Minggu, 23 Juni 2013

Ekspor Asap

Ekspor Asap
Toto Subandriyo ;   Alumnus IPB, Aktivis Lembaga Nalar Terapan (Lentera)
KORAN TEMPO, 22 Juni 2013


Beberapa hari terakhir warga dan pemerintah Singapura dibuat berang dan gusar. Pasalnya, kabut asap yang berasal dari kebakaran hutan di Sumatera telah membuat langit negeri jiran itu gelap-gulita. Menurut situs Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura (NEA), Indeks Standar Polutan pada Rabu (19 Juni) pukul 15.00 waktu setempat telah mencapai level 172. Angka ini jauh melampaui ambang batas 100, yang berarti kondisinya "sangat tidak sehat". Situs tersebut juga menyebutkan bahwa kondisi ini merupakan kondisi terburuk sejak 1997, di mana saat itu angkanya mencapai 226.
Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam serta Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air Singapura Vivian Balakrishnan telah menghubungi koleganya di Indonesia, Marty Natalegawa dan Balthasar Kambuaya, untuk menanyakan masalah asap tersebut. Warga Singapura dan para turis melontarkan kemarahan mereka atas kabut asap yang dikirim Indonesia itu. Pemerintah Singapura juga telah mengingatkan warganya, khususnya anak-anak dan orang-orang berusia lanjut, untuk menghindari kegiatan di luar ruangan. 
Peristiwa buruk dan memalukan ini bukan yang pertama kali, dan ironisnya peristiwa kali ini terjadi hanya beberapa hari setelah peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Pada Oktober 1997, kebakaran hutan hebat pernah melanda Indonesia. Pemerintah kewalahan menanggulangi bencana itu sehingga asap yang ditimbulkan "diekspor" ke negara tetangga, termasuk Thailand. Kemarahan warga Thailand tecermin dari editorial harian Bangkok Post edisi 14 Oktober 1997 berjudul "Cemar yang Diderita Indonesia Tak Akan Hilang Tertiup Angin"
Kejadian memalukan itu terulang dan terulang hampir setiap tahun saat musim kemarau. Pada 2006, sekitar 100 orang aktivis lingkungan Malaysia berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur. Mereka berorasi dan membentangkan spanduk bertulisan "Keep Our Skies Blue! Sign Now!". Mereka mendesak pemerintah Indonesia agar segera meratifikasi "Perjanjian Regional untuk Mengatasi Polusi Asap Lintas Batas". Maklum, kala itu hanya Indonesia yang belum meratifikasi "Perjanjian ASEAN tentang Penanganan Polusi Asap Lintas Batas" yang sudah disepakati tahun 2002.
Hitung-hitungan
Atas nama pembangunan dan atas nama kemiskinan serta kesulitan ekonomi, masyarakat cenderung permisif terhadap tindak perusakan lingkungan. Kebakaran hutan dan belukar yang memicu selimut asap tebal kembali mempermalukan bangsa di kancah internasional. Pembukaan lahan dengan cara pembakaran hanya dilakukan oleh bangsa primitif yang berasal dari suku bangsa nomaden (peladang berpindah). 
Sudah sekian tahun bangsa ini hidup dalam peradaban modern dan telah memiliki perangkat peraturan pengelolaan lingkungan. Jujur kita akui, semua peraturan itu sudah ada. Dimulai dari Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, hingga berbagai dokumen teknis analisis mengenai dampak lingkungan yang mewajibkan semua usaha di bidang kehutanan dan perkebunan untuk mematuhinya. 
Teknologi pembakaran yang ramah lingkungan (prescribe burning) juga telah menjadi persyaratan wajib yang harus dikuasai. Sejatinya, permasalahan utama terletak pada hitung-hitungan ekonomi. Sebuah laporan penelitian menyebutkan, kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran hanya mengeluarkan biaya sepertiga dari biaya tanpa bakar. Karena itu, banyak pengusaha yang nakal menyiapkan lahan dengan cara membakar (Saharjo, 2003).
Penyiapan lahan dengan pembakaran yang sering dilakukan di lahan gambut akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Suhu akibat pembakaran merusak gambut, menghilangkan kapasitas penyimpanan air, menghilangkan kapasitas penyerapan karbon, serta menghilangkan berbagai fungsi ekologis dan ekonomis. Jika tiga unsur bertemu, yaitu bahan organik, api, dan zat asam (oksigen), maka peristiwa kebakaran hutan dan belukar tak terhindarkan lagi.
Dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh peristiwa kebakaran hutan di republik ini tidak boleh dipandang enteng. Daniel Murdiyarso, saat orasi ilmiah pengukuhan sebagai guru besar ilmu atmosfer IPB pada 1999, menyebutkan total emisi gas karbon yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan kita pada 1997/1998 lebih besar jika dibanding dampak kebakaran kilang-kilang minyak Kuwait pada saat Perang Teluk berkecamuk.
Penegakan hukum
Pemerintah Indonesia telah mengambil keputusan sangat berani dengan mematok target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen pada 2020. Tekad pemerintah Indonesia tersebut disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berpidato dalam pertemuan G-20 di Pittsburg, Amerika Serikat, September 2009. Namun ambisi besar tersebut terancam gagal jika berbagai permasalahan yang menghadang tidak segera diselesaikan.
Di lapangan, ambisi tersebut akan berhadapan dengan berbagai permasalahan akut kehutanan dan perkebunan, termasuk di dalamnya praktek kolutif yang mendegradasi hutan dan lingkungan. Termasuk permasalahan tentang tata ruang yang lemah, tidak terpadu, serta tidak berkelanjutan. Di sisi lain, interpretasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tidak sinkron sehingga memicu terjadinya deforestasi.
Permasalahan besar lain yang menghadang adalah masalah penguasaan lahan (tenurial), buruknya tata kelola, koordinasi pemerintah pusat dan daerah yang lemah, serta lemahnya upaya penegakan hukum. Upaya penegakan hukum bagi para pelanggar ketentuan di bidang lingkungan menjadi kata kunci dari semua upaya pemerintah mencegah terjadinya deforestasi. Tindakan permisif terhadap para pelaku perusakan lingkungan merupakan tindakan bunuh diri secara ekologis.

Mau tidak mau, suka tidak suka, bangsa ini harus segera melakukan pembaruan paradigma dalam pengelolaan lingkungan hidup; paradigma yang memandang bahwa dunia ini bukanlah kumpulan obyek-obyek yang terpisah, melainkan merupakan satu kesatuan jaringan yang saling berhubungan dan tergantung satu sama lain secara fundamental. Membiarkan "ekspor asap" ke negara tetangga berulang dan berulang lagi setiap tahun akan merendahkan bangsa di mata dunia, karena hal itu bukan ciri bangsa yang beradab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar