Minggu, 23 Juni 2013

Melindungi Identitas Kanak-kanak

Melindungi Identitas Kanak-kanak
Atmakusumah ;   Pengamat Pers
KOMPAS, 22 Juni 2013


Di dalam keterbukaan ini malah masuk pula pengakuan tanpa tedeng aling-aling kehidupan pribadi atau privasi, yang lazimnya tidak patut menjadi pengetahuan umum. Ini dapat disaksikan antara lain dalam pemeriksaan terhadap Ahmad Fathanah, makelar yang mengurus izin kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Ia dilaporkan dalam pemberitaan pers telah menghadiahkan uang kepada para pemimpin partai politik dan banyak perempuan, antara lain seorang mahasiswi.

Walaupun demikian, harian Kompas termasuk surat kabar yang agak melindungi nama baik subyek berita mahasiswi tersebut. Perlakuan pemberitaan seperti itu agaknya karena pemberian uang dari Ahmad Fathanah kepadanya tidak tampak dengan jelas berkaitan dengan kasus suap ini. Jadi, kaitan mereka lebih merupakan hubungan privat di antara kedua warga tersebut, bukan bersama-sama terlibat dalam satu jaringan kasus korupsi.

Berita Kompas di halaman muka edisi 18 Mei 2013 hanya mengutip sebagian keterangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut. Uang itu sebagai uang perkenalan dari Ahmad Fathanah. ”Ya, saya enggak mau munafik,” kata mahasiswi itu. Uang tersebut diberikan Fathanah setelah ia bersama dengan mahasiswi itu. ”Saya sudah mengaku bersama... dan saya kasih uang Rp 10 juta...,” menurut Fathanah.

Ada media pers yang sama sekali tidak melindungi identitas mahasiswi itu dan tidak menghindari keterangan mengenai kehidupan pribadinya yang diungkapkan di pengadilan. Selain memuat fotonya di halaman depan, judul berita surat kabar ini—sepanjang empat kolom—mengutip pengakuannya di pengadilan bahwa ia ”bermesraan dengan Fathanah”. Dilaporkan dalam berita itu bahwa ”duit Rp 10 juta diberikan Fathanah di kamar hotel; setelah itu, Fathanah mengajaknya berhubungan intim.”

Ada pula surat kabar berbahasa Inggris yang bahkan menyebut saksi mahasiswi itu, yang berusia 20 tahun, sebagai prostitute, pelacur. Berita ini dimuat di halaman muka sepanjang lima kolom dan dilengkapi dengan foto wajahnya. Di sebelah foto itu dimuat kutipan: ”Yes”... answered when asked whether Ahmad Fathanah paid her to make love.

KPK lindungi identitas

Dalam banyak laporan pers dari dunia infotainment sering terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik dan etika sosial tentang kehidupan pribadi. Dalam pemberitaan dari lingkungan ini, yang menyangkut kehidupan para artis, tidak ada perbedaan antara wilayah privat dan wilayah publik—keduanya bercampur aduk. Ini dapat terjadi karena para artis dan pers saling memanfaatkan peluang yang menguntungkan secara komersial. Para artis semakin populer, sedangkan media pers dapat memperluas pembaca, pendengar, dan penontonnya.

Akan tetapi, identitas subyek berita yang bukan tokoh penting atau terkemuka dalam pemberitaan tentang privasi malahan dapat sepenuhnya dilindungi pers. Subyek berita itu adalah ”warga biasa”—yang tak memiliki tanggung jawab sosial yang besar, bukan tokoh populer yang diidolakan publik atau memiliki jabatan cukup tinggi.

Keprihatinan atau kekhawatiran ditunjukkan Ketua KPK Abraham Samad, mengenai laporan pers yang terlampau terbuka tentang identitas pihak saksi yang masih berusia muda dalam kasus yang sedang diperiksa KPK.

”Sebaiknya tidak ditampilkan wajahnya,” kata Samad mengomentari pemberitaan tentang seorang saksi yang dikabarkan menerima dana dan hadiah dari mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, tersangka dalam perkara suap impor daging sapi. Alasannya, saksi itu masih dipandang kanak-kanak. Ia siswi kelas XII sekolah menengah kejuruan (dikutip dari Koran Tempo, 26 Mei 2913, halaman 1, ”Periksa Luthfi, KPK Hadapi Dilema”).

Malahan, identitas apa pun dari saksi ini—bukan hanya foto dan nama lengkapnya—tidak perlu ditampilkan dalam laporan pers karena ia masih remaja walaupun mungkin tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak-kanak. Lebih-lebih lagi hubungannya dengan pemberi hadiah tidak jelas berkaitan dengan kasus suap-menyuap dalam perkara ini.

Identitas mencakup ciri-ciri yang lebih luas daripada sekadar foto dan nama lengkap seseorang. Identitas termasuk nama para anggota keluarga dekatnya, seperti ayah dan ibu serta saudaranya; alamat rumah, sekolah, dan tempatnya bekerja; atau nama temannya. Dengan kata lain, identitas atau jati diri mencakup apa pun yang memudahkan publik melacak sosok dan keberadaan warga tersebut.

Perlindungan oleh pers, atau lembaga apa pun, terhadap identitas seseorang bertujuan melindungi kelanjutan kehidupan warga itu pada masa depannya agar pertumbuhannya stabil.

Putusan Dewan Pers Hongkong

Putusan Dewan Pers Hongkong seperti disiarkan harian South China Morning Post dapat menjadi perbandingan mengenai perlindungan identitas subyek berita yang masih kanak-kanak atau remaja.
Dewan Pers itu berpendapat bahwa tulisan di tabloid mingguan Next Magazine tentang murid sekolah menengah yang menjadi pelacur tak dianggap tidak senonoh dan tidak melanggar kehidupan pribadi karena namanya tidak diungkapkan dan foto wajahnya dikaburkan. Namun, Next Magazine dipersalahkan karena menyebutkan nama sekolah elite tempat gadis itu bersekolah. Karena itu, orang yang mengenalnya masih bisa melacak keberadaan gadis itu dari uraian dalam tulisan dan sosok tubuh yang masih tampak dalam fotonya.

Apabila identitasnya dikenali orang banyak, gadis itu akan sulit memperbaiki perilakunya, kata Dewan Pers. Selain itu, menurut Dewan Pers, pengungkapan nama sekolahnya dapat menyusahkan hati para guru dan murid yang lain. Redaksi tabloid itu berargumen bahwa pengungkapan nama sekolah gadis itu dimaksudkan guna membuktikan otentisitas laporan ini. Namun, Dewan Pers mengatakan bahwa otentisitas dapat ditunjukkan dengan menyusun laporan itu secara profesional tanpa harus menyebutkan nama sekolahnya.
Tulisan ini menghebohkan ketika dipublikasikan oleh tabloid tersebut. Dewan Pers Hongkong menerima 837 pengaduan dari publik, jumlah keluhan paling banyak yang pernah diterima lembaga tersebut untuk satu tulisan. Seorang reporter dan seorang juru potret tabloid itu kemudian dipecat.

Next Magazine pernah pula dikritik oleh Dewan Pers karena memuat tulisan profil tentang seorang murid, juga dari sekolah menengah, yang memotret tubuhnya sendiri yang telanjang. Tujuan pemotretan itu ”sekadar untuk hiburan”.


Di Indonesia peredaran ”foto hiburan remaja” seperti ini dapat berakibat para remaja itu dikeluarkan dari sekolah, bahkan diusir dari kampung halaman mereka. Ini reaksi emosional masyarakat kita yang tak mendidik dan tak bertujuan memperbaiki, tetapi bersifat menghukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar