Urgensi
Radikalisasi Pancasila
Ma’mun Murod Al-Barbasy ; Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila
(PSIP)
FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
|
KORAN SINDO, 01 Juni 2015
Setiap tanggal 1 Juni,
bangsa Indonesia memperingatinya sebagai hari lahir Pancasila. Momentum ini
diambil ketika Soekarno menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai dasar negara
pada sidang di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945. Saat itu Soekarno berpidato mengemukakan gagasan
mengenai rumusan lima sila dasar negara yang dinamakan “Pancasila”:
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, Mufakat atau
Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada kesempatan lain,
Soekarno menyebut bahwa sebagai ideologi negara, Pancasila digali dan diramu
dari pelbagai nilai positif yang berkembang di masyarakat. Sementara sedikit
berbeda, Mohammad Hatta menyebut bahwa Pancasila sebagai ideologi negara
dibangun di atas pilar-pilar ideologi besar dunia, seperti Islam, sosialisme,
kapitalisme, dan humanisme.
Problem Kebangsaan
Disayangkan, sejak
kemerdekaan Indonesia sampai saat ini, ke-apik-an Pancasila lebih banyak
dipahami serbaformal, tekstual, dan sedikit sekali upaya untuk menghadirkan
Pancasila secara kontekstual dan apalagi membumikannya di tengah-tengah
masyarakat. Pancasila an sich
dipahami sebagai ideologi negara. Pancasila hanya menjadi bingkai (frame) dalam melihat wawasan
negara-bangsa dalam segala aspek, termasuk agama, sosial, nasionalisme,
ekonomi, politik, kemanusiaan, dan kebudayaan. Dari sisi hukum, das sollen, Pancasila juga dipahami
dan ditempatkan sebagai segala sumber hukum dan karenanya produk hukum tidak
boleh bertentangan dengan Pancasila.
Sementara das sein, Pancasila di(ter)campakkan
begitu saja. Sekadar alat untuk “menakut-nakuti” masyarakat, sebagaimana
terjadi selama kurun waktu hampir 40 tahun (selepas Dekrit Presiden 1959
sampai lengsernya Orde Baru 1998). Pancasila dikenal dan hanya diperingati
secara seremonial belaka setiap tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila.
Sementara miskin sekali upaya-upaya untuk menghadirkan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat. Pancasila selalu “dikampanyekan” sebagai ideologi yang tangguh
yang berhasil mengalahkan komunisme sehingga dirasa penting adanya Hari
Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober.
Pancasila sebagai
dasar negara dalam arti bahwa secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi
antara sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma
kehidupan bernegara, berbangsa, dan bernegara.
Jika mau jujur,
realitas praksis saat ini, kita akan mendapati bahwa kebanyakan anak bangsa
saat ini yang tidak lagi mempunyai kebanggaan terhadap Pancasila. Bahkan
tidak jarang pada diri sebagian anak bangsa ini ada yang mencibiri Pancasila.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Keabstrakan Pancasila yang menyebabkan itu terjadi.
Sebagai ideologi, Pancasila nyatanya tidak mampu menjadi “jalan” (alshirat) yang mampu mengantarkan
masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik.
Orde Baru telah
berhasil, tidak saja membuat bangsa ini a-historis,
tapi juga a-ideologis yang
berdampak hingga saat ini. Misalnya secara simbolik, ada beberapa partai yang
ada saat ini seakan emoh mengusung secara tegas Pancasila sebagai ideologi
partai. Sementara secara praksis juga terjadi “persekongkolan” diantara para
elite politik yang bukan didasarkan pada “persekongkolan kebangsaan”, yang
berbasis pada ideologi (Pancasila) danbertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatanbersama (maslahatial-ammah),
melainkan “persekongkolan kepentingan” yang bersifat pragmatis dan sesaat
untuk kepentingan segelintir atau sekelompok orang dengan mengabaikan
kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan nasional (national interest).
Radikalisasi Pancasila
Menilik
beragam problem kebangsaan yang terjadi saat ini, mendesak dan menjadi
keharusan untuk melakukan radikalisasi Pancasila. Radikalisasi dalam konteks
ini tentu dimengerti sebagai bentuk transformasi dari sikap pasif, apatis
atau masa bodoh pada sikap atau aktivisme yang lebih radikal, revolusioner
atau militan dalam memosisikan, memahami, dan mengaplikasikan nilai-nilai
Pancasila.
Das
sollen, sebagai ideologi Pancasila begitu apik, tetapi pada tataran das sein Pancasila tak mampu
diterjemahkan dengan baik, tidak mampu memberikan efek atau dampak positif
yang berarti bagi kemajuan bangsa. Pancasila hanya kumpulan sila-sila yang
nyaris tak bermakna apa pun. Pancasila hanya fasih ketika dipidatokan oleh
pejabat-pejabat negara dari pusat sampai daerah, tetapi gagap pada tataran
aplikasi (action). Penerapannya
penuh manipulasi, bergantung pada kepentingan sesaat yang melingkupinya.
Realitasnya
saat ini tengah terjadi kegersangan dan pendangkalan moral (akhlak), menipisnya
rasa nasionalisme dan rasa memiliki Indonesia di kalangan anak bangsa. Selain
tentu minimnya pendidikan agama, tidak adanya lagi Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) di sekolah-sekolah juga menjadi salah satu penyebab terjadinya
kegersangan moral dan menipisnya rasa nasionalisme.
Sebagian
besar masyarakat belum secara menyeluruh memahami makna kebinekaan Indonesia.
Kerap terjadinya konflik sektarian menunjukkan belum selesainya pemaknaan
atas kebinekaan bangsa kita. Di sinilah letak pentingnya untuk melakukan
radikalisasi Pancasila.
Dalam
konteks radikalisasi Pancasila, tentu tidaklah penting memperdebatkan soal
posisi Pancasila, apakah sebagai fondasi atau pilar. Yang lebih penting dari
semuanya adalah bagaimana kita mampu menghadirkan nilai-nilai Pancasila hadir
dalam realitas kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai Pancasila
hadir dalam kehidupan bernegara. Pancasila menjadi “kekuatan moral” bagi
elite-elite politik negeri ini dalam membuat kebijakan-kebijakan politik.
Secara
das sollen maupun das sein Pancasila harus bisa berjalan
beriringan.
Pancasila
sebagai ideologi negara harus diletakkan secara benar dalam praktik
bernegara. Setiap kebijakan negara harus sungguh-sungguh mencerminkan dan
mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila. Sebagai ideologi, Pancasila
jangan lagi dibawa ke dalam bentuk yang abstrak sehingga hanya akan ditafsir
beragam tanpa bangunan fondasi tafsir yang memadahi. Pancasila mesti bisa
menyentuh kehidupan sehari-hari dan sungguh-sungguh “membumi” di dalam sanubari
bangsa ini. Pancasila harus benar-benar dihadirkan pada ranah publik dengan
wajah yang “membebaskan” dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan
sebaliknya, berpihak bagi segelintir elite bangsa ini.
Upaya
melakukan radikalisasi Pancasila tidak akan pernah berhasil tanpa adanya
keteladanan dari elite dan pimpinan negara ini, keteladanan dari tokoh masyarakat
dan tokoh agama. Apa pun bentuk dasar negara Indonesia, jika tidak diamalkan,
tak akan berarti apa pun. Di sinilah dibutuhkan adanya keteladanan politik. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar