Perang
Lawan Prostitusi
A Ilyas Ismail ; Dosen UIN Syarif Hidayatullah; Dekan FAI
UIA Jakarta
|
REPUBLIKA, 03 Juni 2015
Akhir-akhir ini,
Indonesia sering disebut sebagai negeri serbadarurat: darurat korupsi,
darurat narkoba, darurat pornografi dan prostitusi. Tak kurang dari Mensos
Khofifah Indar Parawansa, mendeklarasikan "darurat prostitusi" dan
merekomendasikan agar dibentuk "Satgas Khusus Antipornografi dan
Prostitusi".
Dari survei Google,
Indonesia termasuk 10 negara paling banyak mengakses situs porno. Pada 2005,
Indonesia menempati peringkat ketujuh, pada 2007 peringkat kelima, pada 2009
peringkat ketiga, dan pada 2014 peringkat kedua di bawah India. Data ini
menunjukkan, Indonesia dalam hal akses situs porno terus menanjak dari waktu ke
waktu dan berpeluang menjadi peringkat nomor wahid di dunia.
Banyak teori tentang
sebab atau faktor mengapa banyak orang terjerumus ke lembah prostitusi. Roger
Matthews mengaitkan prostitusi dengan rendahnya pendidikan dan training. Dalam risetnya, Roger
menemukan bahwa 59 persen wanita menjadi PSK karena tidak memperoleh training
dan pendidikan memadai. Tidak adanya akses pada pendidikan, ditengarai
sebagai determinant factor yang menyeret wanita pada pelacuran (Roger Metthews, Exiting Prostitution: 2014).
Berbeda dengan Roger,
Min Liu memandang materialisme, yaitu paham yang secara umum dimaknai sebagai
hasrat yang tinggi untuk kaya dan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya
agar bisa menikmati hidup, diidentifikasi sebagai faktor penentu maraknya pelacuran
di masyarakat Cina pascareformasi. (Min
Liu, Migration, Prostitution, and Human Trafficking: 2013).
Menarik disimak hasil
penelitian mendalam Min Liu tentang prostitusi. Dalam temuan Liu,
materialisme adalah faktor utama pelacuran. Argumennya dikemukakan begini.
Materialisme memompa semangat untuk kaya atau menjadi kaya tanpa peduli dari
mana kekayaan itu diperoleh, halal atau haram. Hasrat untuk kaya, menurut
Liu, adalah etos paling kuat dalam paham materialisme. Masyarakat yang
materialistik-hedonistik mencela kemiskinan, tetapi mereka tidak mencela
pelacuran dan bisnis perempuan.
Selain materialisme,
masih menurut temuan Liu, faktor berikutnya adalah rendahnya pendidikan dan
pelatihan. Dalam penelitian Liu ditemukan, hasrat yang tinggi untuk kaya di
satu pihak, tetapi tidak ada kapasitas dan kapabilitas karena rendahnya
pendidikan di lain pihak, menjadi faktor dominan yang paling banyak menyeret
orang terjerumus ke lembah pelacuran.
Dalam wawancara yang
dilakukan Liu terhadap sejumlah PSK, diperoleh jawaban sama, yaitu mereka
terjerumus ke dunia hitam karena ingin kaya dan mengumpulkan uang
sebanyak-banyaknya. Tanpa pendidikan dan tanpa uang, mereka tidak dapat
diserap dan bekerja di sektor-sektor pekerjaan yang formal (baca: halal).
Maka untuk menjadi kaya dan banyak uang, jalan satu-satunya yang bisa
ditempuh adalah melacur. Oleh sebab itu, prostitusi disebut Liu sebagai "to take a shortcut to making
money".
Rekomendasi
Untuk melawan
prostitusi, banyak solusi dan rekomendasi yang bisa ditawarkan. Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengusulkan agar prostitusi dilegalisasi dan
dilokalisasi demi ketertiban umum dan demi mengambil risiko atau mudarat
lebih rendah (al-akhd bi akhaff
al-dhararayn). Namun, usulan ini ditolak dan dikecam banyak pihak karena
prostitusi, sebagai biang kejahatan (umm
al-khaba’its) harus diberantas, bukan ditoleransi apalagi dilegalisasi.
Usulan lain adalah
penegakan hukum terhadap UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. UU ini
sudah lama disahkan tetapi kurang kuat dalam implementasi dan pelaksanannya.
Dalam kaitan ini, pihak kepolisian diharapkan mampu menegakkan UU ini
sehingga bisa menertibkan dan dalam jangka panjang, membebaskan masyarakat
dari berbagai bentuk pelacuran baik yang terselubung, remang-remang, nyata,
dan terbuka, sampai pada praktik pelacuran yang menggunakan media sosial
(prostitusi online) yang belakangan makin ngetren.
Usulan lain adalah
pemberian sanksi dan hukuman berat bagi pihak yang terlibat pornografi dan
postitusi. Hukuman berat itu tidak hanya bagi wanita, tetapi juga bagi
laki-laki hidung belang dan muncikari serta pihak yang terlibat dan
mem-back-up kegiatan prostitusi. Pengalaman Swedia bisa dijadikan contoh
dalam penerapan hukuman berat ini sehingga negeri itu berhasil menurunkan
angka prostitusi 70 persen hingga 80 persen dalam waktu relatif pendek.
Di atas semua itu,
usulan paling rasional, strategis, dan jangka panjang, menurut hemat penulis,
adalah upaya penguatan dan pemberdayaan pendidikan kita. Yang penulis maksud
dengan pendidikan di sini adalah pendidikan dalam arti umum dan khusus.
Dalam arti umum,
pendidikan harus diperkuat sebagai hak konstitusional setiap warga bangsa.
Pemerintah, seperti diamanatkan konstitusi, harus mencerdaskan kehidupan
bangsa dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional (Pasal 31 UUD
1945). Namun, sayangnya, sampai saat ini, setelah 69 tahun medeka, amanat
konstitusional ini masih jauh dari kenyataan.
Pendidikan kita tak
kunjung bisa keluar dari dua problem besar, yaitu problem akses dan problem
kualitas. Belajar dari negara-negara yang lebih maju, pendidikan selalu
menjadi prioritas dan diutamakan. Program Wajar 12 tahun bahkan hingga
sarjana merupakan keharusan yang tak bisa ditawar-tawar.
Dalam arti khusus,
pendidikan harus mempertinggi iman-takwa (imtak). Asumsi dasarnya bahwa kalau
seseorang beriman, maka ia tidak akan melacur dan menjual diri meskipun lapar
atau diimpit kemiskinan. "Agama adalah nasihat," begitu sabda
Rasul, yakni arahan dan bimbingan kepada kebaikan dan kemuliaan (HR Muslim).
Untuk mencegah
pornografi dan prostitusi, dalam pendidikan arti khusus ini, Nicharee
Thiemklin merekomendasikan agar peserta didik diberikan pemahaman yang lebih
baik mengenai empat hal berikut. Pertama, memahami kedudukan manusia sebagai
mahkluk tertinggi ciptaan Tuhan, yang dalam bahasa agama kita dinamakan khalifatullah fi al-ardh.
Kedua, memahami
kehormatan dan kemuliaan manusia, termasuk hak-hak dasar (HAM) dan hak untuk
memenuhi kebutuhan pokok [baca: seksualitas)-nya secara benar dan bertanggung
jawab. Ketiga, menumbuhkan semangat dan motivasi yang tinggi untuk berbuat
baik atau semacam menumbuhkan kecerdasan moral agar peserta didik bisa dan
membiasakan diri bersikap etis dan bertindak benar.
Keempat, ada kontrol
yang lebih kuat dari masyarakat tentang pergaulan dan hubungan laki-laki dan
perempuan, baik di sekolah, dunia kerja, dan di tengah-tengah masyarakat agar
tidak terjebak ke dalam kehidupan yang permisif dan hedonis. (Nicharee Thiemklin, "Participatory
Action Research", 2007).
Di samping keempat hal
di atas, Thiemklin merekomendasikan satu hal lagi, yaitu penguatan fungsi
keluarga. Sebab, dalam pengamatannya, kasus-kasus prostitusi dan perdagangan
perempuan di Thailand, India, dan di tempat lain, termasuk di Indonesia,
mesti melibatkan pihak (anak-anak) yang kurang mendapat perhatian dalam
keluarga. Pandangan Thiemklin ini tampak klise dan normatif, tetapi itulah
kenyataan yang terjadi dan tak terbantahkan.
Di sinilah, hemat
penulis, letak pentingnya fungsi pendidikan. Strategi penguatan pendidikan
dengan kedua maknanya, seperti dikemukakan di atas, berpeluang besar untuk
mengurangi angka prostitusi dalam jangka panjang. Manusia yang terdidik,
memiliki kompetensi, serta memiliki pekerjaan dan peghasilan tetap, ditambah
dukungan moral dan agama yang kuat, insya Allah, dijamin, ia tidak akan
melacur dan menjual diri.
Perang melawan
prostitusi, seperti perang melawan semua kejahatan, jika ingin berhasil
(baca: menang), haruslah dimulai dari revolusi spiritual (transendensi), lalu
revolusi mental (perbaikan moral dan keluhuran budi), dan berikutnya revolusi
institusional (perbaikan lembaga-lembaga tinggi negara) untuk selanjutnya
terjadi akselerasi dan transformasi [bukan involusi] sosial dan kultural
seperti diharapkan.
Tanpa
perbaikan semua itu, pernyataan perang akan terasa hambar alias kurang
bermakna, dan bisa-bisa membunuh diri sendiri karena pada kenyataanya sebagai
bangsa kita tak sanggup memperbaiki kehidupan rakyat dan tak berdaya memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal, baik dalam lingkup ekonomi, politik,
pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan bersama meski sudah hampir 70 tahun
hidup merdeka. Wallahu a`lam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar