|
TEMPO.CO, 10 Juni 2013
Simpang-siur kabar tentang
organisasi-organisasi internasional yang membentuk tata kelola global telah
menjadi begitu rumit dan tidak efektif, sehingga tidak banyak lagi orang yang
mengharapkan hasil dari upaya mereka. Sekarang, setelah puluhan tahun
memperebutkan lahan keberadaan dan memarginalkan dirinya sendiri,
organisasi-organisasi internasional ini harus bersatu dalam menangani suatu
persoalan prioritas yang semakin mendesak: urbanisasi yang berkelanjutan.
Dunia sedang mengalami gelombang
urbanisasi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan tidak bisa digulung
kembali. Enam puluh persen penduduk di dunia bakal berdiam di kota-kota
menjelang 2030. Cepatnya laju urbanisasi telah mendorong konsumsi bahan bakar
fosil dan air rumah tangga serta meningkatkan permintaan akan pangan di
daerah-daerah di mana lahan pertanian semakin langka. Singkatnya, laju
urbanisasi yang terjadi sekarang tidak berkelanjutan.
Upaya yang dilakukan saat ini
untuk mengubah situasi sangat tidak memadai. Sedangkan Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah menegaskan UN-Habitat, badan yang mendorong urbanisasi yang
berkelanjutan. Tapi ia tidak punya pengaruh yang menjamin persoalan yang vital
ini bakal masuk agenda global.
Lagi pula pemain-pemain
internasional di bidang pembangunan—termasuk badan-badan PBB, NGO,
program-program kewarganegaraan korporat, dan badan-badan amal lainnya—jarang
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka, walaupun campur tangan mereka
semakin terkonsentrasi di kota-kota padat penduduk. Mengingat upaya memajukan
urbanisasi yang berkelanjutan dan meningkatkan koordinasi akan memperkokoh
upaya di bidang-bidang prioritas lainnya (termasuk hak wanita, perubahan iklim,
pengangguran di kalangan anak-anak muda, dan pemberantasan buta aksara),
urbanisasi yang berkelanjutan harus menjadi prioritas birokrasi. Dan ia harus
disertai persebaran teknologi, dengan investasi yang disalurkan ke arah
pengembangan serta penyebaran inovasi yang bakal membuat kota lebih layak huni,
efisien, dan berkelanjutan.
Sebenarnya, sudah banyak terdapat
inovasi yang bermanfaat, seperti bahan-bahan bangunan yang menghasilkan energi
dan transportasi nol emisi. Ia perlu tersedia bagi mereka yang paling
membutuhkan. Peralatan-peralatan seperti sistem penyaring air skala kecil,
monitor jantung yang bisa dibawa ke mana-mana, dan komputer tablet yang
terjangkau sudah dengan dramatis meningkatkan kehidupan masyarakat miskin serta
membantu meratakan lapangan permainan di bidang ekonomi.
Dampak tata kelola global pada
masa depan ini terletak pada terbentuknya kesepakatan-kesepakatan baru yang
memperlancar arus ilmu dan teknologi yang vital dari sumber-sumber yang semakin
beragam ke penduduk perkotaan di seluruh dunia. Peralatan-peralatan yang
diperlukan untuk membuat kehidupan di perkotaan lebih berkelanjutan tidak lagi
mengalir hanya dari Utara ke Selatan dan dari Barat ke Timur. Cina telah
memimpin sebagai eksportir sel fotovoltaik surya, sementara taman-taman
teknologi bersih bermunculan, bahkan di dunia Arab.
Pemerintah, perusahan, pengelola
rantai pasokan, strategi kewarganegaraan korporat, NGO, dan lain-lain harus
menunjukkan komitmen mengurangi jejak kaki karbon serta meningkatkan sumber
daya mereka guna menyumbang bagi urbanisasi yang berkelanjutan. Peluang untuk
memberikan sumbangan seperti itu terus bermunculan—dan melintasi semua sektor.
Di sektor konstruksi, misalnya,
kontraktor-kontraktor telah membentuk kemitraan dengan laboratorium untuk
menguji bahan-bahan yang memantulkan panas dengan lebih baik seraya menyerap
energi untuk menggerakkan sistem pendingin, dan perusahaan meningkatkan
penggunaan peralatan perangkat lunak dengan meteran pengukur yang pintar di
rumah-rumah dan kantor-kantor. Dua kota di Amerika Serikat—New York dan
Seattle—telah meningkatkan standar efisiensi bagi bangunan-bangunan baru.
Produsen mobil, perusahaan jasa
mobilitas, dan pemerintah setempat juga telah bekerja sama memajukan
transportasi yang berkelanjutan dengan memberikan insentif bagi kendaraan bukan
milik sendiri yang efisien. Hasilnya, pooling bersama kendaraan semakin banyak
terdapat di kota-kota, seperti Berlin.
Di samping itu, Massachusetts
Institute of Technology di Amerika Serikat telah mengembangkan city
car, mobil listrik yang bisa dilipat. Empat buah mobil demikian
bisa diparkir di dalam ruang yang biasanya cukup hanya untuk satu mobil. Pada
KTT Rio+20 tahun lalu, delapan bank pembangunan multilateral terbesar telah
menjanjikan dana sebesar US$ 175 miliar untuk pengembangan
transportasi yang berkelanjutan.
Teknologi informasi juga bisa
menurunkan stres pada sistem transportasi. Misalnya, Singapura akan
memanfaatkan jaringan optik serat yang sudah hampir selesai dibangun guna
mengurangi kepadatan dengan menerapkan langkah-langkah yang mendorong para
pekerja untuk berkomunikasi cukup dengan telepon saja. Sementara
langkah-langkah ini mulai diberlakukan, kota-kota satelit yang swasembada
mungkin bisa berkembang, sehingga mengurangi konsumsi energi dan menumbuhkan
suatu masyarakat madani yang lebih aktif.
Singapura juga memimpin dalam
bidang lain: produksi dan distribusi air daur ulang yang bisa berpindah-pindah
tempat. Banyak kota di seluruh dunia mengikuti jejak Singapura ini, yakni
memperluas program penangkapan dan penjernihan air hujan mereka.
Sedangkan eksperimen membuka
kebun vertikal—yang bertujuan menambah pasokan
pangan hasil tanaman dari
rumah-rumah kaca di gedung-gedung pencakar langit—telah menjamur dari Kawasan
Midwest di Amerika sampai Osaka di Jepang. India juga sudah memimpin dalam
mengkonversi biomassa dan limbah pangan menjadi energi.
Sudah tentu, miliaran petani dan
penduduk pedesaan di seluruh dunia itu jangan pula dilupakan. Langkah-langkah
intervensi, seperti program listrik masuk desa, penyediaan bibit tanaman yang
resistan terhadap kekeringan dan teknologi pertanian, serta perluasan asuransi
mikro penting, tidak hanya ditujukan bagi kesejahteraan penduduk pedesaan, tapi
juga untuk katalisasi “Revolusi Hijau” yang baru. Tanpa ini semua, penduduk
perkotaan akan mengalami kelangkaan pangan yang parah.
Dengan munculnya setiap hari
solusi-solusi baru yang inovatif, maka tantangan yang riil terletak pada
penerapan yang sesuai—dan itu membutuhkan kerja sama internasional. Tapi
kota-kota yang “paling pintar” pun bukan merupakan kota-kota paling maju secara
teknologi. Ia merupakan tempat di mana teknologi dan kebijakan publik mendukung
kesejahteraan serta aspirasi warga. Fakta yang krusial ini bakal membimbing
diskusi-diskusi pada konferensi tingkat tinggi tahunan kedua New Cities Foundation pada
Juni ini—dengan tema “Kota yang Manusiawi”—dan harus menjadi pusat prakarsa
urbanisasi yang berkelanjutan.
Menjadikan urbanisasi yang
berkelanjutan itu sebagai prioritas yang strategis mungkin merupakan satu-satunya
jalan untuk mengatasi krisis menurunnya lapangan kerja, pengangguran di
kalangan anak-anak muda, dan ketidaksetaraan pendapatan. Walaupun sebagian
pekerjaan di pabrik bisa dialihdayakan (outsourcing)
atau diotomatiskan, robot tidak bisa melakukan kerja ulang bangunan, memasang
sel PV di atap gedung, atau membuka kebun vertikal. Bahkan upaya di beberapa
kota, seperti Singapura dan Tokyo, ke arah penggunaan kereta api bawah tanah
atau mobil tanpa sopir bakal meminta tenaga kerja yang cukup besar untuk
mengelola sistem-sistem terkait.
Di masa depan, seperti di masa
lalu, kerja yang paling padat karya banyak berupa pembangunan rumah, sarana
produksi, dan, pada gilirannya, komunitas-komunitas itu sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar