Minggu, 16 Juni 2013

Mengubah “Takdir” Jerat BBM

Mengubah “Takdir” Jerat BBM
Said Aqil Siradj ;   Ketua PB NU
JAWA POS, 15 Juni 2013



HARGA bahan bakar minyak (BBM) sudah dipastikan akan naik. Pemerintah akhirnya "maju tak gentar" untuk memilih opsi menaikkan harga BBM. Memang dilematis. Dalil pemerintah, menaikkan harga BBM berarti mengurangi beban subsidi yang saat ini sudah sangat membebani APBN. Maksudnya kira-kira APBN sudah di ambang maut bila subsidi BBM tidak dikurangi. Lagi pula, Indonesia sendiri sudah masuk sebagai negara net importer dalam soal minyak. 

Jelas sudah, misteri akan naiknya harga BBM terkuak, bukan lagi "rumor" atau sekadar "isu pengalihan". Kendati, masih ada tarik ulur di berbagai kalangan yang menolak kenaikan harga BBM. Mahasiswa sudah bergerak lewat demo yang panas. Ada parpol yang berbulat tekad menolak kebijakan menaikkan harga BBM yang berarti berisiko "pecah kongsi" dengan koalisi. Survei sebuah lembaga penelitian tidak ketinggalan menyebut sebagian besar masyarakat menolak kenaikan harga BBM.

Itu memang "lagu lama", kenaikan harga BBM selalu meluapkan reaksi. Kendati, kini pemerintah sudah menyiapkan kompensasinya melalui bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Lagi-lagi kompensasi seperti itu tidak rentan dari inefisiensi. Artinya, penyalurannya yang tidak tepat sasaran dan juga yang dikhawatirkan bisa menjadi "alat" kepentingan politik. Kalau boleh diibaratkan, kompensasi dalam wujud BLSM tersebut bisa sekadar obat masuk angin. 

Apa pun ada kompensasinya. Kita perlu menatapi bahwa kondisi perekonomian secara "riil" yang dirasakan masyarakat belumlah nyaman nan merata. Betapa pemerintah terus dengan pede-nya menunjukkan "prestasi" dalam pertumbuhan ekonomi yang dikabarkan baik dan meningkat melalui penyampaian data-data angkawi yang nyaris memesona. Namun, apalah artinya "angka" bagi masyarakat luas. Sebab, bagi mereka, yang penting adalah "fakta" kenaikan harga BBM selalu menghadirkan multiplier effect. Harga-harga komoditas lain, terutama sembako, tidak mau mengalah untuk ikut-ikutan naik. 

Hiruk pikuk kehidupan masyarakat yang kita lihat setiap hari, terutama yang terpampang di kota-kota besar, setidaknya mampu memberikan wawasan dan kesadaran bagi kita, ternyata masih banyak masyarakat yang hidup dalam duka lara. Mencari nafkah dilalui dengan berbagai cara, yang sering membuat kita miris melihatnya, termasuk dengan kriminalitas. Agaknya, kita berani bertaruh, kenaikan harga BBM bisa menaikkan statistik kejahatan yang semakin ngawur. 

Boleh juga, bila kita sangkutkan dengan fakta suburnya radikalisme beragama dan terorisme yang kerap dipandang tidak terlepas dari akibat keterimpitan ekonomi. Pengangguran di kalangan anak-anak muda masih menunjukkan keprihatinan. Dari depresi, lalu frustrasi, dan kemudian masuk ke jamaah-jamaah keagamaan yang eksklusif. Nah, di lingkungan seperti itulah menancap doktrin pemikiran radikal sehingga memudahkan untuk "kalap". Akibatnya, susah menekan lonjakan radikalisme. 

Semua itu merupakan bagian dari cara bijak dengan perlu terus memahami berbagai dimensi kemasyarakatan dan sebuah kebijakan demi menggapai hikmah. Dengan begitu, kita tidak mudah terjebak pada kepicikan, mengunci diri, dan sikap keras (tatharruf) dalam tindakan apa pun, termasuk dalam menyikapi kenaikan harga BBM. 

Di sisi lain, manakala terjadi kenaikan harga BBM, selalu menggelindingkan pertanyaan mengapa negeri yang terkenal kaya akan sumber energi ini mengalami masalah yang terus berulang terkait dengan penyediaan energi? Cobalah tengok, hampir tiap tahun anggaran bangsa ini tidak henti-hentinya meributkan subsidi BBM, atau mengenai isu suplai batu bara dan gas bumi yang tidak pernah cukup untuk pasar domestik. Nyatanya, Indonesia tidak cukup kaya jika harus menggunakan semua sumber daya bahan bakar fosilnya itu untuk kehidupan sehari-hari.

Negeri kita ini sebenarnya sudah banyak menghasilkan ilmuwan, termasuk pakar energi yang kampiun. Sarjana-sarjana perminyakan setiap tahun dilahirkan dari rahim kampus-kampus bonafide. Memang cukup disayangkan bila para pakar dan sarjana energi tersebut lebih banyak menjadi "pengusaha minyak" yang hasilnya lebih individual. Dengan "logika pengusaha", mereka akan mudah silau dengan semata berburu "emas hitam" tersebut dan abai kepada upaya kreatif untuk menyajikan terobosan yang lebih bermanfaat bagi bangsa ini. 

Belum lagi, ditengarai banyak ilmuwan Indonesia yang masih terserak di berbagai negara lain. Mereka harus pulang atau dipulangkan ke tanah kelahiran mereka. Kalau mereka dikumpulkan untuk membulatkan tekad dan langkah demi membangun negeri in, betapa dahsyatnya kekuatan negeri ini.

Dengan "cadangan" ilmuwan dan pakar energi tersebut, rasanya Indonesia tidak akan gampang "tiarap" dalam penyediaan minyak. Dan juga, kita tidak lagi hanya menjadi "kuda-kudaan" yang hanya menerima "takdir" kenaikan harga minyak. Kita juga tidak lagi hanya pintar berdemo dengan mengerahkan massa yang begitu akbar. Rakyat sudah merasakan kepahitan hidup, janganlah mereka "diangkut" untuk diajak berpanas-panasan di jalan-jalan sehingga seharian mereka kehilangan nafkah.

Bukankah energi terbarukan kini kian menjadi isu seksi? Indonesia bukannya tanpa pilihan. Ada banyak sumber energi potensial di negeri kita dan bisa dimanfaatkan. Seperti biofuel, tenaga panas bumi, tenaga matahari, tenaga angin, tenaga air, serta tenaga arus laut. Misalnya, biofuel dapat menjadi solusi masalah subsidi BBM. Pemerintah sendiri sebenarnya sudah sangat menyadari untuk ikut tren itu. Namun, sayangnya, pemerintah masih belum sepenuhnya berfokus dalam melangkahkan kaki mengembangkan energi terbarukan. 

Walhasil, ke depan jika pemerintah berniat lepas dari jeratan bahan bakar fosil, sekali lagi, harus serius mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan. Kita percaya bahwa hadirnya inovasi dan teknologi baru akan berkorelasi dengan naiknya tingkat kemakmuran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar