Tanda-tanda
Keruntuhan...
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 06 Juni 2015
Corruption is simply the
sign of the autumn of a nation
(Friedrich Nietzsche,
1844-1900)
Di bawah terik matahari, di depan monumen bom atom (Genbaku Dome) di Hiroshima, Jepang,
pekan lalu, terdengar rentetan kabar cukup mengejutkan dari Tanah Air. Kabar
yang tersambung melalui jaringan internet sejauh 5.200-an kilometer dari
Jakarta itu kira-kira begini: status tersangka mantan Direktur Jenderal Pajak
Hadi Poernomo diminta dicabut oleh hakim tunggal Haswandi setelah Hadi
memenangi permohonan praperadilan di PN Jakarta Selatan, Kepala Bareskrim
Komisaris Jenderal Budi Waseso enggan memberikan laporan harta kekayaan dan
justru meminta Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengisinya, dua kubu Partai
Golkar bersedia islah tetapi demi pilkada, dan seterusnya.
Bom atom little boy
yang dijatuhkan dari pesawat B-29 Superfortress bomber bernama Enola Gay pada
6 Agustus 1945 yang meluluhlantakkan kota Hiroshima serasa tengah dijatuhkan
di bumi Indonesia. Bayangkan, agenda pemberantasan korupsi yang tak pernah
tuntas selama era reformasi 17 tahun ini tak henti-hentinya mendapat
perlawanan sengit. KPK tak pernah jeda dibombardir. Sejak permohonan
praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG)-Kapolri gagal, tetapi kemudian menjadi
Wakapolri-dikabulkan pada pertengahan Februari lalu, praperadilan menjadi
senjata serangan balik yang ampuh bagi para tersangka korupsi. KPK pun sudah
keok tiga kali. Selain BG, dua tamparan praperadilan lainnya diajukan Ilham
Arief Sirajuddin (mantan Wali Kota Makassar) dan Hadi Poernomo yang juga
mantan Ketua BPK.
Pemberantasan korupsi memang menjadi agenda bangsa di era
reformasi, tetapi praktiknya luar biasa sulit. Sebab, musuh utama
pemberantasan korupsi tak lain adalah penyelenggara negara, baik di
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Ini deviatif mengingat demokrasi
menuntut transparansi dan akuntabilitas. Kata ilmuwan politik, Mark E Warren
(What Does Corruption Mean in
Democracy?, 2004) korupsi adalah defisit demokrasi karena merusak kultur,
membuat inefisiensi, juga memperlebar jurang ketidakpercayaan. Di eksekutif,
korupsi ditandai perilaku pejabat yang menyimpang dari norma, hukum, dan
aspirasi masyarakat. Mereka hanya mencari keuntungan. Di legislatif, perilaku
korup lewat kebijakan curang tidak sesuai harapan masyarakat. Perilaku
koruptif di yudikatif karena putusan didasari motif dan kepentingan, bukan
dalil hukum yang argumentatif dan demi keadilan.
Dalam terminologi Warren, ada individu atau kelompok yang
dipercaya atau diberi mandat dengan diberi kekuasaan untuk mengambil
keputusan kolektif, tetapi justru terputus dengan norma-norma. Dan,
pelanggaran norma itu biasanya menguntungkan pribadi atau kelompok.
Kasus-kasus korupsi yang selama ini terbongkar sejalan dengan alur pikiran
tersebut. Anehnya, mengikuti pandangan sosiolog SH Alatas (1928-2007), justru
mereka yang korupsi tidak merasakan telah melakukan pelanggaran norma. Dalam
kultur masyarakat tertentu, boleh jadi upeti atau uang pelicin dianggap hal
lumrah. Karena itu, mereka barangkali enggan mengakui bahwa korupsi,
sebagaimana dikatakan Colin Nye (1967), adalah perilaku menyimpang dari
tanggung jawab resmi karena kepentingan (pribadi, keluarga dekat, kelompok
swasta), demi mengharapkan uang, status, atau pelanggaran aturan.
Tidak mengherankan, dalam posisi begitulah, Van Klaveren (1957)
menyatakan, seorang pejabat korup menganggap kantor tempat kerjanya yang
dibiayai uang rakyat justru sebagai tempat usaha sehingga mereka akan mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya. Di sini pejabat korup kehilangan rasionalitas
terhadap makna pengkhianatan, penipuan, atau kelalaian dalam urusan publik.
Padahal, seharusnya menjadi tugas manusia modern untuk meletakkan logika
berpikir yang bersih dan tidak sesat.
Saya teringat lagi David Rosen, konsultan politik pendiri The First Person. Menurut Rosen
(2013), dalam psikologi politik dikenal enam kepribadian politisi:
narsisistis (cari perhatian, ekshibisionis, pembohong, selalu mencari kambing
hitam); obsessive compulsive
(pekerja keras, teliti, tetapi sering ambigu); machiavellis (manipulator,
selalu menguasai, mencari keuntungan pribadi); otoriter (menjilat atasan,
mendominasi bawahan, konservatif, penuh prasangka); paranoid (penuh rahasia,
mencurigakan, ragu-ragu pada kesetiaan, pemarah, pendendam, rendah diri); dan
totaliter (kekuasaan dengan pesona dan teror, kultus individu, tetapi sangat
jarang ditemui dalam sistem demokrasi elektoral).
Pertanyaannya, apakah para politisi, termasuk di negeri ini,
selalu menderita kelainan seperti di atas? Tak mudah menjawabnya, tetapi juga
tidak sulit menemukan tipikal politisi seperti gambaran Rosen. Di depan
publik, para tersangka korupsi tak pernah terlihat malu. Sebaliknya, mereka
kerap berpose dan tersenyum. Seandainya mereka stres pun, lebih karena merasa
sedang apes sampai tertangkap. Mereka yang tertangkap akan menuding
pemberantasan korupsi tebang pilih. Atau menuding KPK punya motif politik
tertentu. Memang perilaku politisi dan para penyelenggara negara aneh-aneh.
Bahkan, tidak sedikit politisi yang di zaman dulu adalah
antek-antek Orde Baru dan tidak ikut berjuang dalam gelombang reformasi,
sekarang justru ongkang-ongkang kaki menduduki kursi jabatan tinggi negeri.
Tanpa malu, mereka menikmati hasil reformasi yang diperjuangkan oleh rakyat
dengan pikiran, tenaga, bahkan darah. Politisi rukun bukan untuk memperbaiki
demokrasi, melainkan untuk memburu kekuasaan. Politisi berkoar-koar ngurusi
partai lain, sudah biasa di panggung politik negeri ini. Maka, menagih malu
kepada mereka rasanya akan sia-sia. Di Jepang, menebus rasa malu dengan jalan
bunuh diri (seppuku) sebagai bentuk
pertanggungjawaban kesalahan atau kegagalan.
Maka, berdiri di dekat reruntuhan Genbaku Dome, saya terusik kata-kata filsuf Nietzsche. Terbayang
bangsa besar yang tahun ini genap 70 tahun bisa runtuh digerogoti korupsi.
Rasanya ingin little boy dijatuhkan
di negeri yang korup- tornya selalu tersenyum itu agar mereka
dibumihanguskan. Ah, di depan monumen tragedi kemanusiaan pada Perang Dunia
II di jantung kota Hiroshima, pikiran kok ngelantur tak karu-karuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar