Jumat, 02 November 2012

Urgensi Kepemimpinan Muda


Urgensi Kepemimpinan Muda
Saan Mustopa ;  Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat,
Mahasiswa S-3 Ilmu Politik Universitas Indonesia
SINDO, 02 November 2012


Baru saja kita memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2012. Peringatan Sumpah Pemuda tersebut menjadi amat penting dan mengandung nilai-nilai sejarah yang patut diteladani di tengah suasana kepemudaan dan kepemimpinan muda yang banyak dikritisi.

Baru saja kita memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2012. Peringatan Sumpah Pemuda tersebut menjadi amat penting dan mengandung nilai-nilai sejarah yang patut diteladani di tengah suasana kepemudaan dan kepemimpinan muda yang banyak dikritisi.

Momen peringatan itu bisa dijadikan cermin dan bahan evaluasi untuk mengomparasikan peran pemuda dalam berbagai ranah bidang kehidupan bangsa ini dari suatu masa ke masa lainnya.Hasil komparasi tersebut bisa ditelaah sejauh mana, bagaimana, dan apa yang sedang terjadi dengan dunia kepemudaan atau dunia kaum muda saat ini.

Isu Kepemimpinan

Isu kepemimpinan kaum muda selalu menarik dan menyedot perhatian publik dan tokoh-tokoh yang berada di pemerintahan, partai politik,dan dunia kemasyarakatan. Tidak saja harus diakui bahwa kepemimpinan muda politik di Indonesia pernah ada ketika era kepemimpinan Presiden Soekarno berhasil menjadi presiden pertama negeri ini saat usianya masih sekitar 44 tahun. Presiden Soeharto pun masih dipandang muda ketika ditunjuk lembaga MPRS menjadi presiden kedua, saat usianya menginjak 46 tahun.

Fakta inilah barangkali yang mendorong Ketua MPR Taufik Kiemas mengeluarkan pernyataan beberapa waktu lalu: “Regenerasi harus terjadi mulai sekarang. Masak Presiden AS makin lama makin muda. PM Inggris makin lama makin muda. Sedangkan Presiden Indonesia makin lama makin tua dan berumur,” sebut Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP ini kepada media massa beberapa waktu lalu. Pernyataan ini kemudian mendapatkan beragam komentar dari beberapa tokoh, termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan:

“Bukan persoalan senior dan junior atau tua dan muda, melainkan lebih kepada siapa yang mampu dan tidak mampu. Kalau mengurus organisasi, boleh-boleh aja pake ukuran senior dan junior.Tapi, untuk mengurus bangsa harus diukur kemampuannya, track recordnya, kejujurannya, dan lainlain,” ungkapnya dalam sebuah wawancara eksklusif dengan sebuah stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu. Memang betul usia mudatua tidak bisa dijadikan alat ukur untuk menilai kepantasan menjadi seorang pemimpin negeri ini.

Dikotomi usia tuamuda tidak bisa dijadikan cermin yang menggambarkan prestasinya. Tokoh yang berusia sudah tua bukan berarti tidak punya semangat “muda” dan bukan pula tidak bisa seagresif anak muda dalam mengabdi dan membangun negeri ini. Begitu juga tokoh yang dipandang berusia muda bukan berarti juga dipandang tidak mampu, belum mampu, tidak berprestasi, apalagi dipandang tidak berpengalaman untuk menjadi calon pemimpin negeri ini.

Karena itu, nilai kepantasan seorang calon pemimpin negeri ini dan yang teramat dibutuhkan negeri ini di antaranya soal track record,integritas, kemampuan manajerial, dan komitmen. Esensi isu kepemimpinan muda adalah tentang regenerasi kepemimpinan. Pentingnya terjadi sirkulasi dan pengalihan kepemimpinan dalam berbagai bidang kehidupan dan profesi.Atau tentang isu pentingnya dipersiapkan munculnya generasi-generasi muda yang siap meneruskan estafet kepemimpinan.

Anak muda harus lebih banyak tampil dan ditampilkan dalam berbagai kesempatan dan tantangan sehingga dia akan lebih banyak menimba pengalaman dan terasah terus naluri kepemimpinannya. Dalam tulisannya di harian ini, “Belajar dari Generasi 28” (27/10), Benny Susetyo mengatakan bahwa dibutuhkan sebuah regenerasi yang memiliki visi yang jelas, terukur, bernalar, bertanggung jawab, menjunjung etika dan moralitas, serta yang utama adalah mengembangkan dunia politik sebagai media untuk memperbaiki kehidupan semua.

Generasi tua dengan “pikiran tua” sudah terlalu banyak di negeri ini. Aura kebijaksanaannya tidak muncul karena terbungkam oleh nafsu kekuasaan. Persoalannya sekarang, apakah pencapaian sirkulasi elite kepemimpinan tersebut bisa diraih dengan cek kosong? Apakah sirkulasi elite kepemimpinan itu diraih dengan mudah tanpa proses bargaining position dan pencapaian jenjang karier politik yang prosedural dan “berkeringat”dari level tangga yang paling bawah?

Jika pendapat ini mendekati kebenaran historis—di mana para founding fathersbangsa ini justru terlahir dari dinamika dan karut-marut kehidupan sosial-politik-ekonomi masyarakat terjajah,kelahiran pemimpin harus melewati pahit perihnya proses tersebut. Atau dalam konteks yang lain, seorang pemimpin tersebut harus mampu melewati tangga estafet organisasi politik dan pengalaman mengelola manajerial konflik-konflik organisasi yang akan mematangkan emosi diri dalam menghadapi badai-badai tantangan kehidupan bangsa yang lebih luas dan lebih ganas.

Barangkali harus kita camkan bersama bahwa tantangan menghadapi hegemoni kekuatan bangsa lain yang sudah maju dengan serbuan produkproduknya dan hegemoni kepentingan politik kawasan bangsa-bangsa lain adalah tantangan tersendiri yang membutuhkan seorang calon pemimpin bangsa ini yang kuat, tegas, dan teruji. Belum lagi dinamika aspirasi dan harapan besar masyarakat yang menginginkan perubahan yang cepat meniscayakan hadirnya seorang pemimpin yang tangkas dan cepat bergerak menyelesaikan setiap permasalahan.

Jika kita tidak bisa mampu menghadirkan karakteristik kepemimpinan seperti disebutkan di atas, bisa jadi negeri ini akan dengan mudah “ditekuk” dan disetir kepentingan bangsa lain. Bangsa ini akan semakin “hanyut” dalam hiruk-pikuk globalisasi di mana kita hanya akan menjadi penonton dan menjadi captive market atau lautan pasar serbuan hegemoni ekonomi-politik negara lain.

Penulis setuju dengan tulisan editorial atau tajuk harian ini yang ditulis dengan judul“Sumpah Pemuda Masa Kini,” (29/10), yang dengan penuh spirit mengajukan pertanyaan- pertanyaan besar yang wajib dijawab oleh kaum muda seperti: “Benarkan pemuda Indonesia bakal mampu mengubah negeri ini menjadi negeri yang maju, sejahtera, dan disegani bangsa lain? Betulkah pemuda Indonesia akan mampu mengubah kiblat dunia Internasional menuju ke Timur? Ini tentu menjadi pertanyaan yang signifikan untuk kita jawab.Tantangan tersebut berlaku untuk semua kalangan yang tidak hanya dibatasi karena faktor usia.

Solusi Kepemimpinan: Pencitraan “Berisi”

Soal urgensitas kepemimpinan muda tidak lepas dari fakta bahwa memang kita membutuhkan “semangat muda”,pemimpin yang agresif merespons aspirasi masyarakat, bertindak cepat dan tegas di dalam mengelola dan merespons konflik-konflik yang terjadi,serta merupakan tokoh yang dilahirkan dari dinamika sosial-politik-ekonomi yang terjadi di negeri ini.

Pun demikian seorang calon pemimpin bangsa ke depan adalah seorang yang mempunyai performanceyang baik,track record yang positif, berkarakter kuat, dan tentu diterima semua kalangan, terutama semua kalangan masyarakat. Bisa jadi seorang tokoh yang diusulkan, diputuskan, dan diterima secara aklamasi oleh internal para pengurus, anggota, dan simpatisan partai belum tentu akan diterima secara luas oleh khalayak banyak masyarakat.Artinya calon presiden harus diuji tingkat keterpilihan, popularitas, kemampuan, dan tentu loyalitasnya atas pengabdian terhadap negeri ini.

Begitu juga seorang tokoh yang kerapkali “digadang- gadang” representatif untuk dicalonkan khalayak ramai—bisa jadi karena popularitas calon—menjadi calon presiden belum tentu diterima secara masif dan bisa men-drive mesin partai agar bisa bergerak menyolidkan dukungan dan pilihan. Setiap partai politik tentu mencari tokoh populer, tetapi tetap memiliki kapasitas yang mumpuni sehingga euforia politik popularitas tidak berhenti hanya di politik pencitraan.

Bagaimana sebuah politik pencitraan tidak hanya cukup puas dengan memakai tool slogan iklan, promosi foto calon di baliho dan spanduk yang bertebaran di mana-mana,dan politik charity atau politik belas kasih di era prakampanye atau era kampanye.Politik karakter pribadi harus tetap terjaga baik karena track record-nya maupun karena kepentingan dan kebutuhan untuk pencitraan. Pencitraan harus tetap dikontrol agar tetap tidak terkesan sebagai politik “memoles sesuatu yang tidak patut dipoles”.Tidak terkesan membohongi dan memberikan angin surga kepada masyarakat.

Pencitraan justru harus tetap sepadan dengan realitas dan fakta-fakta lapangan saat program-program yang ditawarkan bersifat realistis dan mudah untuk dilaksanakan. Jika kemudian seorang figur terus menerus terjebak ke dalam kubangan pencitraan, bisa–bisa hal demikian ini hanya akan menyimpan tabungan “bom waktu”yang suatu saat akanmeledakkan ketidakpuasan publik kembali.Euforia masyarakat mencari calon pemimpin yang kelihatan populer dan terkesan prowong cilik hanya akan berakhir dengan keluh kesah yang tetap tidak bisa menghadirkan perubahanperubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat.

Jika hal demikian kembali adanya, proyek mencari signifikansi kepemimpinan muda yang populer dan “berisi” bisa berantakan. Apa yang dicitrakan, apa yang dijanjikan,dengan apa yang dilaksanakan dalam program-program yang dikampanyekan tidak pernah selaras untuk dilaksanakan. Semoga tidak terjadi demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar