Arwah
Birokrasi
Rendy Pahrun Wadipalapa ; Pengajar FISIP Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
07 November 2012
Kementerian Dalam Negeri akhirnya merasa
perlu menerbitkan peraturan pemerintah untuk mencegah siapa pun bekas
terpidana korupsi menempati posisi struktural di pemerintahan (Kompas, 27
Oktober 2012). Upaya Kemendagri ini dalam banyak hal patut direspons positif,
tetapi dalam hal lain mendatangkan tanda tanya lebih lanjut.
Mengapa
peraturan-peraturan sebelumnya tak menghimpun kewajiban-kewajiban
pertanggungjawaban moral kepada rakyat, yang menyebabkan peristiwa alih
kekuasaan dapat disalahgunakan sedemikian rupa?
Celah peraturan yang
sepintas kecil itu pada akhirnya memunculkan bukan hanya konsekuensi politis
yang rumit, melainkan juga sedimentasi ketidakpercayaan rakyat atas
birokrasi. Terlebih lagi terhadap kualitas para pemimpinnya.
Terus hidupnya pendirian
politik yang bebal dan menerobos semua peraturan jelas menyulitkan upaya
reformasi birokrasi. Aktivitas birokrasi yang tubuhnya sejak mula dihidupi
oleh pandangan yang bersandar pada pembangkangan atas nilai-nilai moral,
sebagaimana baru-baru ini kita dapati di Kepulauan Riau, akan secara otomatis
memisahkan dirinya dari jiwa publik. Birokrasi itu menjelma menjadi arwah,
menegaskan batas antara wilayah hidupnya dengan hidup rakyat yang
sesungguhnya.
Tercerabutnya perhatian
atas apa yang patut dan apa yang mencederai kehidupan rakyat berarti pula
menjauhkan kewaspadaan atas apa yang sesungguhnya dipentingkan oleh rakyat
sebagai majikan. Kenyataannya, rapor buruk pelayanan birokrasi membawa
pemahaman siapa pun pada logika terbalik siapa sebenarnya majikan dan siapa
pembantu.
Laporan World Economic
Forum (WEF) yang mendegradasi peringkat daya saing ekonomi Indonesia pada
tahun 2012 pun tak lepas dari melambatnya birokrasi dan berkerumuknya korupsi
ini.
Ambruknya peringkat daya
saing hanyalah salah satu konsekuensi teknis dari kegagalan birokrasi. Proses
terpisahnya antara dunia kehidupan birokrasi dan rakyat lebih jauh
menyebabkan kesulitan-kesulitan lain sebagai berikut.
Pertama, bertumbuhnya
psikologi politik yang mengimani bahwa sebuah birokrasi mampu hidup dan
menghidupi dirinya sendiri. Sebagai suatu sistem tertutup, birokrasi tak lagi
memerlukan masukan dari luar tubuhnya, tetapi memercayakan segalanya pada
keputusan-keputusan sistem.
Segala ragam produksi
nilai tidak wajib ditransfer dari luar, tetapi diproduksi dari dalam.
Kepercayaan diri semacam ini pada gilirannya menggagalkan penyesuaian posisi
politik elite terhadap harapan dan imajinasi rakyat yang hidup di luar sistem
birokrasi.
Kedua, pembiaran atas
kekeliruan-kekeliruan sistem tak hanya dimaklumi sejauh hal
tersebut masih
sejalan dengan cita-cita birokrasi, tetapi kebiasaan membiarkan kekeliruan
itu dapat berubah menjadi tindakan membenarkan.
Lestarinya kehidupan
birokrasi dengan menghalau jauh-jauh semua kontrol etis atas bekas terpidana
korupsi misalnya, terjadi karena kekeliruan yang dimaklumkan dan menjadi
pembenaran atas dirinya.
Oleh sebab itu, Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 yang memberi karpet merah bagi PNS terpidana
korupsi untuk tetap bekerja bukan hanya terlalu usang dan mendesak untuk
dikontekstualisasikan, melainkan juga karena keusangan dan kealpaan peraturan
tersebut diizinkan oleh sistem birokrasi dan pada akhirnya dibenarkan selama
bertahun-tahun.
Reaksi Kemendagri menjadi
unik karena di samping menandakan terlambatnya negara dalam menyadari
malapraktik birokrasi juga karena harapan yang sangat tinggi bahwa kebiasaan
yang telah berkerumuk lama dapat dipadamkan seketika dengan peraturan
pemerintah.
Tantangan sesungguhnya
jauh lebih berat: menciptakan model birokrasi yang menyadari kedudukan
dirinya sendiri atas rakyat sebagai satu kesatuan. Pemosisian diri itu secara
psikis merepresentasikan anutan paradigma pelayanan yang berbasis rakyat.
Hanya dengan cara ini
sesungguhnya kita dapat menghalangi kemungkinan birokrasi menjadi arwah
abadi. Menerbitkan peraturan pemerintah hanyalah upaya sementara dan
temporer; tetapi peraturan tak pernah mampu menjangkau jantung budaya
politik.
Peluang menuju integrasi
rakyat dan birokrasi saat ini bukan berarti tidak terbuka sama sekali.
Kebangkitan masyarakat sipil hari-hari ini dalam menafsirkan segala peristiwa
politik secara lebih fasih menjadi modal berharga yang dapat dimanfaatkan
sebagai peluru untuk kontrol birokrasi.
Bahkan, berkembang
matangnya masyarakat sipil tidak melulu terlihat dari kefasihan
mengartikulasikan setiap peristiwa, tetapi juga dalam mengambil sikap yang
perlu dan efektif. Kematangan sikap politik ini akan mampu memaksa birokrasi
untuk ”menemukan” kembali dunia kehidupannya bersama rakyat sebagai
majikannya.
Jika modal pengetahuan
sudah di tangan, soalnya kini tinggal bagaimana mengunci birokrasi dari
keleluasaan yang berlebihan sekaligus menebang jarak yang memisahkannya dari
rakyat.
Sikap sok pintar birokrasi
yang membiarkan dirinya sendiri larut dalam kekeliruan-kekeliruan hanya dapat
diredam andai kedua belah pihak, rakyat dan birokrasi yang melayaninya,
bersamaan menjauhkan diri dari apatisme satu sama lain.
Jika tidak, protes ataupun
ketidaksepahaman rakyat tidak didengar bukan saja lantaran ia berada ”di
luar”, melainkan juga karena ia dapat mengancam yang ”di dalam”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar