Selasa, 11 Juni 2013

Kebhinekaan Taufiq Kiemas

Kebhinekaan Taufiq Kiemas
Jeffrie Geovanie ;   Founder The Indonesian Institute      
KORAN TEMPO, 10 Juni 2013

Gagasan-gagasan TK mengenai pentingnya memahami, menghayati, dan mengamalkan empat pilar inilah yang kemudian memikat segenap civitas academica Universitas Trisakti untuk memberinya gelar doktor kehormatan (honoris causa) pada Minggu, 10 Maret 2013, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah dilakukan di gedung parlemen, yang menyimbolkan representasi dari seluruh aspirasi rakyat.
Bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh yang, walaupun seorang aktivis partai, memiliki sikap dan wawasan yang melintas. Sekat-sekat primordialisme, baik suku, agama, maupun golongan dia lampaui dengan menjunjung semangat kebhinnekaan. Taufiq Kiemas, tokoh yang saya maksud dan populer dengan sebutan "TK", secara fisik telah menghadap Illahi pada Sabtu lalu (8 Juni 2013), tapi semangat kebhinnekaannya tetap hidup.
Dari beragam komentar dan testimoni yang disampaikan berbagai kalangan-termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-untuk mengiringi kepergiannya, tak ada satu pun yang mengingkari sikap kenegarawanan TK, terlebih setelah memimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat yang, menurutnya, memiliki tugas pokok untuk mensosialisasi hasil amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Salah satu perbedaan yang signifikan antara politikus dan negarawan, politikus selalu bicara tentang kepentingan kelompok untuk meraih keuntungan jangka pendek, sementara negarawan bicara ihwal kepentingan bersama untuk jangka waktu yang panjang. TK yang kita kenal adalah seorang negarawan yang punya visi jauh ke depan.
Secara komprehensif, mungkin kita tak mengenal pokok-pokok pikiran TK, karena beliau bukanlah seorang pemikir dalam kerangka norma akademis. TK adalah aktivis yang sudah masuk dunia pergerakan sejak mahasiswa dengan bergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI). Jiwa nasionalismenya sudah ditempa sejak usia yang sangat belia.
Karena paham nasionalisme yang sudah mendarah daging, yang selalu menjadi perhatian tokoh kelahiran Jakarta, 31 Desember 1942, ini adalah bagaimana membangun semangat keindonesiaan dalam keberagaman. Dan, karena itu pula, alasan utama TK bersedia menjadi Ketua MPR adalah karena keinginan kuatnya menularkan semangat kebangsaan kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Isi UUD 1945, menurut TK, yang paling pokok adalah empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila (yang tertuang dalam pembukaan/preambul), UUD 1945 itu sendiri, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan empat pilar inilah bangsa Indonesia dipersatukan. Karena itu, menurut dia, seluruh warga negara Indonesia harus memahami, menghayati, dan mengamalkan empat pilar tersebut.
Gagasan-gagasan TK mengenai pentingnya memahami, menghayati, dan mengamalkan empat pilar inilah yang kemudian memikat segenap civitas academica Universitas Trisakti untuk memberinya gelar doktor kehormatan (honoris causa) pada 10 Maret 2013 yang untuk pertama kalinya dalam sejarah dilakukan di gedung parlemen, yang menyimbolkan representasi dari seluruh aspirasi rakyat.
Dalam pandangan TK, demokrasi Indonesia berbeda dengan yang digagas dan diamalkan di negara-negara Barat, yang memuja kebebasan dan individualisme. Di Indonesia, demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi gotong royong. Demokrasi yang menekankan kebersamaan. Karena itu, dalam berdemokrasi, seperti yang diterapkan dalam PDI Perjuangan, ia setuju dengan pola aklamasi dalam menetapkan ketua umum partai. Aklamasi, kata TK, merupakan bagian dari demokrasi, yakni musyawarah mufakat.
Di dalam negara yang pluralistik, seperti Indonesia, kenapa demokrasi gotong royong sangat cocok untuk diterapkan? Sebab, selain untuk menjaga kebersamaan, guna menjamin agar keberagaman tetap terjaga. Sebab, dalam semangat gotong royong, ada suasana kebersamaan yang menghormati satu sama lain. 
Selain kebersamaan dan rasa saling menghormati, yang tak kalah penting dalam demokrasi gotong-royong, menurut TK, adalah adanya keadilan. Untuk bersikap adil terhadap pihak lain, meniscayakan prasyarat tertentu, yang paling pokok adalah pemahaman akan apa, bagaimana, dan kebutuhan-kebutuhan apa yang benar-benar diharapkan pihak lain. Tanpa ada pemahaman demikian, sulit rasanya kita bisa bersikap adil. 
Menurut pepatah lama, tak kenal maka tak sayang. Untuk bersikap adil terhadap pihak lain, selain dibutuhkan pemahaman, diperlukan keniscayaan kesediaan untuk bekerja sama dan membangun aliansi secara bersilang dalam berbagai kelompok. Dalam khazanah bahasa Indonesia, aliansi konstruktif semacam inilah yang disebut dengan gotong royong.
Jika merujuk pada pentingnya modal sosial (social capital) dalam berdemokrasi yang digagas Robert Putnam (1993), di mana unsur pokoknya terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerja sama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama (Hasbullah, 2006:9), gotong royong sesungguhnya merupakan unsur pokok dari modal sosial itu.
Dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi swasta (2010), TK menyatakan dengan tegas bahwa konsep demokrasi di Indonesia tidak mengenal adanya oposisi. Maka, kalau PDI Perjuangan dianggap sebagai oposisi pemerintah, itu salah. Yang benar adalah sebagai penyeimbang. 
Penyeimbang berbeda dengan oposisi. Penyeimbang berfungsi agar pemerintah berjalan secara seimbang, menjunjung tinggi keadilan. Kalau pemerintah berada di jalan yang sudah benar dan adil, tidak ada alasan bagi PDI Perjuangan untuk tidak mendukung pemerintah. 
Karena sikapnya yang cenderung positif itulah, kita bisa memahami mengapa semua partai merasa dekat dengan TK, termasuk Partai Demokrat, yang dipersepsikan publik berada vis-a-vis dengan PDI Perjuangan. Walaupun jelas-jelas sebagai pemimpin PDI Perjuangan, dalam banyak kesempatan, TK seolah tampil menjadi tokoh semua partai.
Selamat jalan, tokoh pemersatu, pembela kebhinnekaan dan keindonesiaan! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar