|
SUARA MERDEKA, 05 Juni 2013
Tanpa bermaksud mengurangi arti penting bulan lain, bulan
Juni mendapatkan perhatian khusus dari banyak orang. Bahkan ada yang menyebut
’’Bulan Bung Karno’’. Kenapa? Setidak-tidaknya ada tiga peristiwa penting yang
mengaitkan Bapak Bangsa tersebut dengan bulan itu.
Soekarno lahir pada waktu fajar, 1 Juni 1901 sehingga ada
yang menyebutnya Putra Sang Fajar. Dia memperkenalkan Pancasila pada 1 Juni
1945 ketika dalam sidang BPUPKI melalui pidato tanpa teks menjawab ketua badan
itu, Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, ’’Indonesia merdeka yang akan kita bangun
nanti, dasarnya apa?’’ Tanggal 1 Juni itulah yang kini dikenal sebagai
hari lahir Pancasila, dan Bung Karno sebagai penggali.
Rumusan Pancasila 1 Juni 1945 berbeda dari Pancasila 18
Agustus 1945 yang kita kenal sekarang ini. Tetapi gamblang bahwa pidato Bung Karno
pada 1 Juni 1945 mengilhami rumusan Pancasila 18 Agustus.
Terkait Pancasila, Bung Karno mengingatkan bahwa dirinya
bukan pencipta karena menurutnya hanya ada satu Sang Pencipta, yaitu Allah swt.
Bung Karno sekadar menggali mengingat mutiara-mutiara Pancasila sudah ada di
bumi Indonesia sejak ratusan tahun lalu.
Kaitan Bung Karno dengan Juni yang lain adalah tanggal
wafatnya. Ia presiden pertama, proklamator, pahlawan nasional, Bapak
Marhaenisme, dan Penyambung Lidah Rakyat yang menghadap Sang Khalik pada 21
Juni 1970.
Maka tak mengherankan bila pada Juni ini banyak kegiatan
dilakukan lembaga, parpol, ormas, atau kelompok masyarakat dengan beragam
sebutan. Ada yang menyebut renungan, refleksi, diskusi, sarasehan, dan
sebagainya.
Malam menjelang 1 Juni lalu misalnya, ada renungan atau
sarasehan menyambut peringatan hari lahir Pancasila, seperti dilakukan Keluarga
Besar Marhaenis (KBM) dan organisasi seasas di berbagai kota di Jateng.
PDI Perjuangan, baik di pusat maupun di daerah, pada 1 Juni
lalu menyelenggarakan upacara bendera memperingati hari lahir Pancasila.
Lembaga sepenting MPR tak mau ketinggalan, bekerja sama dengan UGM pada
31 Mei-1 Juni lalu menyelenggarakan kongres Pancasila.
Menjadi Teladan
Sejumlah rekomendasi dikeluarkan oleh kongres Pancasila
tahun 2009 yang diselenggarakan UGM dan Mahkamah Konstitusi. Antara lain,
perlunya peninjauan seluruh produk perundang-undangan yang tak sesuai dengan
Pancasila dan nasionalisme Indonesia, melalui judicial review.
Juga perlu ada syarat tambahan dalam perekrutan pejabat
negara/pejabat publik, yaitu harus Pancasilais. Selain itu, pendidikan
Pancasila dilakukan secara sadar dan terencana pada semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan. Direkomendasikan pula 1 Juni sebagai hari besar
nasional dan diperingati secara nasional.
Kegiatan seperti renungan, sarasehan, diskusi, dan
sebagainya diharapkan dalam kerangka peningkatan pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan Pancasila. Orang yakin akan kebenaran dan pentingnya Pancasila, baik
sebagai dasar negara, ideologi negara, kepribadian bangsa, maupun cara hidup.
Bung Karno pernah mengingatkan jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah (jas merah).
Selengkapnya, ’’Jangan meninggalkan
sejarahmu yang sudah, hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan sejarahmu
yang sudah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau berdiri di atas
kekosongan, dan engkau lantas menjadi bingung, dan perjuanganmu paling-paling
hanya akan berupa amuk, amuk belaka! Amuk, seperti kera kejepit di dalam
gelap’’.
Generasi sekarang, tentu tak ingin bernasib seperti kera
terjepit dalam gelap. Untuk itu banyak yang bisa dilakukan, termasuk sekadar
mengajak semua elemen bangsa, terutama pemimpin untuk benar-benar merawat
dan menjaga Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Siapa pun yang merasa jadi pemimpin jangan melukai hati
rakyat, jangan korup, tidak menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan, menjadilah
teladan untuk semua bentuk kebaikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar