Kamis, 08 November 2012

Arwah Birokrasi


Arwah Birokrasi
Rendy Pahrun Wadipalapa ;  Pengajar FISIP Universitas Airlangga
KOMPAS, 07 November 2012



Kementerian Dalam Negeri akhirnya merasa perlu menerbitkan peraturan pemerintah untuk mencegah siapa pun bekas terpidana korupsi menempati posisi struktural di pemerintahan (Kompas, 27 Oktober 2012). Upaya Kemendagri ini dalam banyak hal patut direspons positif, tetapi dalam hal lain mendatangkan tanda tanya lebih lanjut.
Mengapa peraturan-peraturan sebelumnya tak menghimpun kewajiban-kewajiban pertanggungjawaban moral kepada rakyat, yang menyebabkan peristiwa alih kekuasaan dapat disalahgunakan sedemikian rupa?

Celah peraturan yang sepintas kecil itu pada akhirnya memunculkan bukan hanya konsekuensi politis yang rumit, melainkan juga sedimentasi ketidakpercayaan rakyat atas birokrasi. Terlebih lagi terhadap kualitas para pemimpinnya.

Memisahkan Diri

Terus hidupnya pendirian politik yang bebal dan menerobos semua peraturan jelas menyulitkan upaya reformasi birokrasi. Aktivitas birokrasi yang tubuhnya sejak mula dihidupi oleh pandangan yang bersandar pada pembangkangan atas nilai-nilai moral, sebagaimana baru-baru ini kita dapati di Kepulauan Riau, akan secara otomatis memisahkan dirinya dari jiwa publik. Birokrasi itu menjelma menjadi arwah, menegaskan batas antara wilayah hidupnya dengan hidup rakyat yang sesungguhnya.

Tercerabutnya perhatian atas apa yang patut dan apa yang mencederai kehidupan rakyat berarti pula menjauhkan kewaspadaan atas apa yang sesungguhnya dipentingkan oleh rakyat sebagai majikan. Kenyataannya, rapor buruk pelayanan birokrasi membawa pemahaman siapa pun pada logika terbalik siapa sebenarnya majikan dan siapa pembantu.

Laporan World Economic Forum (WEF) yang mendegradasi peringkat daya saing ekonomi Indonesia pada tahun 2012 pun tak lepas dari melambatnya birokrasi dan berkerumuknya korupsi ini.

Ambruknya peringkat daya saing hanyalah salah satu konsekuensi teknis dari kegagalan birokrasi. Proses terpisahnya antara dunia kehidupan birokrasi dan rakyat lebih jauh menyebabkan kesulitan-kesulitan lain sebagai berikut.

Pertama, bertumbuhnya psikologi politik yang mengimani bahwa sebuah birokrasi mampu hidup dan menghidupi dirinya sendiri. Sebagai suatu sistem tertutup, birokrasi tak lagi memerlukan masukan dari luar tubuhnya, tetapi memercayakan segalanya pada keputusan-keputusan sistem.

Segala ragam produksi nilai tidak wajib ditransfer dari luar, tetapi diproduksi dari dalam. Kepercayaan diri semacam ini pada gilirannya menggagalkan penyesuaian posisi politik elite terhadap harapan dan imajinasi rakyat yang hidup di luar sistem birokrasi.

Kedua, pembiaran atas kekeliruan-kekeliruan sistem tak hanya dimaklumi sejauh hal 
tersebut masih sejalan dengan cita-cita birokrasi, tetapi kebiasaan membiarkan kekeliruan itu dapat berubah menjadi tindakan membenarkan.

Lestarinya kehidupan birokrasi dengan menghalau jauh-jauh semua kontrol etis atas bekas terpidana korupsi misalnya, terjadi karena kekeliruan yang dimaklumkan dan menjadi pembenaran atas dirinya.

Oleh sebab itu, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 yang memberi karpet merah bagi PNS terpidana korupsi untuk tetap bekerja bukan hanya terlalu usang dan mendesak untuk dikontekstualisasikan, melainkan juga karena keusangan dan kealpaan peraturan tersebut diizinkan oleh sistem birokrasi dan pada akhirnya dibenarkan selama bertahun-tahun.

Abadi

Reaksi Kemendagri menjadi unik karena di samping menandakan terlambatnya negara dalam menyadari malapraktik birokrasi juga karena harapan yang sangat tinggi bahwa kebiasaan yang telah berkerumuk lama dapat dipadamkan seketika dengan peraturan pemerintah.

Tantangan sesungguhnya jauh lebih berat: menciptakan model birokrasi yang menyadari kedudukan dirinya sendiri atas rakyat sebagai satu kesatuan. Pemosisian diri itu secara psikis merepresentasikan anutan paradigma pelayanan yang berbasis rakyat.

Hanya dengan cara ini sesungguhnya kita dapat menghalangi kemungkinan birokrasi menjadi arwah abadi. Menerbitkan peraturan pemerintah hanyalah upaya sementara dan temporer; tetapi peraturan tak pernah mampu menjangkau jantung budaya politik.
Peluang menuju integrasi rakyat dan birokrasi saat ini bukan berarti tidak terbuka sama sekali. Kebangkitan masyarakat sipil hari-hari ini dalam menafsirkan segala peristiwa politik secara lebih fasih menjadi modal berharga yang dapat dimanfaatkan sebagai peluru untuk kontrol birokrasi.

Bahkan, berkembang matangnya masyarakat sipil tidak melulu terlihat dari kefasihan mengartikulasikan setiap peristiwa, tetapi juga dalam mengambil sikap yang perlu dan efektif. Kematangan sikap politik ini akan mampu memaksa birokrasi untuk ”menemukan” kembali dunia kehidupannya bersama rakyat sebagai majikannya.
Jika modal pengetahuan sudah di tangan, soalnya kini tinggal bagaimana mengunci birokrasi dari keleluasaan yang berlebihan sekaligus menebang jarak yang memisahkannya dari rakyat.

Sikap sok pintar birokrasi yang membiarkan dirinya sendiri larut dalam kekeliruan-kekeliruan hanya dapat diredam andai kedua belah pihak, rakyat dan birokrasi yang melayaninya, bersamaan menjauhkan diri dari apatisme satu sama lain.
Jika tidak, protes ataupun ketidaksepahaman rakyat tidak didengar bukan saja lantaran ia berada ”di luar”, melainkan juga karena ia dapat mengancam yang ”di dalam”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar