Senin, 03 Juni 2013

Dicari, Hakim Pelopor


Dicari, Hakim Pelopor
Achmad Fauzi ;  Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalsel;
Penulis buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro
JAWA POS, 03 Juni 2013


PEMBERI dan penerima suap diganjar neraka jahanam. Pesan kenabian ini hadir di tengah sengkarut penegakan hukum seperti sebuah kutuk. Kutukan atas berbagai rentetan peristiwa penangkapan hakim terkait suap. Padahal, seruan moral menuju peradilan yang bersih jamak terpampang di dinding pengadilan. Tapi, pesan itu, rupanya, jarang dipajang di dinding hati hakim. 

Baru-baru ini Indonesia Legal Roundtable (ILR) merilis hasil survei tentang indeks persepsi negara hukum di Indonesia 2012. Meski era reformasi telah berjalan 15 tahun, beberapa komponen integritas, profesionalisme aparatur hukum justru paradoks dengan visi suci reformasi. Negara hukum Indonesia juga dinilai mengalami defisit rasa keadilan. 

Dari 1.220 responden yang ditanyai tentang seberapa bersih para hakim dari praktik suap, hampir semua responden menyatakan para hakim tidak bersih dari suap. Sebelas persen responden menyatakan sangat tidak setuju hakim bersih dari suap, 49 persen menjawab tidak setuju para hakim bersih dari suap, 21 persen responden setuju hakim bersih dari praktik suap, serta 17 persen responden lainnya tidak menjawab atau tidak tahu. 

Sayangnya, materi uji kepada responden tidak menyentuh pada persoalan siapakah yang lebih aktif dalam praktik suap tersebut. Apakah semata-mata inisiatif penyuap atau ada tindakan aktif dari hakim. Pemetaan tersebut penting untuk membaca gejala perilaku yang sesungguhnya terjadi dalam lingkup struktur maupun budaya hukum. 

Terlepas dari validitas survei, persentase margin error, metode, dan kesimpulan yang ditariknya, penelitian ILR telah memberikan gambaran dan analisis tentang persepsi masyarakat terhadap hakim. Karena itu, ikhtiar perombakan fundamental terhadap struktur, substansi, dan budaya hukum kini menjadi "rukun iman" bernegara yang mutlak dibenahi. 

Deposit dan Suap Tertunda 

Sebagai bentuk kejahatan berjubah, tipologi suap memang telah mengalami evolusi. Dahulu suap dikenal sebagai praktik busuk yang dilakukan ketika perkara sedang diadili dengan maksud memengaruhi idealisme hakim. Namun, kini suap bisa dilakukan jauh hari sebelum pemberi suap berurusan dengan pengadilan. Istilah ini dikenal dengan modus deposit suap. 

Begundal suap semakin lihai karena berjejaring. Kelompok itu bekerja mengalkulasi dan menyelidiki kehidupan sehari-hari hakim sehingga sangat paham kebiasaan, hobi, kondisi keluarga, dan kebutuhan hakim. Kemilau harta, takhta, wanita (bagi hakim lelaki) adalah umpan maut. Peristiwa tertangkapnya hakim ST yang menerima suap terkait perkara yang diadili juga tak bisa dilepaskan dari isu gratifikasi cinta satu malam alias layanan seks. 

Mahfud M.D. mengatakan, banyak sekali keputusan pejabat yang dikendalikan oleh wanita-wanita nakal. Tak heran jika pejabat itu kadang ragu-ragu atau batal mengambil keputusan lantaran mendapat ancaman dari wanita penyimpan aibnya. Karena itu, hakim harus membangun perisai untuk tidak meminta/ menerima dan harus mencegah suami/istri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta/menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan maupun fasilitas lain dari pihak yang memiliki kepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili. 

Suap juga terjadi ketika perkara telah diputus oleh hakim. Meski berkedok ucapan terima kasih, pemberian ini masih termasuk kategori suap tertunda. Logikanya, orang tidak akan memberikan sesuatu kepada hakim jika tidak berurusan dengan pengadilan. Budaya memberikan amplop sebagai ucapan terima kasih kepada hakim tidak perlu dilestarikan. Hakim bekerja dan telah digaji oleh negara sesuai dengan beban dan tanggung jawabnya. 

Memang tidak mudah mengawasi 9.000-an hakim di seluruh Indonesia. Komisi Yudisial (KY) juga mengaku kewalahan mengawasi kinerja hakim lantaran jumlah sumber daya manusia yang dimiliki tidak sebanding dengan jumlah hakim yang diawasi serta volume pengaduan yang diterima (Jawa Pos, 31/5). Hakim juga manusia biasa yang memerlukan pembinaan mental secara berkelanjutan. 

Metode indoktrinasi butir-butir kode etik perlu dikembangkan melalui pendidikan keteladanan. Ketua MA beberapa waktu lalu menyampaikan pentingnya menguatkan konsolidasi moral kepada seluruh jajaran lembaga peradilan. Memang, jangan sampai gara-gara nila beberapa titik rusak susu sebelanga. Kerja menjaga moral bisa dilakukan dengan menunjuk role model berjiwa pelopor pada setiap satuan kerja pengadilan. Hakim pelopor itu didelegasikan sebagai pengingat dalam kebaikan manakala ada koleganya yang berbuat khilaf. 

Dalam tradisi psikologi kognitif, khususnya tradisi behaviorisme, mengamalkan ajaran untuk perubahan tingkah laku harus memiliki unsur pendorong atau stimulus. Pola-pola perilaku dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan dengan mengondisikan stimulus dengan lingkungan (Syamsuddin, 1996). Di sinilah arti penting sebuah keteladanan dari seorang hakim pelopor dalam memberikan dorogan, isyarat, respons, dan perkuatan ke arah tingkah laku hakim yang lebih baik dan luhur. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar