Sabtu, 03 November 2012

Kemiskinan, Persoalan Klasik Jakarta


Kemiskinan, Persoalan Klasik Jakarta
Nicolaus Uskono,  Staf Pengajar ABFII Perbanas
SINDO, 03 November 2012


Kemiskinan merupakan pemandangan yang sangat kontras di wilayah Jakarta. Lihat saja kawasan Kelapa Gading, betapa drastisnya kesenjangan kemiskinan antara penghuni real estate dan warga kawasan Tanah Merah yang menempati bedeng-bedeng tripleks,persis di samping tembok kompleks megah Kelapa Gading.
Kemiskinan merupakan pemandangan yang sangat kontras di wilayah Jakarta. Lihat saja kawasan Kelapa Gading, betapa drastisnya kesenjangan kemiskinan antara penghuni real estate dan warga kawasan Tanah Merah yang menempati bedeng-bedeng tripleks,persis di samping tembok kompleks megah Kelapa Gading.

Tengok pula orang-orang kaya yang mampu mengendarai mobil supermewah seperti Ferrari atau Porsche, sementara kaum urban hanya mampu melihatnya sembari menahan peluh di bus kota penuh sesak yang sudah tidak laik jalan. Maka itu, problema kemiskinan di Jakarta kadarnya sudah sedemikian akut, daripada banjir ataupun kemacetan yang meskipun bagai benang kusut namun masih dapat diurai. Berdasarkan data dari Pemprov DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin di Jakarta pada periode empat tahun berturutturut mengalami penurunan, meski tipis.

Bandingkan pada 2007 jumlah penduduk miskin mencapai 405.000 orang, lalu menurun hingga 379.000 pada 2008.Jumlahnya pun menurun lagi pada 2009 menjadi 323.000 orang dan pada 2010 tercatat penurunan pada 312.000 orang.Namun, angka ini kembali melonjak pada 2011 di mana jumlahnya menjadi 363.000 orang. Ketika itu, mantan Gubernur Fauzi Bowo mengakui bahwa melonjaknya jumlah warga miskin karena naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Pada saat harga naik,warga pun mengonsumsi makanan siap saji murah meriah semacam mi instan yang tidak memberikan gizi apa pun.Jangan heran pula jika isu pedagang bakso menggantidagingsapidengandaging celeng untuk mengakali rendahnya daya beli masyarakat semakin gencar.

Berdasarkan perhitungan distribusi pendapatan oleh BPS DKI Jakarta, kelompok kelas menengah atau 40% penduduk berpendapatan menengah mencatat sebagai penyumbang 35,37% dari total pendapatan yang timbul dari aktivitas perekonomian selama 2011. Angka ini lebih tinggi apabila dibandingkan tahun 2010 sebesar 34,09%. Pada periode yang sama,40% penduduk berpendapatan rendah justru mencatat penurunan peranan 1,29% dari 18,25% pada 2010 menjadi 16,96% pada 2011. Sementara itu untuk kelompok 20% berpendapatan tinggi,sumbangannya relatif sama dengan tahun sebelumnya sekitar 47% dari total pendapatan.

Kondisi semacam ini dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di DKI Jakarta ternyata masih banyak dinikmati kelompok kelas menengah dan kelompok atas. Dengan menggunakan kriteria Bank Dunia, terlihat distribusi pendapatan di DKI Jakarta masih dalam ketimpangan sedang (moderate inequality), karena proporsi pendapatan kelompok rendah 40% semakin menurun peranannya yaitu sebesar 16,96%.Sebenarnya apa yang menjadi penyebab kemiskinan di Jakarta kian parah? Dan, mengapa derajat kemiskinannya sangat parah bila dibandingkandengankemiskinan yang terjadi di pedesaan?

Jika dicermati secara jeli, kemiskinan di pedesaan masih lebih “manusiawi”daripada di perkotaan. Pasalnya, meskipun banyak warga miskin di desa, mereka masih bisa mencari makan dengan berkebun ataupun bertani atau mencari ikan. Sementara warga miskin di Jakarta jangankan dapat bisa mengganti nasi dengan singkong yang dicabut sendiri dari halaman rumah, mereka lebih baik makan nasi dengan tempe sebagai menu makan satu hari satu malam.

Mampu makan untuk hari ini saja bagi mereka sudah bagus daripada pusing memikirkan menu apa untuk hari esok. Namun, memang masalah kemiskinan di kota besar seperti Jakarta lebih kompleks daripada di pedesaan.Para pakar masalah sosial menyatakan dimensi yang kompleks itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik kehidupan di Jakarta seperti ketergantungan akan ekonomi uang (commodization), lingkungan tempat tinggal yang kurang memadai (enviromental hazards) dan kehidupan sosial yang individualistis (social fragmentation).

Kompleksitas ini membuat orang miskin kota lebih sulit untuk bertahan hidup ketimbang orang miskin di desa. Lalu, bagaimana untuk mengatasinya? Sebenarnya mudah karena di UU No13 Tahun 2011 tentang Penanganan fakir miskin memuat secara terperinci bentuk penanganan fakir miskin, yaitu pengembangan potensi diri, bantuan pangan dan sandang, penyediaan pelayanan perumahan, penyediaan pelayanan kesehatan, penyediaan pelayanan pendidikan, penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha,bantuan hukum dan atau pelayanan sosial.

Namun berbeda dengan daerah lain di Indonesia,kemiskinan di Jakarta adalah fenomena kemiskinan kota (urban poverty), di mana penduduk miskin cenderung terkumpul pada daerah pemukiman kumuh, bantaran kali, dan pesisir pantai. Alasan mengapa penduduk miskin umumnya bertempat tinggal pada daerahdaerah tersebut karena wilayahnya relatif sesuai dan mudah untuk ditempati dengan kondisi kemiskinan yang serba kekurangan.

Tipe rumah mereka pun sama, rumah sepetak dengan beralaskan karpet plastik,berdinding tripleks dan beratapkan seng. Bagi mereka, sebaiknya pemerintah menyediakan pengganti tempat tinggal baik rumah susun atau rumah tipe sangat sederhana. Sebenarnya rumah susun seperti di Bendungan Hilir ataupun Tebet mampu untuk merelokasi mereka, namun faktanya yang menjadi penghuni malah warga dari kalangan kelas atas baik dengan status kontrak atau beli.

Oleh karena itu, pemerintah harus menindak tegas pemilik yang menjual rusun yang didapat kepada orang lain dengan harga tinggi. Sementara untuk menertibkan wajah kemiskinan di bantaran kali atau rel kereta api diperlukan pengawasan yang lebih intens dari petugas, karena sering kali kedua kawasan ini berganti pemilik oleh masyarakat desa yang mencari peruntungan ke Jakarta.

Tidak ada cara untuk menghapuskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan kecuali dengan menciptakan lapangan kerja. Jangan pernah mengklaim ekonomi berkinerja baik apabila baru sekadar menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran, bukan menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan. Lapangan pekerjaan yang juga banyak menyerap tenaga kerja ialah pabrik. Jakarta yang bersisian dengan Bekasi, Karawang,Tangerang di mana ketiganya merupakan sentra industri harus dapat menjadi magnet bagi pendatang atau warga miskin bekerja di sana.

Di sana mereka bekerja,di sana pula mereka harus disediakan perumahan sederhana sehingga kaum urban pun tidak lagi lari ke Jakarta. Sementara untuk solusi jangka panjang,patut disimak pernyataan dari peraih Nobel Ekonomi tahun 2007 Eric Maskin yang menilai solusi terbaik untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan kerja bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Pendidikan adalah hal yang paling penting untuk mencegah kemiskinan dengan memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat sehingga mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik. Sekarang kita tinggal menunggu realisasi pendidikan gratis hingga SMA yang digadang-gadang pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar