Minggu, 07 Juni 2015

Tanda-tanda Keruntuhan...

Tanda-tanda Keruntuhan...

M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 06 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Corruption is simply the sign of the autumn of a nation 
(Friedrich Nietzsche, 1844-1900)

Di bawah terik matahari, di depan monumen bom atom (Genbaku Dome) di Hiroshima, Jepang, pekan lalu, terdengar rentetan kabar cukup mengejutkan dari Tanah Air. Kabar yang tersambung melalui jaringan internet sejauh 5.200-an kilometer dari Jakarta itu kira-kira begini: status tersangka mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo diminta dicabut oleh hakim tunggal Haswandi setelah Hadi memenangi permohonan praperadilan di PN Jakarta Selatan, Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso enggan memberikan laporan harta kekayaan dan justru meminta Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengisinya, dua kubu Partai Golkar bersedia islah tetapi demi pilkada, dan seterusnya.

Bom atom little boy yang dijatuhkan dari pesawat B-29 Superfortress bomber bernama Enola Gay pada 6 Agustus 1945 yang meluluhlantakkan kota Hiroshima serasa tengah dijatuhkan di bumi Indonesia. Bayangkan, agenda pemberantasan korupsi yang tak pernah tuntas selama era reformasi 17 tahun ini tak henti-hentinya mendapat perlawanan sengit. KPK tak pernah jeda dibombardir. Sejak permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG)-Kapolri gagal, tetapi kemudian menjadi Wakapolri-dikabulkan pada pertengahan Februari lalu, praperadilan menjadi senjata serangan balik yang ampuh bagi para tersangka korupsi. KPK pun sudah keok tiga kali. Selain BG, dua tamparan praperadilan lainnya diajukan Ilham Arief Sirajuddin (mantan Wali Kota Makassar) dan Hadi Poernomo yang juga mantan Ketua BPK.

Pemberantasan korupsi memang menjadi agenda bangsa di era reformasi, tetapi praktiknya luar biasa sulit. Sebab, musuh utama pemberantasan korupsi tak lain adalah penyelenggara negara, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Ini deviatif mengingat demokrasi menuntut transparansi dan akuntabilitas. Kata ilmuwan politik, Mark E Warren (What Does Corruption Mean in Democracy?, 2004) korupsi adalah defisit demokrasi karena merusak kultur, membuat inefisiensi, juga memperlebar jurang ketidakpercayaan. Di eksekutif, korupsi ditandai perilaku pejabat yang menyimpang dari norma, hukum, dan aspirasi masyarakat. Mereka hanya mencari keuntungan. Di legislatif, perilaku korup lewat kebijakan curang tidak sesuai harapan masyarakat. Perilaku koruptif di yudikatif karena putusan didasari motif dan kepentingan, bukan dalil hukum yang argumentatif dan demi keadilan.

Dalam terminologi Warren, ada individu atau kelompok yang dipercaya atau diberi mandat dengan diberi kekuasaan untuk mengambil keputusan kolektif, tetapi justru terputus dengan norma-norma. Dan, pelanggaran norma itu biasanya menguntungkan pribadi atau kelompok. Kasus-kasus korupsi yang selama ini terbongkar sejalan dengan alur pikiran tersebut. Anehnya, mengikuti pandangan sosiolog SH Alatas (1928-2007), justru mereka yang korupsi tidak merasakan telah melakukan pelanggaran norma. Dalam kultur masyarakat tertentu, boleh jadi upeti atau uang pelicin dianggap hal lumrah. Karena itu, mereka barangkali enggan mengakui bahwa korupsi, sebagaimana dikatakan Colin Nye (1967), adalah perilaku menyimpang dari tanggung jawab resmi karena kepentingan (pribadi, keluarga dekat, kelompok swasta), demi mengharapkan uang, status, atau pelanggaran aturan.

Tidak mengherankan, dalam posisi begitulah, Van Klaveren (1957) menyatakan, seorang pejabat korup menganggap kantor tempat kerjanya yang dibiayai uang rakyat justru sebagai tempat usaha sehingga mereka akan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Di sini pejabat korup kehilangan rasionalitas terhadap makna pengkhianatan, penipuan, atau kelalaian dalam urusan publik. Padahal, seharusnya menjadi tugas manusia modern untuk meletakkan logika berpikir yang bersih dan tidak sesat.

Saya teringat lagi David Rosen, konsultan politik pendiri The First Person. Menurut Rosen (2013), dalam psikologi politik dikenal enam kepribadian politisi: narsisistis (cari perhatian, ekshibisionis, pembohong, selalu mencari kambing hitam); obsessive compulsive (pekerja keras, teliti, tetapi sering ambigu); machiavellis (manipulator, selalu menguasai, mencari keuntungan pribadi); otoriter (menjilat atasan, mendominasi bawahan, konservatif, penuh prasangka); paranoid (penuh rahasia, mencurigakan, ragu-ragu pada kesetiaan, pemarah, pendendam, rendah diri); dan totaliter (kekuasaan dengan pesona dan teror, kultus individu, tetapi sangat jarang ditemui dalam sistem demokrasi elektoral).

Pertanyaannya, apakah para politisi, termasuk di negeri ini, selalu menderita kelainan seperti di atas? Tak mudah menjawabnya, tetapi juga tidak sulit menemukan tipikal politisi seperti gambaran Rosen. Di depan publik, para tersangka korupsi tak pernah terlihat malu. Sebaliknya, mereka kerap berpose dan tersenyum. Seandainya mereka stres pun, lebih karena merasa sedang apes sampai tertangkap. Mereka yang tertangkap akan menuding pemberantasan korupsi tebang pilih. Atau menuding KPK punya motif politik tertentu. Memang perilaku politisi dan para penyelenggara negara aneh-aneh.

Bahkan, tidak sedikit politisi yang di zaman dulu adalah antek-antek Orde Baru dan tidak ikut berjuang dalam gelombang reformasi, sekarang justru ongkang-ongkang kaki menduduki kursi jabatan tinggi negeri. Tanpa malu, mereka menikmati hasil reformasi yang diperjuangkan oleh rakyat dengan pikiran, tenaga, bahkan darah. Politisi rukun bukan untuk memperbaiki demokrasi, melainkan untuk memburu kekuasaan. Politisi berkoar-koar ngurusi partai lain, sudah biasa di panggung politik negeri ini. Maka, menagih malu kepada mereka rasanya akan sia-sia. Di Jepang, menebus rasa malu dengan jalan bunuh diri (seppuku) sebagai bentuk pertanggungjawaban kesalahan atau kegagalan.

Maka, berdiri di dekat reruntuhan Genbaku Dome, saya terusik kata-kata filsuf Nietzsche. Terbayang bangsa besar yang tahun ini genap 70 tahun bisa runtuh digerogoti korupsi. Rasanya ingin little boy dijatuhkan di negeri yang korup- tornya selalu tersenyum itu agar mereka dibumihanguskan. Ah, di depan monumen tragedi kemanusiaan pada Perang Dunia II di jantung kota Hiroshima, pikiran kok ngelantur tak karu-karuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar