Rabu, 07 November 2012

Teror dan Politik Terorisme


Teror dan Politik Terorisme
Muhammadun ;  Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 06 November 2012



Teror terus datang dan bergentayangan di negeri ini. Belum usai kasus teror di satu tempat, di tempat lain sudah muncul. Teror bukan lagi sekadar “peristiwa”, melainkan sebuah skenario politik yang dimainkan secara profesional, terencana dan sistematis.

Karena sebuah skenario, teror bukan saja dimainkan para martir yang siap meledakkan bom dan siap bunuh diri, melainkan sebuah gerakan politik yang didesain dengan sedemikian rupa untuk mencapai target dan tujuan tertentu.
Jangan kaget ketika 11 September 2001 gedung WTC hancur, tiba-tiba Amerika Serikat hadir sebagai pahlawan yang selalu menyuarakan akan melawan teror sampai akar-akarnya. Tetapi, di sisi lain, Amerika akhirnya menjadi pelaku teror yang menghancurkan Afganistan dan Irak.

Demikian juga di Indonesia. Ketika terjadi teror di mana-mana, tiba-tiba saja berbagai kasus korupsi yang mendera elite negeri ini lenyap dalam pemberitaan di media. Polisi yang kerap diberitakan korupsi tiba-tiba menjadi pahlawan yang menangkap para teroris.

Teror dan terorisme sudah menjadi “peristiwa politik” yang tidak bisa hanya dipahami sebagai tragedi kekerasan. Ada kepentingan politik di balik berbagai tragedi teror yang masih datang tanpa henti.

Mutiara Andalas dalam Terrorist Politic (2010) melihat bahwa jaringan terorisme yang memperlihatkan diri di panggung politik sebagai pembawa luka yang tak kenal kasihan untuk menumpahkan darah dan menghadirkan tragedi kematian.

Mereka menciptakan teror antikemanusiaannya dan berharap ketakutan yang diciptakan menjadi epifeni yang terus menggempur ruang ketakutan publik. Politik yang dilakukan adalah menghilangkan kedamaian, kenyamanan, ketenteraman, dan kesejukan.

Semua itu, bagi mereka, harus dihapuskan, karena akan melanggengkan ketakutan dan memudahkan melakukan gerakan terorisme.

Ketakutan publik akan memudahkan melancarkan politik teror; dan target korban akan gampang dipolitisasi sehingga mampu menjinakkan media publik ke arah yang berbelokan. Politik teror menghadirkan dunia penuh simpang siur karena di situlah terorisme berkembang subur.

Di samping itu, terjadi ketakaburan politik yang dijalankan dunia global saat ini. Kaum teroris takabur dalam berpolitik dengan melakukan hegemoni ketakutan tanpa menginginkan dunia untuk damai dan lestari. Hegemoni ketakutan inilah yang menjadi takabur politik sehingga terorisme datang dengan penumpasan dan kegilaan pembunuhan.

Tragisnya lagi, takabur politik ternyata juga disambut dengan takabur politik serupa, sehingga yang hadir dalam dunia global saat ini adalah “perang kepentingan” yang dilancarkan bersamaan. AS menjadi negara pengadang kaum teroris dengan cara yang hegemonik pula, sehingga terjadilah perang besar yang mengorbankan kaum sipil yang tak mafhum sedikit pun.

Berebut Ruang Publik

Arundhati Roy dalam Power Politics (2001: 131) menjelaskan bahwa isu terorisme bukanlah tentang kebaikan melawan keburukan, atau Islam melawan Kristen, melainkan tentang perang memperebutkan ruang publik. Isunya mengenai mengakomodasi keberagaman, mengenai pemenuhan hasrat hegemoni, baik ekonomi, militer, bahasa, agama, maupun budaya.

Ekologis manapun akan memberi tahu kita mengenai berbahaya dan rapuh sebuah kultur tunggal. Dunia hegemonik itu laksana pemerintah tanpa oposisi sehat. Ia menjadi sejenis rezim diktator. Ibaratnya menaruh dunia tanpa kantong plastik sehingga memutus pernapasan. Suatu ketika, kantong plastik itu akan pecah.

Kultur tunggal yang hegemonik yang dipegang kaum teroris merupakan akibat “ulah nakal” yang diagungkan dunia modern. Globalisasi selain menyeberangkan cita-cita (migration of dream), globalisasi juga menyeberangkan tragedi (migration of nightmare).

Walaupun awalnya terorisme menggema di AS dan Afganistan, tetapi karena kultur global yang tunggal, akhirnya terorisme juga hadir bukan saja ruang geografis yang terbatas, melainkan melampaui struktur geografis yang dihuni penduduk bumi.

Efek domino politik menjadikan mereka mendapatkan akses politis yang luar biasa di berbagai belahan dunia. Karena mendapatkan serangan yang juga hegemonik dari AS, kaum teroris akhirnya juga menjadi isu global yang mengancam seluruh penduduk dunia.

Teroris memang sedang menempuh jalan tragis dalam hidupnya. Selalu saja ada klaim kebenaran yang dilancarkan untuk melegitimasi kebiadaban kaum teroris. Sebagai pelaku, dalih agama selalu dilekatkan dalam gerakan mereka.

Sementara itu, kalau dilihat dari sisi korban, terorisme sama sekali bukanlah berdalih agama, karena merupakan jihad yang membabi-buta. Ini justru melanggar doktrin agama. Bagi korban, terorisme jelas merupakan tragedi kemanusiaan yang harus dijauhi dan diberantas oleh negara bersama dengan masyarakat.

Negara dan masyarakat sudah saatnya memberikan suguhan pembelaan rasa atas berbagai korban biadab yang bernama terorisme. Suguhan pembelaan rasa akan menjadi keteduhan yang menenteramkan jiwa para korban, sehingga bisa bangkit kembali mengangkat harkat dan martabat hidup yang akan diperjuangkan.

Tugas selanjutnya bagi para komunitas kebangsaan dan keagamaan adalah melakukan pembacaan kritis hermeneutis atas teks agama dan kemudian disebarluaskan, sehingga teks agama tidak dijadikan kedok jaringan terorisme yang sering kali menyelubungi aksi antikemanusiaannya dengan baju teks kitab suci; kemudian mengangkat wacana terorisme dan kemanusiaan sebagai tema kebangsaan untuk dialog antaragama.

Dialog lintas agama sangat penting untuk menciptakan persepsi baru ihwal keindonesiaan, sehingga tercipta kerukunan beragama tanpa harus mencurigai.
Jalan hidup tragis yang dilalui teroris menjadi fakta yang harus segera dijawab dengan agenda tersebut. Sekarang tinggal komitmen dan kekompakan para pemuka masyarakat dan agama untuk bergandeng tangan dalam membangun arah masa depan peradaban dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar