Minggu, 16 Juni 2013

Beristirahatlah, Kak TK

Beristirahatlah, Kak TK
Moh Mahfud MD ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 15 Juni 2013



Saya berada di tengah ribuan pelayat yang melepas suami Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri dan Ketua MPR, HM Taufik Kiemas, saat almarhum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata pada 9 Juni 2013. 

Saya sedih dan terharu mendengar obituari tentang beliau, tetapi kesedihan itu belum menghunjam saat saya masih bersama ribuan pelayat di TMP Kalibata dan saat mengikuti riuhnya pemberitaan tentang kebaikan tokoh yang saya panggil Kak TK itu. Namun sepulang dari upacara pemakaman dan saya berada sendirian di dalam kamar sebelum sempat menyetel televisi tiba-tiba dada saya bergolak. Saya sungguh merasa kehilangan, merasa kangen luar biasa pada Kak TK. 

Saya meneteskan air mata sambil sesenggukan. Saya pun menulis di akun Twitter saya, “Kak TK, baru saja engkau pergi, tapi saya sudah merasa kangen padamu, Kak. Bilanglah pada malaikat bahwa di Indonesia engkau mempunyai banyak kawan yang menyayangimu”. Teringatlah saya pada pertemuan terakhir saya dengan KakTK. Waktu itu tanggal13 Mei 2013, sekitar jam 8.30 WIB, Kak TK mengabarkan akan hadir dalam ulang tahun saya yang ke- 56. Prof Saldi Isra bersama Prof Edy Suandi Hamid menginisiasi acara hari ulang tahun saya dengan meluncurkan buku berjudul Sahabat Bicara Mahfud MD. Waduh, Kak TK mau datang? 

“Ini acara pribadi, saya tidak menyiapkan protokoler untuk pejabat setingkat Kak TK. Biar saya saja yang menemui Kak TK kalau ada perlu,” jawab saya. Tetapi, Kak TK tetap mau datang karena, katanya, “Ini ulang tahun Dik Mahfud. Saya mau mengucapkan selamat.” Sungguh tak disangka hari itulah pertemuan saya yang terakhir dengan Kak TK yang sangat bersahabat dan tak pernah marah itu. Bagi saya, Kak TK adalah tokoh penggila nasionalisme. 

Sepertinya dia mempersembahkan sebagian besar hidupnya untuk bangsa dan negara Indonesia. Dia meyakini bangsa Indonesia hanya akan maju kalau rakyatnya kompak bersatu meski tetap dalam perbedaan. Tanpa repot-repot mencari dasar pembenaran akademik, Kak TK melontarkan ide dan terus bergerak tanpa kenal lelah melakukan sosialisasi “Empat Pilar” kehidupan berbangsa. Bagi Kak TK, kita boleh, dan niscaya, berbeda-beda dalam pilihan keyakinan dan politik, tetapi tetap harus dalam kerangka NKRI. Ada pedoman dan koridornya yaitu Empat Pilar yang terdiri atas Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. 

Kehebatan gagasan dan langkah Kak TK ini bukan pada kerangka ilmiahnya, melainkan pada substansinya yang secara mendasar dibutuhkan oleh bangsa Indonesia saat ini. Seperti diketahui, sejak Reformasi semboyan-semboyan dan teriakan tentang Pancasila menjadi melemah atau mengendur, bahkan di kalangan pejabat-pejabat sekali pun. Ada semacam fobia, malu, atau takut disebut tidak reformis kalau menyebut Pancasila. 

Nah, setelah hal itu berlangsung selama sekitar satu dekade, Kak TK muncul dengan teriakannya tentang Empat Pilar yang melambungkan pentingnya membangun kesetiaan kembali kepada Pancasila. Banyak yang mengkritik karena Pancasila disejajarkan sebagai pilar dengan tiga pilar lainnya. Tetapi, semua kritik itu justru mempertegas tentang pentingnya Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Kak TK jugalah yang menggagas pertemuan silaturahmi antarketua lembaga negara secara rutin tanpa tendensi saling mengintervensi. 

“Rakyat itu senang kalau para pimpinannya rukun,” katanya. Kak TK juga menjadi jangkar penghubung dan penguat berbagai aliran politik. Dia dekati dan rangkul semua kalangan sehingga dengan TK sebagai jangkarnya semua bisa berkomunikasi dengan cair. Saya kenal pertama kali dengan Kak TK pada 2000 saat saya diangkat menjadi menteri pertahanan oleh Presiden Gus Dur. Di luar muncul isu bahwa Wapres Megawati tidak setuju atas pengangkatan saya sebagai menteri pertahanan dan Prijadi sebagai menteri keuangan. 

Konon, saat Gus Dur mengusulkan nama saya dan Prijadi untuk menjadi menteri, Mbak Mega mempertanyakan, “Siapa mereka? Saya tidak kenal.” Waktu itu saya sempat galau dan, terus terang, pernah ada pikiran untuk mundur agar pemerintahan solid. Melihat gelagat itu, Kak TK mengajak untuk meyakinkan saya bahwa Mbak Mega bukan tak setuju, melainkan karena benar-benar tidak kenal. Saya pun diajak bertemu Mbak Mega. Mbak Mega pun mengatakan kepada saya. 

“Saya bukan tak setuju, melainkan saya memang belum kenal Pak Mahfud dan Pak Prijadi. Saya juga bertanya kepada Mas Dur, apakah Mas Dur kenal betul dengan dua orang ini. Kalau belum kenal betul, nanti belum lama bisa bisa diganti lagi,” kata Mbak Mega saat itu. Maka mantaplah saya bekerja sebagai menhan. Beberapa hari setelah itu, Kak TK menelepon saya dan mengatakan akan mengirim penjahit ke rumah. 

Ternyata penjahit itu kemudian menjahitkan saya tujuh pasang jas mewah lengkap dengan kemeja dan dasinya. “Dipakai ya, Dik. Biar menhan saya lebih gagah,” katanya setelah jas-jas itu dikirim. Itulah sisi humanis Kak TK yang pasti dirasakan oleh begitu banyak orang. Beristirahatlah dengan tenang Kak TK. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar