|
KOMPAS,
22 Juni 2013
Di
dalam keterbukaan ini malah masuk pula pengakuan tanpa tedeng aling-aling
kehidupan pribadi atau privasi, yang lazimnya tidak patut menjadi pengetahuan
umum. Ini dapat disaksikan antara lain dalam pemeriksaan terhadap Ahmad
Fathanah, makelar yang mengurus izin kuota impor daging sapi di Kementerian
Pertanian. Ia dilaporkan dalam pemberitaan pers telah menghadiahkan uang kepada
para pemimpin partai politik dan banyak perempuan, antara lain seorang
mahasiswi.
Walaupun
demikian, harian Kompas termasuk surat kabar yang agak melindungi nama baik
subyek berita mahasiswi tersebut. Perlakuan pemberitaan seperti itu agaknya
karena pemberian uang dari Ahmad Fathanah kepadanya tidak tampak dengan jelas
berkaitan dengan kasus suap ini. Jadi, kaitan mereka lebih merupakan hubungan
privat di antara kedua warga tersebut, bukan bersama-sama terlibat dalam satu
jaringan kasus korupsi.
Berita
Kompas di halaman muka edisi 18 Mei 2013 hanya mengutip sebagian keterangan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut. Uang itu sebagai uang
perkenalan dari Ahmad Fathanah. ”Ya, saya enggak mau munafik,” kata mahasiswi
itu. Uang tersebut diberikan Fathanah setelah ia bersama dengan mahasiswi itu.
”Saya sudah mengaku bersama... dan saya kasih uang Rp 10 juta...,” menurut
Fathanah.
Ada
media pers yang sama sekali tidak melindungi identitas mahasiswi itu dan tidak
menghindari keterangan mengenai kehidupan pribadinya yang diungkapkan di
pengadilan. Selain memuat fotonya di halaman depan, judul berita surat kabar
ini—sepanjang empat kolom—mengutip pengakuannya di pengadilan bahwa ia
”bermesraan dengan Fathanah”. Dilaporkan dalam berita itu bahwa ”duit Rp 10
juta diberikan Fathanah di kamar hotel; setelah itu, Fathanah mengajaknya
berhubungan intim.”
Ada
pula surat kabar berbahasa Inggris yang bahkan menyebut saksi mahasiswi itu,
yang berusia 20 tahun, sebagai prostitute,
pelacur. Berita ini dimuat di halaman muka sepanjang lima kolom dan dilengkapi
dengan foto wajahnya. Di sebelah foto itu dimuat kutipan: ”Yes”... answered
when asked whether Ahmad Fathanah paid her to make love.
KPK
lindungi identitas
Dalam
banyak laporan pers dari dunia infotainment
sering terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik dan etika sosial tentang
kehidupan pribadi. Dalam pemberitaan dari lingkungan ini, yang menyangkut
kehidupan para artis, tidak ada perbedaan antara wilayah privat dan wilayah
publik—keduanya bercampur aduk. Ini dapat terjadi karena para artis dan pers
saling memanfaatkan peluang yang menguntungkan secara komersial. Para artis
semakin populer, sedangkan media pers dapat memperluas pembaca, pendengar, dan
penontonnya.
Akan
tetapi, identitas subyek berita yang bukan tokoh penting atau terkemuka dalam
pemberitaan tentang privasi malahan dapat sepenuhnya dilindungi pers. Subyek
berita itu adalah ”warga biasa”—yang tak memiliki tanggung jawab sosial yang
besar, bukan tokoh populer yang diidolakan publik atau memiliki jabatan cukup
tinggi.
Keprihatinan
atau kekhawatiran ditunjukkan Ketua KPK Abraham Samad, mengenai laporan pers
yang terlampau terbuka tentang identitas pihak saksi yang masih berusia muda
dalam kasus yang sedang diperiksa KPK.
”Sebaiknya
tidak ditampilkan wajahnya,” kata Samad mengomentari pemberitaan tentang
seorang saksi yang dikabarkan menerima dana dan hadiah dari mantan Presiden
Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, tersangka dalam perkara suap
impor daging sapi. Alasannya, saksi itu masih dipandang kanak-kanak. Ia siswi
kelas XII sekolah menengah kejuruan (dikutip dari Koran Tempo, 26 Mei 2913,
halaman 1, ”Periksa Luthfi, KPK Hadapi Dilema”).
Malahan,
identitas apa pun dari saksi ini—bukan hanya foto dan nama lengkapnya—tidak
perlu ditampilkan dalam laporan pers karena ia masih remaja walaupun mungkin
tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak-kanak. Lebih-lebih lagi hubungannya
dengan pemberi hadiah tidak jelas berkaitan dengan kasus suap-menyuap dalam
perkara ini.
Identitas
mencakup ciri-ciri yang lebih luas daripada sekadar foto dan nama lengkap
seseorang. Identitas termasuk nama para anggota keluarga dekatnya, seperti ayah
dan ibu serta saudaranya; alamat rumah, sekolah, dan tempatnya bekerja; atau
nama temannya. Dengan kata lain, identitas atau jati diri mencakup apa pun yang
memudahkan publik melacak sosok dan keberadaan warga tersebut.
Perlindungan
oleh pers, atau lembaga apa pun, terhadap identitas seseorang bertujuan
melindungi kelanjutan kehidupan warga itu pada masa depannya agar
pertumbuhannya stabil.
Putusan
Dewan Pers Hongkong
Putusan
Dewan Pers Hongkong seperti disiarkan harian South China Morning Post dapat
menjadi perbandingan mengenai perlindungan identitas subyek berita yang masih
kanak-kanak atau remaja.
Dewan
Pers itu berpendapat bahwa tulisan di tabloid mingguan Next Magazine tentang murid sekolah menengah yang menjadi pelacur
tak dianggap tidak senonoh dan tidak melanggar kehidupan pribadi karena namanya
tidak diungkapkan dan foto wajahnya dikaburkan. Namun, Next Magazine dipersalahkan karena menyebutkan nama sekolah elite
tempat gadis itu bersekolah. Karena itu, orang yang mengenalnya masih bisa
melacak keberadaan gadis itu dari uraian dalam tulisan dan sosok tubuh yang
masih tampak dalam fotonya.
Apabila
identitasnya dikenali orang banyak, gadis itu akan sulit memperbaiki
perilakunya, kata Dewan Pers. Selain itu, menurut Dewan Pers, pengungkapan nama
sekolahnya dapat menyusahkan hati para guru dan murid yang lain. Redaksi
tabloid itu berargumen bahwa pengungkapan nama sekolah gadis itu dimaksudkan
guna membuktikan otentisitas laporan ini. Namun, Dewan Pers mengatakan bahwa
otentisitas dapat ditunjukkan dengan menyusun laporan itu secara profesional
tanpa harus menyebutkan nama sekolahnya.
Tulisan
ini menghebohkan ketika dipublikasikan oleh tabloid tersebut. Dewan Pers
Hongkong menerima 837 pengaduan dari publik, jumlah keluhan paling banyak yang
pernah diterima lembaga tersebut untuk satu tulisan. Seorang reporter dan
seorang juru potret tabloid itu kemudian dipecat.
Next Magazine pernah pula dikritik
oleh Dewan Pers karena memuat tulisan profil tentang seorang murid, juga dari
sekolah menengah, yang memotret tubuhnya sendiri yang telanjang. Tujuan
pemotretan itu ”sekadar untuk hiburan”.
Di
Indonesia peredaran ”foto hiburan remaja” seperti ini dapat berakibat para
remaja itu dikeluarkan dari sekolah, bahkan diusir dari kampung halaman mereka.
Ini reaksi emosional masyarakat kita yang tak mendidik dan tak bertujuan
memperbaiki, tetapi bersifat menghukum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar