-2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia
juga disertai penurunan yang terus-menerus dalam kemiskinan absolut. Data yang
tersedia memperlihatkan bahwa sejak 2008 angka-angka kemiskinan absolut terus menurun.
Namun penurunan dalam kemiskinan absolut disertai kenaikan dalam ketimpangan
dalam pembagian pendapatan, yang tecermin pada kenaikan dalam angka rasio Gini,
yang pada awal 2013 untuk pertama kali menembus angka 0,4, menjadi 0,41.
Di samping kebijakan makroekonomi yang sehat, Indonesia
perlu mengambil berbagai langkah untuk meningkatkan kemampuan teknologi
industri perusahaan-perusahaan manufaktur Indonesia, khususnya
perusahaan-perusahaan manufaktur nasional. Hal ini perlu karena membangun
sektor industri manufaktur yang dinamis sangat diperlukan untuk mencapai
transformasi struktural ekonomi Indonesia. Hal ini juga penting karena sektor
industri manufaktur adalah sumber lapangan kerja yang lebih produktif daripada
sektor pertanian, serta sumber ekspor barang-barang jadi ataupun katalisator
untuk perkembangan sektor jasa-jasa. Untuk hal ini, diperlukan prasarana fisik
dan logistik yang baik (yang masih sangat tidak memadai), pekerja yang
berketerampilan tinggi, serta penegakan hukum yang baik.
Untuk meningkatkan daya saing internasional,
perusahaan-perusahaan manufaktur Indonesia perlu meningkatkan kemampuan
teknologi mereka, yaitu penggunaan yang efektif dari pengetahuan teknologi
mereka melalui upaya teknologi yang terus-menerus untuk mengasimilasi, menyesuaikan,
dan/atau menciptakan teknologi baru, baik dalam teknologi proses produksi
maupun dalam teknologi produk (yang jauh lebih sulit). Upaya teknologi ini
berarti bahwa pimpinan perusahaan manufaktur perlu menginvestasikan sebagian
dari dananya untuk mencari dan membeli teknologi yang maju, dengan syarat yang
sebaik mungkin serta dengan harga yang serendah mungkin.
Hutan-hutan tropis kayu keras (tropical hardwood forests) yang paling berharga di Asia Tenggara
terdapat di Filipina, Indonesia, dan Malaysia. Dari ketiga negara ini,
eksploitasi dan ekspor kayu gelondongan lebih menguntungkan daripada ekspor
kayu gelondongan dari Amerika Latin, karena akses ke hutan-hutan kayu tropis di
Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, lebih mudah dibanding di Amerika Latin,
yang luasnya jauh lebih besar daripada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Lagi pula, jenis pohon-pohon di hutan-hutan kayu tropis di Asia Tenggara,
khususnya Indonesia, lebih homogen daripada di Amerika Latin, sehingga
hutan-hutan kayu tropis di Indonesia lebih menguntungkan.
Namun, karena di Indonesia telah lama terjadi deforestasi
dan pembakaran hutan yang luas untuk eksploitasi komersial hutan-hutan ini,
luas hutan telah berkurang dari 70 persen dari luas bumi Indonesia pada 1990
menjadi hanya 50 persen dari luas bumi Indonesia menurut laporan OECD 2012
tentang Indonesia. Di samping ini, polusi udara Indonesia adalah salah satu
yang tertinggi di dunia, dan hanya dilampaui oleh polusi udara yang lebih besar
dari Cina dan India. Selain itu, pembakaran hutan dan polusi udara tidak hanya
membawa dampak buruk bagi kesehatan penduduk di Kalimantan dan Sumatera, tapi
juga bagi Malaysia dan Singapura. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar