Kamis, 20 Juni 2013

Politisasi Perpustakaan Daerah

Politisasi Perpustakaan Daerah
Naufil Istikhari Kr ;   Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep
TEMPO.CO, 19 Juni 2013


Seorang pustakawan sekaligus sastrawan besar Argentina, Jorge Luis Borges (1899-1986), pernah berujar: “I have imagined that paradise will be a kind of library!” (Aku membayangkan surga itu menjadi semacam perpustakaan). Bagi Borges, tak ada tempat yang paling menyenangkan selain perpustakaan. Ia menyediakan segala yang dibutuhkan, untuk pengetahuan.

Tentu Borges tidak sedang melancarkan serangan filsafat atas konsep metafisika surga seperti yang rajin dilakukan khas pemikir Barat pada masanya. Ia hanya melayangkan gambaran imajiner, saking senangnya berada di perpustakaan, seakan-akan ia surga. Sebab, di perpustakaan, ia menemukan indahnya kehidupan.
Perpustakaan di mata Borges menjadi tampak gagah. Ia sendiri diangkat menjadi Direktur Biblioteca Nacional (Perpustakaan Umum) pada 1955. Terlahir dari keluarga kelas menengah Argentina, kemudian menjabat kepala perpustakaan, membuat Borges merasakan pengalaman manis dengan perpustakaan. Sangat masuk akal jika perpustakaan yang dikelolanya mengalami peningkatan pemanfaatan.

Borges dikenal sebagai penulis prosa dan esai-esai yang tidak kenal kompromi pada politik. Pada 1946, ketika Presiden Juan Domingo Perón mulai mengubah arah politik Argentina, Borges menjadi penulis “bertangan dingin” yang terus melancarkan kritik pedas. Ia diam-diam mencoba menyelamatkan perpustakaan dari kobaran api politik.

Nasib perpusda

Namun sayang, cerita manis Borges tidak terjadi di Indonesia. Perpustakaan di negara kita lebih tampak sebagai etalase kebudayaan yang sejenak dikunjungi untuk memuaskan naluri wisata di hari-hari libur. Atau menjadi semacam tempat singgah para mahasiswa yang sibuk mengerjakan tugas akhir (skripsi), dan setelah itu pergi begitu saja.

Belum lagi koleksi perpustakaan yang tiba-tiba raib tak ketahuan rimbanya. Perpustakaan di Indonesia tak pernah lebih ramai ketimbang mal dan bioskop. Berbeda dengan Borges, saya juga punya cerita ihwal perpustakaan. Sebuah cerita yang berawal dari pengalaman mengunjungi perpustakaan daerah (perpusda) di Madura.

Tiap pulang kampung, saya sempatkan mengunjungi Perpusda Sumenep untuk sekadar memastikan seberapa lengkap koleksinya—bertambah banyak atau masih itu-itu saja. Beberapa kali ke sana, hasilnya mengecewakan. Sekaliber perpusda, saya tidak mendapati buku-buku tentang Madura. Setelah saya tanya ke bagian petugas, dia bilang tidak tahu. Di Perpusda Pamekasan dan Sampang, keadaannya tidak lebih baik. Keduanya sama-sama mengkhawatirkan. Entah bagaimana di Bangkalan, saya belum pernah mengunjungi. Padahal, konon, anggaran untuk pengadaan buku baru Perpusda Sumenep tiap tahunnya mencapai Rp 16 juta. Tapi mengapa koleksinya tidak bertambah banyak? Dan kenapa tidak tampak buku-buku Madura yang seharusnya dikoleksi seluruh perpustakaan di Madura?

Berkali-kali saya cari buku Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940-nya Kuntowijoyo; Manusia Madura dan Lintas Sejarah Madura-nya Mien Ahmad Rifai; Lébur-nya Hélèna Bouvier;Madura dalam Empat Zaman  dan GaramKekerasan, dan Aduan Sapi-nya Huub de Jonge; Carok-nya A. Latief Wiyata; serta Sejarah Madura-nya Abdurachman, tapi tak satu pun dari buku-buku tersebut bercokol di rak-rak perpustakaan milik pemerintah itu.

Belakangan, saya mendapat kiriman buku Lintas Sejarah Madura-nya Mien Ahmad Rifai dari Ahmad Fawaid Sjadzili, dosen di STAIN Pamekasan, yang ia fotokopi dari koleksi perpustakaan kampus. Ini merupakan kabar gembira bagi saya, berarti perpustakaan kampus lebih peduli terhadap buku-buku seputar Madura daripada perpusda.

Intervensi politis

Melihat kenyataan demikian, saya jadi teringat Borges kembali. Ia berusaha memisah silsilah perpustakaan dengan kepentingan politik. Karena itulah, perpustakaannya menjadi indah. Belajar dari Borges, kala gairah kepentingan politik daerah lebih diutamakan, benar perpustakaan tenggelam dalam tumpukan buku-buku lusuh dan tidak ada jalan mendapat buku baru. Anggaran puluhan juta tak jelas kabarnya, sementara koleksi buku masih setia dengan katalog lama alias tetap tak bertambah.

Kuku-kuku politik berhasil menggores luka perpusda. Kita tentu masih ingat petaka awal Januari lalu, ketika sebuah perpustakaan milik pesantren dibakar di Bangkalan. Pelaku diduga merupakan oknum yang bekerja atas kontrak politik karena dalam perpustakaan itu tersimpan dokumen bukti-bukti kecurangan pemilihan bupati setempat.

Jika motif itu benar, dapat dipahami bahwa pemerintah daerah, khususnya di Madura, sudah tidak mempunyai ikatan emosional dengan perpustakaan. Hal ini sekaligus menjadi alasan mengapa perpusda tak diperhatikan oleh pemerintah. Dendam politik seharusnya tak sampai membutakan mata hati pejabat sehingga dia berbuat seenaknya. Pembakaran perpustakaan merupakan isyarat paling nyata betapa perpustakaan tak lagi dipahami sebagai lokus menggali pengetahuan.

Nasib perpustakaan menjadi semakin teronggok sepi dalam rentetan rak-rak yang membisu. Perpustakaan terlempar jauh ke dalam pusaran politik yang sewaktu-waktu kian membuntu. Lalu, saya teringat peristiwa serupa pada abad ke-10 silam, saat perpustakaan istana Dinasti Samaniyah di Iran dibakar karena alasan politis.

Ceritanya bermula saat Ibnu Sina berhasil mengobati penyakit Khalifah Nuh II (976-997). Sang khalifah menawarkan seluruh kekayaan Samarkand dan Ishfahan karena jasa Ibnu Sina menyelamatkan nyawanya. Namun Ibnu Sina menolak. Khalifah memaksa Ibnu Sina untuk meminta apa pun. Dengan pelan, Ibnu Sina menjawab, “Saya minta satu hal, izinkan saya masuk perpustakaan Samaniyin.” Mendengar ucapan tersebut, raja terkejut, lalu bergumam, “Sungguh mulia dirimu, wahai Ibnu Sina.”

Setelah tiga tahun berlalu, Abu Sahl, teman akrab Ibnu Sina, mengingatkan perihal kedengkian elite-elite istana kepadanya. Saat-saat itulah tiba-tiba asap tebal membubung dari perpustakaan Samaniyin. Kali ini Ibnu Sina menjadi korban politik. Ia dituduh membakar perpustakaan karena hanya Ibnu Sina-lah yang betah tiap hari menggumuli perpustakaan (Fattahi, 2009: 107).

Alasan politiklah yang membuat mata gelap, tangan kalap, kemudian tanpa dosa membakar perpustakaan. Di tengah eskalasi politik Madura yang kian panas, saya berharap perpusda kembali dihidupkan, dimeriahkan, dan dikembangkan agar onggokan buku-buku serta arsip-arsip pengetahuan kedaerahan tak lekang dimakan waktu. Kita sudah mendengar peringatan Borges. Kita telah melihat tragedi Ibnu Sina. Tinggal bagaimana kita tengadah sejenak, dan membayangkan bahwa perpustakaan adalah potongan surga kehidupan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar