|
KORAN TEMPO, 10 Juni 2013
Gagasan-gagasan
TK mengenai pentingnya memahami, menghayati, dan mengamalkan empat pilar inilah
yang kemudian memikat segenap civitas
academica Universitas Trisakti untuk memberinya gelar doktor kehormatan (honoris causa) pada Minggu, 10 Maret
2013, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah dilakukan di gedung parlemen,
yang menyimbolkan representasi dari seluruh aspirasi rakyat.
Bangsa
Indonesia kehilangan seorang tokoh yang, walaupun seorang aktivis partai,
memiliki sikap dan wawasan yang melintas. Sekat-sekat primordialisme, baik
suku, agama, maupun golongan dia lampaui dengan menjunjung semangat
kebhinnekaan. Taufiq Kiemas, tokoh yang saya maksud dan populer dengan sebutan
"TK", secara fisik telah menghadap Illahi pada Sabtu lalu (8 Juni
2013), tapi semangat kebhinnekaannya tetap hidup.
Dari
beragam komentar dan testimoni yang disampaikan berbagai kalangan-termasuk
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-untuk mengiringi kepergiannya, tak ada satu
pun yang mengingkari sikap kenegarawanan TK, terlebih setelah memimpin Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang, menurutnya, memiliki tugas pokok untuk
mensosialisasi hasil amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Salah
satu perbedaan yang signifikan antara politikus dan negarawan, politikus selalu
bicara tentang kepentingan kelompok untuk meraih keuntungan jangka pendek,
sementara negarawan bicara ihwal kepentingan bersama untuk jangka waktu yang
panjang. TK yang kita kenal adalah seorang negarawan yang punya visi jauh ke
depan.
Secara
komprehensif, mungkin kita tak mengenal pokok-pokok pikiran TK, karena beliau
bukanlah seorang pemikir dalam kerangka norma akademis. TK adalah aktivis yang
sudah masuk dunia pergerakan sejak mahasiswa dengan bergabung dalam Gerakan
Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI). Jiwa nasionalismenya sudah ditempa sejak
usia yang sangat belia.
Karena
paham nasionalisme yang sudah mendarah daging, yang selalu menjadi perhatian
tokoh kelahiran Jakarta, 31 Desember 1942, ini adalah bagaimana membangun
semangat keindonesiaan dalam keberagaman. Dan, karena itu pula, alasan utama TK
bersedia menjadi Ketua MPR adalah karena keinginan kuatnya menularkan semangat
kebangsaan kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Isi UUD
1945, menurut TK, yang paling pokok adalah empat pilar kebangsaan, yakni
Pancasila (yang tertuang dalam pembukaan/preambul), UUD 1945 itu sendiri,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan
empat pilar inilah bangsa Indonesia dipersatukan. Karena itu, menurut dia,
seluruh warga negara Indonesia harus memahami, menghayati, dan mengamalkan
empat pilar tersebut.
Gagasan-gagasan
TK mengenai pentingnya memahami, menghayati, dan mengamalkan empat pilar inilah
yang kemudian memikat segenap civitas
academica Universitas Trisakti untuk memberinya gelar doktor kehormatan (honoris causa) pada 10 Maret 2013 yang
untuk pertama kalinya dalam sejarah dilakukan di gedung parlemen, yang
menyimbolkan representasi dari seluruh aspirasi rakyat.
Dalam
pandangan TK, demokrasi Indonesia berbeda dengan yang digagas dan diamalkan di
negara-negara Barat, yang memuja kebebasan dan individualisme. Di Indonesia,
demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi gotong royong. Demokrasi yang
menekankan kebersamaan. Karena itu, dalam berdemokrasi, seperti yang diterapkan
dalam PDI Perjuangan, ia setuju dengan pola aklamasi dalam menetapkan ketua
umum partai. Aklamasi, kata TK, merupakan bagian dari demokrasi, yakni
musyawarah mufakat.
Di
dalam negara yang pluralistik, seperti Indonesia, kenapa demokrasi gotong
royong sangat cocok untuk diterapkan? Sebab, selain untuk menjaga kebersamaan,
guna menjamin agar keberagaman tetap terjaga. Sebab, dalam semangat gotong
royong, ada suasana kebersamaan yang menghormati satu sama lain.
Selain
kebersamaan dan rasa saling menghormati, yang tak kalah penting dalam demokrasi
gotong-royong, menurut TK, adalah adanya keadilan. Untuk bersikap adil terhadap
pihak lain, meniscayakan prasyarat tertentu, yang paling pokok adalah pemahaman
akan apa, bagaimana, dan kebutuhan-kebutuhan apa yang benar-benar diharapkan
pihak lain. Tanpa ada pemahaman demikian, sulit rasanya kita bisa bersikap
adil.
Menurut
pepatah lama, tak kenal maka tak sayang. Untuk bersikap adil terhadap pihak
lain, selain dibutuhkan pemahaman, diperlukan keniscayaan kesediaan untuk
bekerja sama dan membangun aliansi secara bersilang dalam berbagai kelompok.
Dalam khazanah bahasa Indonesia, aliansi konstruktif semacam inilah yang
disebut dengan gotong royong.
Jika
merujuk pada pentingnya modal sosial (social
capital) dalam berdemokrasi yang digagas Robert Putnam (1993), di mana
unsur pokoknya terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas
atau kelompok untuk bekerja sama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan
bersama (Hasbullah, 2006:9), gotong
royong sesungguhnya merupakan unsur pokok dari modal sosial itu.
Dalam
sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi swasta (2010), TK menyatakan
dengan tegas bahwa konsep demokrasi di Indonesia tidak mengenal adanya oposisi.
Maka, kalau PDI Perjuangan dianggap sebagai oposisi pemerintah, itu salah. Yang
benar adalah sebagai penyeimbang.
Penyeimbang
berbeda dengan oposisi. Penyeimbang berfungsi agar pemerintah berjalan secara
seimbang, menjunjung tinggi keadilan. Kalau pemerintah berada di jalan yang
sudah benar dan adil, tidak ada alasan bagi PDI Perjuangan untuk tidak
mendukung pemerintah.
Karena
sikapnya yang cenderung positif itulah, kita bisa memahami mengapa semua partai
merasa dekat dengan TK, termasuk Partai Demokrat, yang dipersepsikan publik
berada vis-a-vis dengan PDI Perjuangan. Walaupun jelas-jelas sebagai pemimpin
PDI Perjuangan, dalam banyak kesempatan, TK seolah tampil menjadi tokoh semua
partai.
Selamat jalan, tokoh pemersatu, pembela
kebhinnekaan dan keindonesiaan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar