|
KORAN
SINDO, 22 Juni 2013
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2012
mencatat penduduk miskin 28,59 juta (11,66%) yang meliputi penduduk kota 10,51
juta (8,60%) dan penduduk desa 18,09 juta orang (14,70%).
Angka 28,59 juta (11,66%) itu hanya menipis dari 29,13 juta orang (11,96%) per Maret 2012. Jumlah itu akan bertambah ketika harga bahan bakar minyak (BBM) naik. Wah, bagaimana memangkasnya? Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bilang kenaikan harga BBM akan menurunkan daya beli masyarakat. Masyarakat yang selama ini berada satu tingkat di atas garis kemiskinan bakal turun ke kelompok miskin (harian Kontan, 23 Mei 2013).
Untuk memberi kompensasi, pemerintah akan bagi-bagi duit berjuluk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) Rp13 triliun kepada masyarakat per bulan Rp150.000 per orang selama empat bulan. Apakah hal itu mampu memangkas tingkat kemiskinan? Sebentar saja. Namun setelah itu, BLSM bagai balsam saja yang dioleskan pada orang sakit. Artinya, sakitnya tidak hilang alias tingkat kemiskinan belum surut.
Keuangan Mikro
Lantas, bagaimana kiat memangkas kemiskinan? Pertama, bank nasional lebih fokus ke UMKM. Statistik Perbankan Indonesia yang terbit 17 Juni 2013 menunjukkan kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) naik 16,03% dari Rp468 triliun per April 2012 menjadi Rp543 triliun per April 2013. Jumlah itu ”hanya” 20,08% dari total kredit Rp2.704 triliun. Dengan bahasa lebih bening, jumlah itu belum memadai untuk mengembangkan UMKM.
Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) kemudian meluncurkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 pada 21 Desember 2012. Aturan itu mewajibkan bank nasional untuk mengucurkan kredit UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan investasi) secara bertahap mulai 2013 sampai 2018. UMKM sudah teruji tahan banting ketika Indonesia terlindas krisis ekonomi 1997/1998.
Tatkala UMKM makin berkembang, segmen ini makin sanggup menyerap tenaga kerja lebih banyak sekaligus menciptakan kesempatan kerja baru. Selain bank komersial, terdapat bank perkreditan rakyat (BPR) yang sejak awal dirancang untuk menangani perbankan mikro (micro-banking). Hingga April 2013, kredit BPR mencapai Rp53,75 triliun yang meliputi kredit konsumsi Rp25,85 triliun (48,09%), kredit modal kerja Rp24,70 triliun (45,95%), dan kredit investasi Rp3,20 triliun (5,96%).
Menurut UU No 20 Tahun 2008 tentang UMKM, usaha mikro adalah usaha produktif milik orang-perseorangan dan/ atau badan usaha perseorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta. Agar lebih fokus pada pemberdayaan usaha perseorangan, usaha mikro sepatutnya dipisahkan dari usaha kecil dan menengah.
Karena dalam prakteknya, keu a n g a n mikro hanya memberikan kredit hingga Rp2 juta. Jumlah kredit itu kecil, terutama untuk modal usaha, tetapi sarat manfaat dalam mengangkat kemampuan finansial masyarakat bawah. Kedua, menggalakkan keuangan mikro. Pemerintah telah meluncurkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2013 Tanggal 8 Januari 2013 tentang LembagaKeuanganMikro. UUitu mulai berlaku setelah dua tahun terhitungsejaktanggaldiundangkan, yakni 8 Januari 2015.
Penerbitan UU itu dengan menimbang bahwa masih terdapat kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan layanan jasa keuangan mikro yang memfasilitasi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Lembaga keuangan mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat.
Bentuknya bisa melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. LKM bertujuan meningkatkan akses pendanaan skala mikro, membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat serta pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Apakah LKM harus berbadan hukum? Ya, berupa koperasi dan perseroan terbatas (PT). Saat UU itu mulai berlaku 8 Januari 2015, bank desa, lumbung desa, bank pasar, bank pegawai, badan kredit desa (BKD), badan kredit kecamatan (BKK), kredit usaha rakyat kecil (KURK), lembaga perkreditan kecamatan (LPK), bank karya produksi desa (BKPD), badan usaha kredit pedesaan (BUKP), baitul maal wat-tamwil (BMT), baitut-tamwil Muhammadiyah (BTM) dan/atau lembaga-lembaga lain yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai satu tahun sejak UU itu berlaku (8 Januari 2016).
Ketiga, lebih memprioritaskan keuangan mikro, bukan lembaganya. Sejatinya, UU Nomor 1 Tahun 2013 itu sudah dirintis dengan draf RUU tentang Keuangan Mikro pada 14 September 2001. Pada awalnya, RUU menitikberatkan pada keuangan mikro, tetapi kemudian berubah pada lembaganya. Perubahan ini tampak pada draf RUU pada 5 Desember 2006 dan 4 Oktober 2010 yang mengerucut menjadi UU No 1 Tahun 2013. Padahal sesungguhnya akan jauh lebih mendesak dan penting untuk mengembangkan keuangan mikro daripada lembaganya.
Sebagai perbandingan, tengok saja Global Microcredit Summit di Washington, AS (1997), yang menyepakati empat kriteria keuangan mikro, yaitu menjangkau yang miskin, menjangkau dan memberdayakan perempuan, membangun kelembagaan yang berkelanjutan secara finansial, dan dampak kegiatannya terukur. Olehkarenaitu, setiapnegara harus menggunakan empat kriteria itu sebagai pedoman. Apakah Indonesia sudah menggunakan kriteria tersebut? Harus diakui selama ini pengembangan keuangan mikro belum maksimal.
Aneka Pertimbangan
Untuk mengembangkan keuangan mikro, UU tersebut patut disambut baik. Tapi sesungguhnya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk direvisi agar lebih mempertajam pemangkasan kemiskinan. Pertama, bentuk badan hukum LKM. UU LKM menyebutkan bahwa bentuk badan hukum LKM itu adalah koperasi dan PT. Padahal masih ada bentuk badan hukum bank yang mempunyai unit khusus untuk melayanikreditdanpembiayaan mikro.
Sebut saja Bank BRI, BPR, Bank Danamon melalui Danamon Simpan Pinjam, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), dan Bank Saudara. Kedua, over-killed. Satu hal yang wajib dicermati adalah jangan sampai terjadi nasabah diberi kredit atau pembiayaan melebihi kekuatan keuangannya hanya untuk mengejar target. Hal ini hanya akan menimbulkan ”bunuh diri” (over-killed) secara harfiah atau mati suri secara finansial seperti di Bangladesh tempat Muhammad Yunus membangun Grameen Bank.
Pada pidatonya ketika menerima hadiah Nobel pada 10 Desember 2006, Muhammad Yunus menyatakan kemiskinan merupakan ancaman bagi perdamaian. Distribusi pendapatan dunia bisa memberi gambaran yang amat jelas. Sebanyak 94% pendapatan dunia dinikmati oleh 40% penduduk dunia, sementara60% pendudukdunia sisanya hidup hanya dengan 6% pendapatan dunia. Separuh penduduk dunia hidup hanya dengan USD2 sehari.
Lebih dari 1 miliar orang hidup dengan kurang dari USD1 sehari. Ini bukanlah rumus untuk perdamaian (Membangun Indonesia dari Desa melalui Keuangan Mikro, Gema PKM Indonesia, editor Bambang Ismawan, 2002). Ingat, sebagian dari 1 miliar lebih orang yang hidup dengan kurang dari USD1 atau setara Rp10.000 sehari itu berada di Indonesia.
Untuk itu, pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dituntut untuk lebih mengembangkan keuangan mikro sebagai garda depan dalam memangkas kemiskinan. Kok bisa? Karena peningkatan kemampuan finansial masyarakat bawah otomatis akan mengurangi jumlah penduduk miskin. ●
Angka 28,59 juta (11,66%) itu hanya menipis dari 29,13 juta orang (11,96%) per Maret 2012. Jumlah itu akan bertambah ketika harga bahan bakar minyak (BBM) naik. Wah, bagaimana memangkasnya? Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bilang kenaikan harga BBM akan menurunkan daya beli masyarakat. Masyarakat yang selama ini berada satu tingkat di atas garis kemiskinan bakal turun ke kelompok miskin (harian Kontan, 23 Mei 2013).
Untuk memberi kompensasi, pemerintah akan bagi-bagi duit berjuluk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) Rp13 triliun kepada masyarakat per bulan Rp150.000 per orang selama empat bulan. Apakah hal itu mampu memangkas tingkat kemiskinan? Sebentar saja. Namun setelah itu, BLSM bagai balsam saja yang dioleskan pada orang sakit. Artinya, sakitnya tidak hilang alias tingkat kemiskinan belum surut.
Keuangan Mikro
Lantas, bagaimana kiat memangkas kemiskinan? Pertama, bank nasional lebih fokus ke UMKM. Statistik Perbankan Indonesia yang terbit 17 Juni 2013 menunjukkan kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) naik 16,03% dari Rp468 triliun per April 2012 menjadi Rp543 triliun per April 2013. Jumlah itu ”hanya” 20,08% dari total kredit Rp2.704 triliun. Dengan bahasa lebih bening, jumlah itu belum memadai untuk mengembangkan UMKM.
Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) kemudian meluncurkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 pada 21 Desember 2012. Aturan itu mewajibkan bank nasional untuk mengucurkan kredit UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan investasi) secara bertahap mulai 2013 sampai 2018. UMKM sudah teruji tahan banting ketika Indonesia terlindas krisis ekonomi 1997/1998.
Tatkala UMKM makin berkembang, segmen ini makin sanggup menyerap tenaga kerja lebih banyak sekaligus menciptakan kesempatan kerja baru. Selain bank komersial, terdapat bank perkreditan rakyat (BPR) yang sejak awal dirancang untuk menangani perbankan mikro (micro-banking). Hingga April 2013, kredit BPR mencapai Rp53,75 triliun yang meliputi kredit konsumsi Rp25,85 triliun (48,09%), kredit modal kerja Rp24,70 triliun (45,95%), dan kredit investasi Rp3,20 triliun (5,96%).
Menurut UU No 20 Tahun 2008 tentang UMKM, usaha mikro adalah usaha produktif milik orang-perseorangan dan/ atau badan usaha perseorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta. Agar lebih fokus pada pemberdayaan usaha perseorangan, usaha mikro sepatutnya dipisahkan dari usaha kecil dan menengah.
Karena dalam prakteknya, keu a n g a n mikro hanya memberikan kredit hingga Rp2 juta. Jumlah kredit itu kecil, terutama untuk modal usaha, tetapi sarat manfaat dalam mengangkat kemampuan finansial masyarakat bawah. Kedua, menggalakkan keuangan mikro. Pemerintah telah meluncurkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2013 Tanggal 8 Januari 2013 tentang LembagaKeuanganMikro. UUitu mulai berlaku setelah dua tahun terhitungsejaktanggaldiundangkan, yakni 8 Januari 2015.
Penerbitan UU itu dengan menimbang bahwa masih terdapat kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan layanan jasa keuangan mikro yang memfasilitasi masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah yang bertujuan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Lembaga keuangan mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat.
Bentuknya bisa melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. LKM bertujuan meningkatkan akses pendanaan skala mikro, membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat serta pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Apakah LKM harus berbadan hukum? Ya, berupa koperasi dan perseroan terbatas (PT). Saat UU itu mulai berlaku 8 Januari 2015, bank desa, lumbung desa, bank pasar, bank pegawai, badan kredit desa (BKD), badan kredit kecamatan (BKK), kredit usaha rakyat kecil (KURK), lembaga perkreditan kecamatan (LPK), bank karya produksi desa (BKPD), badan usaha kredit pedesaan (BUKP), baitul maal wat-tamwil (BMT), baitut-tamwil Muhammadiyah (BTM) dan/atau lembaga-lembaga lain yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai satu tahun sejak UU itu berlaku (8 Januari 2016).
Ketiga, lebih memprioritaskan keuangan mikro, bukan lembaganya. Sejatinya, UU Nomor 1 Tahun 2013 itu sudah dirintis dengan draf RUU tentang Keuangan Mikro pada 14 September 2001. Pada awalnya, RUU menitikberatkan pada keuangan mikro, tetapi kemudian berubah pada lembaganya. Perubahan ini tampak pada draf RUU pada 5 Desember 2006 dan 4 Oktober 2010 yang mengerucut menjadi UU No 1 Tahun 2013. Padahal sesungguhnya akan jauh lebih mendesak dan penting untuk mengembangkan keuangan mikro daripada lembaganya.
Sebagai perbandingan, tengok saja Global Microcredit Summit di Washington, AS (1997), yang menyepakati empat kriteria keuangan mikro, yaitu menjangkau yang miskin, menjangkau dan memberdayakan perempuan, membangun kelembagaan yang berkelanjutan secara finansial, dan dampak kegiatannya terukur. Olehkarenaitu, setiapnegara harus menggunakan empat kriteria itu sebagai pedoman. Apakah Indonesia sudah menggunakan kriteria tersebut? Harus diakui selama ini pengembangan keuangan mikro belum maksimal.
Aneka Pertimbangan
Untuk mengembangkan keuangan mikro, UU tersebut patut disambut baik. Tapi sesungguhnya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk direvisi agar lebih mempertajam pemangkasan kemiskinan. Pertama, bentuk badan hukum LKM. UU LKM menyebutkan bahwa bentuk badan hukum LKM itu adalah koperasi dan PT. Padahal masih ada bentuk badan hukum bank yang mempunyai unit khusus untuk melayanikreditdanpembiayaan mikro.
Sebut saja Bank BRI, BPR, Bank Danamon melalui Danamon Simpan Pinjam, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), dan Bank Saudara. Kedua, over-killed. Satu hal yang wajib dicermati adalah jangan sampai terjadi nasabah diberi kredit atau pembiayaan melebihi kekuatan keuangannya hanya untuk mengejar target. Hal ini hanya akan menimbulkan ”bunuh diri” (over-killed) secara harfiah atau mati suri secara finansial seperti di Bangladesh tempat Muhammad Yunus membangun Grameen Bank.
Pada pidatonya ketika menerima hadiah Nobel pada 10 Desember 2006, Muhammad Yunus menyatakan kemiskinan merupakan ancaman bagi perdamaian. Distribusi pendapatan dunia bisa memberi gambaran yang amat jelas. Sebanyak 94% pendapatan dunia dinikmati oleh 40% penduduk dunia, sementara60% pendudukdunia sisanya hidup hanya dengan 6% pendapatan dunia. Separuh penduduk dunia hidup hanya dengan USD2 sehari.
Lebih dari 1 miliar orang hidup dengan kurang dari USD1 sehari. Ini bukanlah rumus untuk perdamaian (Membangun Indonesia dari Desa melalui Keuangan Mikro, Gema PKM Indonesia, editor Bambang Ismawan, 2002). Ingat, sebagian dari 1 miliar lebih orang yang hidup dengan kurang dari USD1 atau setara Rp10.000 sehari itu berada di Indonesia.
Untuk itu, pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dituntut untuk lebih mengembangkan keuangan mikro sebagai garda depan dalam memangkas kemiskinan. Kok bisa? Karena peningkatan kemampuan finansial masyarakat bawah otomatis akan mengurangi jumlah penduduk miskin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar