|
KORAN
TEMPO, 22 Juni 2013
Beberapa hari terakhir warga dan pemerintah Singapura
dibuat berang dan gusar. Pasalnya, kabut asap yang berasal dari kebakaran hutan
di Sumatera telah membuat langit negeri jiran itu gelap-gulita. Menurut situs Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura
(NEA), Indeks Standar Polutan pada Rabu (19 Juni) pukul 15.00 waktu setempat
telah mencapai level 172. Angka ini jauh melampaui ambang batas 100, yang
berarti kondisinya "sangat tidak sehat". Situs tersebut juga
menyebutkan bahwa kondisi ini merupakan kondisi terburuk sejak 1997, di mana
saat itu angkanya mencapai 226.
Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam serta Menteri
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air Singapura Vivian Balakrishnan telah
menghubungi koleganya di Indonesia, Marty Natalegawa dan Balthasar Kambuaya,
untuk menanyakan masalah asap tersebut. Warga Singapura dan para turis
melontarkan kemarahan mereka atas kabut asap yang dikirim Indonesia itu.
Pemerintah Singapura juga telah mengingatkan warganya, khususnya anak-anak dan
orang-orang berusia lanjut, untuk menghindari kegiatan di luar ruangan.
Peristiwa buruk dan memalukan ini bukan yang pertama kali,
dan ironisnya peristiwa kali ini terjadi hanya beberapa hari setelah peringatan
Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Pada Oktober 1997, kebakaran hutan hebat pernah
melanda Indonesia. Pemerintah kewalahan menanggulangi bencana itu sehingga asap
yang ditimbulkan "diekspor" ke negara tetangga, termasuk Thailand.
Kemarahan warga Thailand tecermin dari editorial harian Bangkok Post edisi 14
Oktober 1997 berjudul "Cemar yang
Diderita Indonesia Tak Akan Hilang Tertiup Angin".
Kejadian memalukan itu terulang dan terulang hampir setiap
tahun saat musim kemarau. Pada 2006, sekitar 100 orang aktivis lingkungan
Malaysia berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur. Mereka
berorasi dan membentangkan spanduk bertulisan "Keep Our Skies Blue! Sign Now!". Mereka mendesak
pemerintah Indonesia agar segera meratifikasi "Perjanjian Regional untuk Mengatasi Polusi Asap Lintas
Batas". Maklum, kala itu hanya Indonesia yang belum meratifikasi "Perjanjian ASEAN tentang Penanganan
Polusi Asap Lintas Batas" yang sudah disepakati tahun 2002.
Hitung-hitungan
Atas nama pembangunan dan atas nama kemiskinan serta
kesulitan ekonomi, masyarakat cenderung permisif terhadap tindak perusakan
lingkungan. Kebakaran hutan dan belukar yang memicu selimut asap tebal kembali
mempermalukan bangsa di kancah internasional. Pembukaan lahan dengan cara
pembakaran hanya dilakukan oleh bangsa primitif yang berasal dari suku bangsa
nomaden (peladang berpindah).
Sudah sekian tahun bangsa ini hidup dalam peradaban modern
dan telah memiliki perangkat peraturan pengelolaan lingkungan. Jujur kita akui,
semua peraturan itu sudah ada. Dimulai dari Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
2001 tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan, Undang-Undang Lingkungan
Hidup, Undang-Undang Kehutanan, hingga berbagai dokumen teknis analisis
mengenai dampak lingkungan yang mewajibkan semua usaha di bidang kehutanan dan
perkebunan untuk mematuhinya.
Teknologi pembakaran yang ramah lingkungan (prescribe burning) juga telah menjadi
persyaratan wajib yang harus dikuasai. Sejatinya, permasalahan utama terletak
pada hitung-hitungan ekonomi. Sebuah laporan penelitian menyebutkan, kegiatan
penyiapan lahan dengan pembakaran hanya mengeluarkan biaya sepertiga dari biaya
tanpa bakar. Karena itu, banyak pengusaha yang nakal menyiapkan lahan dengan
cara membakar (Saharjo, 2003).
Penyiapan lahan dengan pembakaran yang sering dilakukan di
lahan gambut akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Suhu akibat pembakaran
merusak gambut, menghilangkan kapasitas penyimpanan air, menghilangkan
kapasitas penyerapan karbon, serta menghilangkan berbagai fungsi ekologis dan
ekonomis. Jika tiga unsur bertemu, yaitu bahan organik, api, dan zat asam
(oksigen), maka peristiwa kebakaran hutan dan belukar tak terhindarkan lagi.
Dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh peristiwa
kebakaran hutan di republik ini tidak boleh dipandang enteng. Daniel
Murdiyarso, saat orasi ilmiah pengukuhan sebagai guru besar ilmu atmosfer IPB
pada 1999, menyebutkan total emisi gas karbon yang ditimbulkan oleh kebakaran
hutan kita pada 1997/1998 lebih besar jika dibanding dampak kebakaran
kilang-kilang minyak Kuwait pada saat Perang Teluk berkecamuk.
Penegakan hukum
Pemerintah Indonesia telah mengambil keputusan sangat
berani dengan mematok target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26
persen pada 2020. Tekad pemerintah Indonesia tersebut disampaikan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono saat berpidato dalam pertemuan G-20 di Pittsburg,
Amerika Serikat, September 2009. Namun ambisi besar tersebut terancam gagal
jika berbagai permasalahan yang menghadang tidak segera diselesaikan.
Di lapangan, ambisi tersebut akan berhadapan dengan
berbagai permasalahan akut kehutanan dan perkebunan, termasuk di dalamnya
praktek kolutif yang mendegradasi hutan dan lingkungan. Termasuk permasalahan
tentang tata ruang yang lemah, tidak terpadu, serta tidak berkelanjutan. Di
sisi lain, interpretasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tidak sinkron sehingga
memicu terjadinya deforestasi.
Permasalahan besar lain yang menghadang adalah masalah
penguasaan lahan (tenurial), buruknya tata kelola, koordinasi pemerintah pusat
dan daerah yang lemah, serta lemahnya upaya penegakan hukum. Upaya penegakan
hukum bagi para pelanggar ketentuan di bidang lingkungan menjadi kata kunci
dari semua upaya pemerintah mencegah terjadinya deforestasi. Tindakan permisif
terhadap para pelaku perusakan lingkungan merupakan tindakan bunuh diri secara
ekologis.
Mau tidak mau, suka tidak suka, bangsa ini harus segera
melakukan pembaruan paradigma dalam pengelolaan lingkungan hidup; paradigma
yang memandang bahwa dunia ini bukanlah kumpulan obyek-obyek yang terpisah,
melainkan merupakan satu kesatuan jaringan yang saling berhubungan dan
tergantung satu sama lain secara fundamental. Membiarkan "ekspor
asap" ke negara tetangga berulang dan berulang lagi setiap tahun akan
merendahkan bangsa di mata dunia, karena hal itu bukan ciri bangsa yang
beradab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar