Selasa, 02 Juni 2015

Rekonstruksi Sejarah Pancasila

Rekonstruksi Sejarah Pancasila

Faisal Ismail  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
KORAN SINDO, 01 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kelompok nasionalis muslim dannasionalis netral agama berdebat serius di sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sidang BPUPKI berlangsung pada 29 Mei-1 Juni 1945dan10-16Juli1945. Fokus perdebatannya adalah apa dasar falsafah negara Indonesia yang kemerdekaannya segera diproklamasikan?

Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidatonya di sidang BPUPKI dan mengusulkan Pancasila (lima prinsip) sebagai dasar falsafah negara: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan. Kemudian Panitia Sembilan (Panitia Kecil) mereformulasi Pancasila Soekarno sebagai berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah rumusan resmi Pancasila yang tercantum dalam UUD 1945.

Banyak penulis tentang Pancasila selepas tumbangnya Orde Lama dan penatar P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada masa Orde Baru mengatakan bahwa Soekarno bukanlah satu-satunya pencipta Pancasila. Mereka mengklaim Muhammad Yamin adalah (juga) pencipta Pancasila. Dari sinilah muncul kontroversi tentang pencipta Pancasila itu.  Kontroversi sejarah tentang pencipta Pancasila terjadi sejak munculnya Buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 . Buku ini berisi teks pidato tiga pembicara (Soekarno, Soepomo, dan Yamin) yang disampaikan di sidang BPUPKI. Buku ini mereproduksi teks pidato Yamin di mana dia menyebut dirinya mengajukan juga lima prinsip sebagai dasar negara: Perikebangsaan, Perikemanusiaan, Periketuhanan, Perikerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Konsep Pancasila versi Yamin ini mirip dengan Pancasila ciptaan Soekarno.

Merujuk pada Buku Naskah ini, BJ Boland dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia mengatakan bahwa berdasarkan pidato Yamin tanggal 29 Mei 1945 di sidang BPUPKI sering dikemukakan pada masa pasca-Soekarno bahwa pencetus Pancasila yang sebenarnya adalah Yamin, bukan Soekarno. Inilah bukti bahwa Buku Naskah versi Yamin itu telah menimbulkan kontroversi sejarah yang besar.

Menanggapi kontroversi ini, Mohamad Hatta pada tahun 1980 menulis surat wasiat kepada Guntur Soekarno Putra. Dalam surat wasiatnya, Hatta memberi kesaksian dan klarifikasi: pada akhir Mei 1945, Radjiman Wediodiningrat, Ketua BPUPKI, membuka sidangnya dan mengajukan pertanyaan kepada peserta sidang, apakah dasar negara yang akan kita gunakan untuk negara Indonesia Merdeka nanti? Kebanyakan anggota BPUPKI tidak menanggapi persoalan ini karena takut memunculkan masalah filosofis yang ruwet. Mereka langsung membahas konstitusi. Salah seorang anggota BPUPKI yang menanggapi pertanyaan Radjiman adalah Bung Karno yang menyampaikan pidatonya dengan judul Pancasila, lima prinsip, pada tanggal 1 Juni 1945, selama kurang lebih satu jam. Pidatonya menarik perhatian para anggota BPUPKI dan mendapatkan tepuk tangan yang luar biasa dari hadirin. Sidang komisi kemudian membentuk Komisi Kecil untuk mereformulasi Pancasila yang diusulkan Bung Karno.

Hatta menegaskan, dia tidak pernah mendengar Yamin mengajukan lima prinsip (Pancasila) dalam pidatonya di sidang BPUPKI. Hatta menyatakan, jika Yamin mengajukan lima prinsip itu pasti dia mendengar dan memperhatikannya. Yamin tampaknya telah membuat catatan berdasarkan wacana yang berkembang di sidang BPUPKI dan memasukkannya ke dalam naskahnya dan kemudian mengklaimnya sebagai bagian isi pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945.

Hatta yakin, Yamin telah “memfabrikasi” Pancasilanya ketika dia ditugasi Panitia Kecil BPUPKI untuk menyusun Pembukaan UUD 1945 di mana dia memasukkan fabrikasi Pancasilanya itu. Panitia Kecil tidak menerima rancangan Pembukaan UUD 1945 versi Yamin karena rumusannya terlalu panjang. Kemudian ketika Yamin menyunting Buku Naskah-nya, dia memasukkan rancangan tersebut dan mengklaimnya sebagai lampiran pidatonya di sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Hatta menuduh Yamin tidak jujur dan telah mendistorsi fakta sejarah. Memperkuat tudingan Hatta, Pringgodigdo juga menuduh Yamin telah memanipulasi (pinter nyulap) fakta sejarah.

Yamin sendiri dalam bukunya Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menegaskan, Pancasila adalah ciptaan Soekarno. Yamin tegas menyatakan, “Istilah Pancasila pada awalnya ditempa dan digunakan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Lima prinsip ini dinamakan Pancasila oleh Bung Karno dalam pidatonya yang diajukan pada tanggal 1 Juni 1945 disidang BPUPKI di rumah bersejarah, Gedung Pejambon, Jakarta.”

Sejumlah tokoh yang terlibat aktif di sidang BPUPKI seperti Wediodiningrat, RP Soeroso, Sartono, KH Masjkur, Maria Ulfah, dan Ir Rooseno memberi kesaksian bahwa Pancasila berasal dari pidato Soekarno yang disampaikan di sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Tidak berarti bahwa Soekarno tidak pernah berkonsultasi dengan tokoh lain untuk memberi nama bagi lima prinsip yang dia usulkan sebagai dasar negara. Soekarno mengakui, “Nama lima prinsip itu bukan Panca Darma (lima kewajiban); namun saya namakan berdasarkan pendapat teman kita yang ahli linguistik: Pancasila. Sila berarti dasar atau prinsip, dan di atas lima prinsip itu kita harus membangun Indonesia yang merdeka, kuat dan abadi.” Ahli linguistik yang disebut Soekarno dalam pidatonya itu adalah Muhammad Yamin.

Ada buku/dokumen menarik berjudul Uraian Pancasila yang disusun oleh Komisi Lima: Hatta (ketua), Ahmad Subardjo Djojoadisujo, AA Maramis, Sunario, dan AG Pringgodigdo. Semua tokoh ini berpartisipasi aktif dalam sidang BPUPKI. Dalam buku uraian Pancasila ini ditegaskan bahwa 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila. Berbeda pendapat dengan pendapat Komisi Lima, beberapa penulis seperti Darji Darmodiharjo dan Pringgodigdo mempunyai pandangan berbeda. Mereka berpendapat, 1 Juni 1945 bukan merupakan hari lahir Pancasila sebagai dasar negara, tetapi merupakan tanggal lahir “istilah” Pancasila. Mereka berpendapat, hari lahir Pancasila adalah tanggal 18 Agustus 1945 ketika Pancasila dideklarasikan sebagai dasar negara dalam UUD 1945.

Menarik mencermati “fenomena Pringgodigdo”. Pringgodigdo, sebagai anggota Komisi Lima, semula berpendapat bahwa hari lahir Pancasila adalah 1 Juni 1945. Kemudian Pringgodigdo mengubah pikirannya bahwa 1 Juni 1945 adalah tanggal lahir “istilah” Pancasila, bukan hari lahir Pancasila itu sendiri. Pringgodigdo berdalil, Pancasila telah ada berabad-abad lamanya dalam kehidupan rakyat Indonesia, karena itu tidak mungkin ditetapkan tanggal lahirnya. Dia menegaskan, tidak perlu memperingati hari lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni. Sikap Pringgodigdo menuai reaksi keras dari teman-temannya di Komisi Lima.

Sunario, atas nama komisi, mengirim surat mempertanyakan ketidakkonsistenan pendapat Pringgodigdo itu, tapi dia tidak menanggapi surat tersebut. Pendapat Pringgodigdo dan Darmodiharjo bahwa 1 Juni 1945 hanyalah merupakan tanggal lahir “istilah” Pancasila sama artinya bahwa Soekarno tidak mempunyai kontribusi apa-apa kecuali istilah itu sendiri. Ini pendapat sangat naif. Soekarno, dengan gagasan Pancasilanya, sebenarnya telah memberikan kontribusi sangat besar bagi fondasi unitas dan integritas bangsa Indonesia. Ini fakta sejarah yang tidak dapat dibantah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar