|
TEMPO.CO,
19 Juni 2013
Seorang pustakawan sekaligus
sastrawan besar Argentina, Jorge Luis Borges (1899-1986), pernah berujar: “I have
imagined that paradise will be a kind of library!” (Aku membayangkan surga
itu menjadi semacam perpustakaan). Bagi Borges, tak ada tempat yang paling
menyenangkan selain perpustakaan. Ia menyediakan segala yang dibutuhkan, untuk
pengetahuan.
Tentu Borges tidak sedang
melancarkan serangan filsafat atas konsep metafisika surga seperti yang rajin
dilakukan khas pemikir Barat pada masanya. Ia hanya melayangkan gambaran
imajiner, saking senangnya berada di perpustakaan, seakan-akan ia surga. Sebab,
di perpustakaan, ia menemukan indahnya kehidupan.
Perpustakaan di mata Borges menjadi
tampak gagah. Ia sendiri diangkat menjadi Direktur Biblioteca Nacional
(Perpustakaan Umum) pada 1955. Terlahir dari keluarga kelas menengah Argentina,
kemudian menjabat kepala perpustakaan, membuat Borges merasakan pengalaman
manis dengan perpustakaan. Sangat masuk akal jika perpustakaan yang dikelolanya
mengalami peningkatan pemanfaatan.
Borges dikenal sebagai penulis prosa
dan esai-esai yang tidak kenal kompromi pada politik. Pada 1946, ketika
Presiden Juan Domingo Perón mulai mengubah arah politik Argentina, Borges
menjadi penulis “bertangan dingin” yang terus melancarkan kritik pedas. Ia
diam-diam mencoba menyelamatkan perpustakaan dari kobaran api politik.
Nasib perpusda
Namun sayang, cerita manis Borges
tidak terjadi di Indonesia. Perpustakaan di negara kita lebih tampak sebagai
etalase kebudayaan yang sejenak dikunjungi untuk memuaskan naluri wisata di
hari-hari libur. Atau menjadi semacam tempat singgah para mahasiswa yang sibuk
mengerjakan tugas akhir (skripsi), dan setelah itu pergi begitu saja.
Belum lagi koleksi perpustakaan
yang tiba-tiba raib tak ketahuan rimbanya. Perpustakaan di Indonesia tak pernah
lebih ramai ketimbang mal dan bioskop. Berbeda dengan Borges, saya juga punya
cerita ihwal perpustakaan. Sebuah cerita yang berawal dari pengalaman
mengunjungi perpustakaan daerah (perpusda) di Madura.
Tiap pulang kampung, saya sempatkan
mengunjungi Perpusda Sumenep untuk sekadar memastikan seberapa lengkap
koleksinya—bertambah banyak atau masih itu-itu saja. Beberapa kali ke sana,
hasilnya mengecewakan. Sekaliber perpusda, saya tidak mendapati buku-buku
tentang Madura. Setelah saya tanya ke bagian petugas, dia bilang tidak tahu. Di
Perpusda Pamekasan dan Sampang, keadaannya tidak lebih baik. Keduanya sama-sama
mengkhawatirkan. Entah bagaimana di Bangkalan, saya belum pernah mengunjungi.
Padahal, konon, anggaran untuk pengadaan buku baru Perpusda Sumenep tiap tahunnya
mencapai Rp 16 juta. Tapi mengapa koleksinya tidak bertambah banyak? Dan kenapa
tidak tampak buku-buku Madura yang seharusnya dikoleksi seluruh perpustakaan di
Madura?
Berkali-kali saya cari buku Perubahan
Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940-nya Kuntowijoyo; Manusia
Madura dan Lintas Sejarah Madura-nya Mien Ahmad Rifai; Lébur-nya
Hélèna Bouvier;Madura dalam Empat Zaman dan Garam, Kekerasan,
dan Aduan Sapi-nya Huub de Jonge; Carok-nya A. Latief Wiyata;
serta Sejarah Madura-nya Abdurachman, tapi tak satu pun dari
buku-buku tersebut bercokol di rak-rak perpustakaan milik pemerintah itu.
Belakangan, saya mendapat kiriman
buku Lintas Sejarah Madura-nya Mien Ahmad Rifai dari Ahmad Fawaid
Sjadzili, dosen di STAIN Pamekasan, yang ia fotokopi dari koleksi perpustakaan
kampus. Ini merupakan kabar gembira bagi saya, berarti perpustakaan kampus
lebih peduli terhadap buku-buku seputar Madura daripada perpusda.
Intervensi politis
Melihat kenyataan demikian, saya
jadi teringat Borges kembali. Ia berusaha memisah silsilah perpustakaan dengan
kepentingan politik. Karena itulah, perpustakaannya menjadi indah. Belajar dari
Borges, kala gairah kepentingan politik daerah lebih diutamakan, benar
perpustakaan tenggelam dalam tumpukan buku-buku lusuh dan tidak ada jalan
mendapat buku baru. Anggaran puluhan juta tak jelas kabarnya, sementara koleksi
buku masih setia dengan katalog lama alias tetap tak bertambah.
Kuku-kuku politik berhasil
menggores luka perpusda. Kita tentu masih ingat petaka awal Januari lalu,
ketika sebuah perpustakaan milik pesantren dibakar di Bangkalan. Pelaku diduga
merupakan oknum yang bekerja atas kontrak politik karena dalam perpustakaan itu
tersimpan dokumen bukti-bukti kecurangan pemilihan bupati setempat.
Jika motif itu benar, dapat dipahami
bahwa pemerintah daerah, khususnya di Madura, sudah tidak mempunyai ikatan
emosional dengan perpustakaan. Hal ini sekaligus menjadi alasan mengapa
perpusda tak diperhatikan oleh pemerintah. Dendam politik seharusnya tak sampai
membutakan mata hati pejabat sehingga dia berbuat seenaknya. Pembakaran
perpustakaan merupakan isyarat paling nyata betapa perpustakaan tak lagi
dipahami sebagai lokus menggali pengetahuan.
Nasib perpustakaan menjadi semakin
teronggok sepi dalam rentetan rak-rak yang membisu. Perpustakaan terlempar jauh
ke dalam pusaran politik yang sewaktu-waktu kian membuntu. Lalu, saya teringat
peristiwa serupa pada abad ke-10 silam, saat perpustakaan istana Dinasti
Samaniyah di Iran dibakar karena alasan politis.
Ceritanya bermula saat Ibnu Sina berhasil
mengobati penyakit Khalifah Nuh II (976-997). Sang khalifah menawarkan seluruh
kekayaan Samarkand dan Ishfahan karena jasa Ibnu Sina menyelamatkan nyawanya.
Namun Ibnu Sina menolak. Khalifah memaksa Ibnu Sina untuk meminta apa pun.
Dengan pelan, Ibnu Sina menjawab, “Saya minta satu hal, izinkan saya masuk
perpustakaan Samaniyin.” Mendengar ucapan tersebut, raja terkejut, lalu
bergumam, “Sungguh mulia dirimu, wahai Ibnu Sina.”
Setelah tiga tahun berlalu, Abu
Sahl, teman akrab Ibnu Sina, mengingatkan perihal kedengkian elite-elite istana
kepadanya. Saat-saat itulah tiba-tiba asap tebal membubung dari perpustakaan
Samaniyin. Kali ini Ibnu Sina menjadi korban politik. Ia dituduh membakar
perpustakaan karena hanya Ibnu Sina-lah yang betah tiap hari menggumuli
perpustakaan (Fattahi, 2009: 107).
Alasan politiklah yang membuat mata
gelap, tangan kalap, kemudian tanpa dosa membakar perpustakaan. Di tengah
eskalasi politik Madura yang kian panas, saya berharap perpusda kembali
dihidupkan, dimeriahkan, dan dikembangkan agar onggokan buku-buku serta
arsip-arsip pengetahuan kedaerahan tak lekang dimakan waktu. Kita sudah
mendengar peringatan Borges. Kita telah melihat tragedi Ibnu Sina. Tinggal
bagaimana kita tengadah sejenak, dan membayangkan bahwa perpustakaan adalah
potongan surga kehidupan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar