Selasa, 11 Juni 2013

Kota yang Manusiawi

Kota yang Manusiawi
Parag Khanna ;   Direktur Hybrid Reality Institute di Singapura;
Pengarang buku The Second World, How to Run the World, dan Hybrid Reality      
TEMPO.CO, 10 Juni 2013


Simpang-siur kabar tentang organisasi-organisasi internasional yang membentuk tata kelola global telah menjadi begitu rumit dan tidak efektif, sehingga tidak banyak lagi orang yang mengharapkan hasil dari upaya mereka. Sekarang, setelah puluhan tahun memperebutkan lahan keberadaan dan memarginalkan dirinya sendiri, organisasi-organisasi internasional ini harus bersatu dalam menangani suatu persoalan prioritas yang semakin mendesak: urbanisasi yang berkelanjutan.

Dunia sedang mengalami gelombang urbanisasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan tidak bisa digulung kembali. Enam puluh persen penduduk di dunia bakal berdiam di kota-kota menjelang 2030. Cepatnya laju urbanisasi telah mendorong konsumsi bahan bakar fosil dan air rumah tangga serta meningkatkan permintaan akan pangan di daerah-daerah di mana lahan pertanian semakin langka. Singkatnya, laju urbanisasi yang terjadi sekarang tidak berkelanjutan.

Upaya yang dilakukan saat ini untuk mengubah situasi sangat tidak memadai. Sedangkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menegaskan UN-Habitat, badan yang mendorong urbanisasi yang berkelanjutan. Tapi ia tidak punya pengaruh yang menjamin persoalan yang vital ini bakal masuk agenda global.

Lagi pula pemain-pemain internasional di bidang pembangunan—termasuk badan-badan PBB, NGO, program-program kewarganegaraan korporat, dan badan-badan amal lainnya—jarang mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka, walaupun campur tangan mereka semakin terkonsentrasi di kota-kota padat penduduk. Mengingat upaya memajukan urbanisasi yang berkelanjutan dan meningkatkan koordinasi akan memperkokoh upaya di bidang-bidang prioritas lainnya (termasuk hak wanita, perubahan iklim, pengangguran di kalangan anak-anak muda, dan pemberantasan buta aksara), urbanisasi yang berkelanjutan harus menjadi prioritas birokrasi. Dan ia harus disertai persebaran teknologi, dengan investasi yang disalurkan ke arah pengembangan serta penyebaran inovasi yang bakal membuat kota lebih layak huni, efisien, dan berkelanjutan.

Sebenarnya, sudah banyak terdapat inovasi yang bermanfaat, seperti bahan-bahan bangunan yang menghasilkan energi dan transportasi nol emisi. Ia perlu tersedia bagi mereka yang paling membutuhkan. Peralatan-peralatan seperti sistem penyaring air skala kecil, monitor jantung yang bisa dibawa ke mana-mana, dan komputer tablet yang terjangkau sudah dengan dramatis meningkatkan kehidupan masyarakat miskin serta membantu meratakan lapangan permainan di bidang ekonomi.

Dampak tata kelola global pada masa depan ini terletak pada terbentuknya kesepakatan-kesepakatan baru yang memperlancar arus ilmu dan teknologi yang vital dari sumber-sumber yang semakin beragam ke penduduk perkotaan di seluruh dunia. Peralatan-peralatan yang diperlukan untuk membuat kehidupan di perkotaan lebih berkelanjutan tidak lagi mengalir hanya dari Utara ke Selatan dan dari Barat ke Timur. Cina telah memimpin sebagai eksportir sel fotovoltaik surya, sementara taman-taman teknologi bersih bermunculan, bahkan di dunia Arab.

Pemerintah, perusahan, pengelola rantai pasokan, strategi kewarganegaraan korporat, NGO, dan lain-lain harus menunjukkan komitmen mengurangi jejak kaki karbon serta meningkatkan sumber daya mereka guna menyumbang bagi urbanisasi yang berkelanjutan. Peluang untuk memberikan sumbangan seperti itu terus bermunculan—dan melintasi semua sektor.

Di sektor konstruksi, misalnya, kontraktor-kontraktor telah membentuk kemitraan dengan laboratorium untuk menguji bahan-bahan yang memantulkan panas dengan lebih baik seraya menyerap energi untuk menggerakkan sistem pendingin, dan perusahaan meningkatkan penggunaan peralatan perangkat lunak dengan meteran pengukur yang pintar di rumah-rumah dan kantor-kantor. Dua kota di Amerika Serikat—New York dan Seattle—telah meningkatkan standar efisiensi bagi bangunan-bangunan baru.

Produsen mobil, perusahaan jasa mobilitas, dan pemerintah setempat juga telah bekerja sama memajukan transportasi yang berkelanjutan dengan memberikan insentif bagi kendaraan bukan milik sendiri yang efisien. Hasilnya, pooling bersama kendaraan semakin banyak terdapat di kota-kota, seperti Berlin.

Di samping itu, Massachusetts Institute of Technology di Amerika Serikat telah mengembangkan city car, mobil listrik yang bisa dilipat. Empat buah mobil demikian bisa diparkir di dalam ruang yang biasanya cukup hanya untuk satu mobil. Pada KTT Rio+20 tahun lalu, delapan bank pembangunan multilateral terbesar telah menjanjikan dana sebesar US$ 175 miliar untuk pengembangan transportasi yang berkelanjutan.

Teknologi informasi juga bisa menurunkan stres pada sistem transportasi. Misalnya, Singapura akan memanfaatkan jaringan optik serat yang sudah hampir selesai dibangun guna mengurangi kepadatan dengan menerapkan langkah-langkah yang mendorong para pekerja untuk berkomunikasi cukup dengan telepon saja. Sementara langkah-langkah ini mulai diberlakukan, kota-kota satelit yang swasembada mungkin bisa berkembang, sehingga mengurangi konsumsi energi dan menumbuhkan suatu masyarakat madani yang lebih aktif.

Singapura juga memimpin dalam bidang lain: produksi dan distribusi air daur ulang yang bisa berpindah-pindah tempat. Banyak kota di seluruh dunia mengikuti jejak Singapura ini, yakni memperluas program penangkapan dan penjernihan air hujan mereka.

Sedangkan eksperimen membuka kebun vertikal—yang bertujuan menambah pasokan 
pangan hasil tanaman dari rumah-rumah kaca di gedung-gedung pencakar langit—telah menjamur dari Kawasan Midwest di Amerika sampai Osaka di Jepang. India juga sudah memimpin dalam mengkonversi biomassa dan limbah pangan menjadi energi.

Sudah tentu, miliaran petani dan penduduk pedesaan di seluruh dunia itu jangan pula dilupakan. Langkah-langkah intervensi, seperti program listrik masuk desa, penyediaan bibit tanaman yang resistan terhadap kekeringan dan teknologi pertanian, serta perluasan asuransi mikro penting, tidak hanya ditujukan bagi kesejahteraan penduduk pedesaan, tapi juga untuk katalisasi “Revolusi Hijau” yang baru. Tanpa ini semua, penduduk perkotaan akan mengalami kelangkaan pangan yang parah.

Dengan munculnya setiap hari solusi-solusi baru yang inovatif, maka tantangan yang riil terletak pada penerapan yang sesuai—dan itu membutuhkan kerja sama internasional. Tapi kota-kota yang “paling pintar” pun bukan merupakan kota-kota paling maju secara teknologi. Ia merupakan tempat di mana teknologi dan kebijakan publik mendukung kesejahteraan serta aspirasi warga. Fakta yang krusial ini bakal membimbing diskusi-diskusi pada konferensi tingkat tinggi tahunan kedua New Cities Foundation pada Juni ini—dengan tema “Kota yang Manusiawi”—dan harus menjadi pusat prakarsa urbanisasi yang berkelanjutan.

Menjadikan urbanisasi yang berkelanjutan itu sebagai prioritas yang strategis mungkin merupakan satu-satunya jalan untuk mengatasi krisis menurunnya lapangan kerja, pengangguran di kalangan anak-anak muda, dan ketidaksetaraan pendapatan. Walaupun sebagian pekerjaan di pabrik bisa dialihdayakan (outsourcing) atau diotomatiskan, robot tidak bisa melakukan kerja ulang bangunan, memasang sel PV di atap gedung, atau membuka kebun vertikal. Bahkan upaya di beberapa kota, seperti Singapura dan Tokyo, ke arah penggunaan kereta api bawah tanah atau mobil tanpa sopir bakal meminta tenaga kerja yang cukup besar untuk mengelola sistem-sistem terkait.

Di masa depan, seperti di masa lalu, kerja yang paling padat karya banyak berupa pembangunan rumah, sarana produksi, dan, pada gilirannya, komunitas-komunitas itu sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar