Jumat, 05 Juni 2015

Perang Lawan Prostitusi

Perang Lawan Prostitusi

A Ilyas Ismail  ;   Dosen UIN Syarif Hidayatullah; Dekan FAI UIA Jakarta
REPUBLIKA, 03 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Akhir-akhir ini, Indonesia sering disebut sebagai negeri serbadarurat: darurat korupsi, darurat narkoba, darurat pornografi dan prostitusi. Tak kurang dari Mensos Khofifah Indar Parawansa, mendeklarasikan "darurat prostitusi" dan merekomendasikan agar dibentuk "Satgas Khusus Antipornografi dan Prostitusi".

Dari survei Google, Indonesia termasuk 10 negara paling banyak mengakses situs porno. Pada 2005, Indonesia menempati peringkat ketujuh, pada 2007 peringkat kelima, pada 2009 peringkat ketiga, dan pada 2014 peringkat kedua di bawah India. Data ini menunjukkan, Indonesia dalam hal akses situs porno terus menanjak dari waktu ke waktu dan berpeluang menjadi peringkat nomor wahid di dunia.

Banyak teori tentang sebab atau faktor mengapa banyak orang terjerumus ke lembah prostitusi. Roger Matthews mengaitkan prostitusi dengan rendahnya pendidikan dan training. Dalam risetnya, Roger menemukan bahwa 59 persen wanita menjadi PSK karena tidak memperoleh training dan pendidikan memadai. Tidak adanya akses pada pendidikan, ditengarai sebagai determinant factor yang menyeret wanita pada pelacuran (Roger Metthews, Exiting Prostitution: 2014).

Berbeda dengan Roger, Min Liu memandang materialisme, yaitu paham yang secara umum dimaknai sebagai hasrat yang tinggi untuk kaya dan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya agar bisa menikmati hidup, diidentifikasi sebagai faktor penentu maraknya pelacuran di masyarakat Cina pascareformasi. (Min Liu, Migration, Prostitution, and Human Trafficking: 2013).

Menarik disimak hasil penelitian mendalam Min Liu tentang prostitusi. Dalam temuan Liu, materialisme adalah faktor utama pelacuran. Argumennya dikemukakan begini. Materialisme memompa semangat untuk kaya atau menjadi kaya tanpa peduli dari mana kekayaan itu diperoleh, halal atau haram. Hasrat untuk kaya, menurut Liu, adalah etos paling kuat dalam paham materialisme. Masyarakat yang materialistik-hedonistik mencela kemiskinan, tetapi mereka tidak mencela pelacuran dan bisnis perempuan.

Selain materialisme, masih menurut temuan Liu, faktor berikutnya adalah rendahnya pendidikan dan pelatihan. Dalam penelitian Liu ditemukan, hasrat yang tinggi untuk kaya di satu pihak, tetapi tidak ada kapasitas dan kapabilitas karena rendahnya pendidikan di lain pihak, menjadi faktor dominan yang paling banyak menyeret orang terjerumus ke lembah pelacuran.

Dalam wawancara yang dilakukan Liu terhadap sejumlah PSK, diperoleh jawaban sama, yaitu mereka terjerumus ke dunia hitam karena ingin kaya dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Tanpa pendidikan dan tanpa uang, mereka tidak dapat diserap dan bekerja di sektor-sektor pekerjaan yang formal (baca: halal). Maka untuk menjadi kaya dan banyak uang, jalan satu-satunya yang bisa ditempuh adalah melacur. Oleh sebab itu, prostitusi disebut Liu sebagai "to take a shortcut to making money".

Rekomendasi

Untuk melawan prostitusi, banyak solusi dan rekomendasi yang bisa ditawarkan. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengusulkan agar prostitusi dilegalisasi dan dilokalisasi demi ketertiban umum dan demi mengambil risiko atau mudarat lebih rendah (al-akhd bi akhaff al-dhararayn). Namun, usulan ini ditolak dan dikecam banyak pihak karena prostitusi, sebagai biang kejahatan (umm al-khaba’its) harus diberantas, bukan ditoleransi apalagi dilegalisasi.

Usulan lain adalah penegakan hukum terhadap UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. UU ini sudah lama disahkan tetapi kurang kuat dalam implementasi dan pelaksanannya. Dalam kaitan ini, pihak kepolisian diharapkan mampu menegakkan UU ini sehingga bisa menertibkan dan dalam jangka panjang, membebaskan masyarakat dari berbagai bentuk pelacuran baik yang terselubung, remang-remang, nyata, dan terbuka, sampai pada praktik pelacuran yang menggunakan media sosial (prostitusi online) yang belakangan makin ngetren.

Usulan lain adalah pemberian sanksi dan hukuman berat bagi pihak yang terlibat pornografi dan postitusi. Hukuman berat itu tidak hanya bagi wanita, tetapi juga bagi laki-laki hidung belang dan muncikari serta pihak yang terlibat dan mem-back-up kegiatan prostitusi. Pengalaman Swedia bisa dijadikan contoh dalam penerapan hukuman berat ini sehingga negeri itu berhasil menurunkan angka prostitusi 70 persen hingga 80 persen dalam waktu relatif pendek.

Di atas semua itu, usulan paling rasional, strategis, dan jangka panjang, menurut hemat penulis, adalah upaya penguatan dan pemberdayaan pendidikan kita. Yang penulis maksud dengan pendidikan di sini adalah pendidikan dalam arti umum dan khusus.

Dalam arti umum, pendidikan harus diperkuat sebagai hak konstitusional setiap warga bangsa. Pemerintah, seperti diamanatkan konstitusi, harus mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional (Pasal 31 UUD 1945). Namun, sayangnya, sampai saat ini, setelah 69 tahun medeka, amanat konstitusional ini masih jauh dari kenyataan.

Pendidikan kita tak kunjung bisa keluar dari dua problem besar, yaitu problem akses dan problem kualitas. Belajar dari negara-negara yang lebih maju, pendidikan selalu menjadi prioritas dan diutamakan. Program Wajar 12 tahun bahkan hingga sarjana merupakan keharusan yang tak bisa ditawar-tawar.

Dalam arti khusus, pendidikan harus mempertinggi iman-takwa (imtak). Asumsi dasarnya bahwa kalau seseorang beriman, maka ia tidak akan melacur dan menjual diri meskipun lapar atau diimpit kemiskinan. "Agama adalah nasihat," begitu sabda Rasul, yakni arahan dan bimbingan kepada kebaikan dan kemuliaan (HR Muslim).

Untuk mencegah pornografi dan prostitusi, dalam pendidikan arti khusus ini, Nicharee Thiemklin merekomendasikan agar peserta didik diberikan pemahaman yang lebih baik mengenai empat hal berikut. Pertama, memahami kedudukan manusia sebagai mahkluk tertinggi ciptaan Tuhan, yang dalam bahasa agama kita dinamakan khalifatullah fi al-ardh.

Kedua, memahami kehormatan dan kemuliaan manusia, termasuk hak-hak dasar (HAM) dan hak untuk memenuhi kebutuhan pokok [baca: seksualitas)-nya secara benar dan bertanggung jawab. Ketiga, menumbuhkan semangat dan motivasi yang tinggi untuk berbuat baik atau semacam menumbuhkan kecerdasan moral agar peserta didik bisa dan membiasakan diri bersikap etis dan bertindak benar.

Keempat, ada kontrol yang lebih kuat dari masyarakat tentang pergaulan dan hubungan laki-laki dan perempuan, baik di sekolah, dunia kerja, dan di tengah-tengah masyarakat agar tidak terjebak ke dalam kehidupan yang permisif dan hedonis. (Nicharee Thiemklin, "Participatory Action Research", 2007).

Di samping keempat hal di atas, Thiemklin merekomendasikan satu hal lagi, yaitu penguatan fungsi keluarga. Sebab, dalam pengamatannya, kasus-kasus prostitusi dan perdagangan perempuan di Thailand, India, dan di tempat lain, termasuk di Indonesia, mesti melibatkan pihak (anak-anak) yang kurang mendapat perhatian dalam keluarga. Pandangan Thiemklin ini tampak klise dan normatif, tetapi itulah kenyataan yang terjadi dan tak terbantahkan.

Di sinilah, hemat penulis, letak pentingnya fungsi pendidikan. Strategi penguatan pendidikan dengan kedua maknanya, seperti dikemukakan di atas, berpeluang besar untuk mengurangi angka prostitusi dalam jangka panjang. Manusia yang terdidik, memiliki kompetensi, serta memiliki pekerjaan dan peghasilan tetap, ditambah dukungan moral dan agama yang kuat, insya Allah, dijamin, ia tidak akan melacur dan menjual diri.

Perang melawan prostitusi, seperti perang melawan semua kejahatan, jika ingin berhasil (baca: menang), haruslah dimulai dari revolusi spiritual (transendensi), lalu revolusi mental (perbaikan moral dan keluhuran budi), dan berikutnya revolusi institusional (perbaikan lembaga-lembaga tinggi negara) untuk selanjutnya terjadi akselerasi dan transformasi [bukan involusi] sosial dan kultural seperti diharapkan.

Tanpa perbaikan semua itu, pernyataan perang akan terasa hambar alias kurang bermakna, dan bisa-bisa membunuh diri sendiri karena pada kenyataanya sebagai bangsa kita tak sanggup memperbaiki kehidupan rakyat dan tak berdaya memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, baik dalam lingkup ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan bersama meski sudah hampir 70 tahun hidup merdeka. Wallahu a`lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar