Praperadilan
dan Permasalahannya
Indriyanto Seno Adji ; Guru Besar Hukum Pidana;
Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu
Hukum
|
KOMPAS, 05 Juni 2015
Pernah Holmes, seorang pakar hukum, mengatakan bahwa hukum yang
baik tidak terletak pada apa yang tertulis secara indah, tetapi apa yang
telah diimplementasikan dengan baik oleh aparatur penegak hukum. Dalam sistem peradilan pidana, hubungan hukum dengan hakim
memiliki irama searah, baik itu untuk kepastian hukum maupun tuntutan keadilan
bagi masyarakat.
Hukum dan hakim itu ibarat hubungan antara orangtua dan anaknya,
terikat suatu hubungan yang dinamis, karena itu perkembangan segala
permasalahan hukum akan senantiasa terlihat pada peran aktif dari hakim.
Namun, peran aktif hakim sebagai freedom
of judges itu selayaknya tidak dimaknai dengan tanpa batas karena
kebebasan itu memiliki batas-batas yang tidak menimbulkan suatu kebebasan
yang mencerminkan detournement de
pouvoir (penyalahgunaan wewenang) ataupun abus de droit (sewenang-wenang), khususnya dalam kerangka
pelaksanaan upaya paksa (coercieve
force atau dwang middelen)
terhadap tersangka.
Upaya paksa
International Covenant on
Civil Political Rights
(ICCPR) telah menegaskan bahwa lembaga kontrol terhadap pelaksanaan upaya
paksa adalah badan peradilan, yang antara lain pada negara dengan sistem common law, yaitu lembaga Magistrate Court dan lembaga Rechter Commissaris (Belanda) pada
sistem civil law. Pasal 9 ICCPR
adalah landas perlindungan hak asasi tersangka terhadap pelaksanaan upaya
paksa, khususnya terhadap tindakan penangkapan (arrested) dan penahanan (detained),
khususnya prinsip "promptly and
speedy trial" bagi tersangka yang dikenai upaya paksa tersebut.
Dalam KUHAP, memang sudah diatur mengenai kontrol atas
pelaksanaan upaya paksa dari aparatur penegak hukum, yaitu melalui lembaga
praperadilan, khususnya, dan terbatas pada Pasal 77 KUHAP, yaitu kewenangan
hakim memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, atau penghentian penuntutan.
Dalam pemahaman yang demikian, hakim praperadilan ini hanya
memiliki kewenangan menguji (examinating
judge) terhadap pelaksanaan beberapa upaya paksa sehingga hakim tidak
diberikan suatu kewenangan yang lebih luas dan mencakup investigating judge.
Dengan pemahaman demikian, hakim praperadilan dengan
kewenangan examinating (pengujian),
dalam hal ini haruslah diartikan bahwa pengujiannnya adalah secara formal
administratif dan sama sekali tidak dalam pemahaman kewenangan investigating luas terhadap keabsahan
tidaknya suatu alat bukti dari sangkaan atas unsur-unsur delik, yang tentunya
justru menjadi kewenangan dari hakim pengadilan yang melakukan pemeriksaan
(penyidikan) atas perkara pokoknya.
Pemahaman kewenangan investigating
adalah menentukan keabsahan tidaknya alat bukti, yang dalam sistem peradilan
pidana Indonesia, tidak menjadi otoritas hakim praperadilan melakukan
penilaiannya. Ini merupakan basis hukum yang memberikan perbedaan nyata
dengan lembaga pre trial pada
sistem common law. Amerika Serikat
mengenal lembaga pre trial dengan
tiga acara proses yang meliputi arraignment
(sangkaan dibacakan di depan hakim dan ditanyakan sikap, bersalah atau tidak
(guilty atau not guilty), preliminary
hearing (ada tidaknya probable
cause atau alasan kuat tersangka telah melakukan tindak pidana), dan pre trial conference (perencanaan
sidang pengadilan, termasuk hak-hak berperkara dan pembuktian).
Perlu dipahami bahwa pada
proses pre trial conference, magistrate
court sama sekali tidak melakukan pengujian dan penyidikan terhadap alat
bukti berkaitan dengan sangkaan terhadap tersangka karena kontrol keabsahan
perolehan alat bukti dari penegak hukum diselaraskan dari exclusionary rules pada saat
pemeriksaan sangkaan di persidangan pokok, yaitu court trial dan bukan pada pre
trial. Permasalahan inilah yang
berkembang sebagai persoalan hukum dalam praktik lembaga praperadilan
terhadap penegakan hukum, termasuk perkara korupsi, manakala penetapan
tersangka, adanya pendapat berkembang untuk membuktikan adanya dua alat bukti
di hadapan persidangan hakim praperadilan.
Dua alat bukti
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 21/PUU-XII/2014 tanggal
28 April 2015 selain memperluas obyek gugatan praperadilan pada Pasal 77
KUHAP yang meliputi pula penetapan tersangka dan pemahaman "bukti permulaan yang cukup"
(Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat 1 KUHAP).
Hulu pertimbangan putusan ini adalah contoh pengujian terhadap
keabsahan perolehan alat bukti atau illegal
secured evidence yang menjadi pengaturan dari exclusionary rules, yaitu dari kasus Dominique Khan yang
disangkakan melakukan pemerkosaan terhadap Nafissatou Diallo tahun 2011 di
Magistrates Court New York karena perolehan alat bukti penegak hukum dianggap
melanggar rights of protection by the
state, disciplining the police, dan the legitimacy of the verdict.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kedua lembaga ini (pre trial dan praperadilan) memiliki
kesamaan, yaitu hakim sama-sama berperan aktif pada proses sebelum
persidangan (materi/pokok) perkaranya, sedangkan perbedaannya terletak pada
wewenang hakim yang melekat dari lembaga tersebut.
Pada pre trial, hakim mempunyai kewenangan tidak saja sebagai examinating judge, tetapi juga
mencakup wewenang investigating judge.
Sementara pada hakim praperadilan hanya memiliki wewenang terbatas pada examinating judge dan itu pun tidak
terhadap wewenang pengujian seluruh upaya paksa yang dilaknsanakan oleh penyidik, khususnya
tidak melakukan pengujian terhadap alat bukti, bahkan keabsahan alat bukti
yang dikaitkan dengan sangkaan atas unsur-unsur delik.
Penegak hukum, bukan KPK saja, tetapi juga Polri dan Kejaksaan,
harus mempersiapkan arus praperadilan dengan wajah baru berdua sisi ini,
yaitu sebagai alas hak perlindungan dan penghargaan hak asasi tersangka,
tetapi di sisi lain juga dapat memberikan risiko besar atas pemberatasan
kejahatan (korupsi).
Pertama, Pasal 9 ICCPR sama sekali tak memberikan suatu tindakan
bahwa bukti permulaan yang cukup, dengan dua alat bukti sebagai dasar
penetapan tersangka adalah imperatif ditunjukkan di hadapan hakim pra
peradilan, apalagi apabila dua alat bukti ini dikaitkan dengan unsur-unsur
delik.
Kedua, kewajiban menunjukkan dua alat bukti di hadapan sidang
hakim praperadilan merupakan suatu "reversal
of evidence processing", yang tegas dan jelas bertentangan dengan
prosesual pidana yang hanya bisa dilakukan pengujian maupun penyidikan alat
bukti di hadapan hakim pada pemeriksaan perkara pokok/materi.
Ketiga, kewajiban menunjukkan dua alat bukti di hadapan hakim
praperadilan justru riskan dan membahayakan penegakan hukum terhadap
pemberantasan korupsi sehingga membuka peluang besar pihak terkait
(tersangka/saksi) untuk menyamarkan alat bukti, baik dengan cara
menghilangkan, mengaburkan, maupun merusak alat bukti.
Keempat, dalam proses pra-ajudikasi (penyelidikan, penyidikan,
atau penuntutan), pengujian dua alat bukti di hadapan hakim praperadilan
bertentangan dengan dasar dan filosofi tertutup dan bersifat rahasia.
Menentukan "bukti permulaan yang cukup" (dua alat bukti) merupakan
diskresi penuh penyidik, dengan filosofi tertutup dan rahasia adalah sebagai
alasan adanya niat buruk pihak terkait untuk menyamarkan alat bukti. Karena
itu, pengujian alat bukti secara terbuka menjadi otoritas penuh dari hakim
bagi pemeriksaan pokok/materi (Pasal 184 KUHAP), bukan wewenang hakim
praperadilan.
Akhirnya, perbuatan yang menimbulkan potensi kerugian negara yang sangat
signifikan, dalam kasus per kasus, tidak seharusnya diabaikan dengan alasan
prosesual keabsahan tidaknya dua alat bukti yang bahkan bukan domain hakim praperadilan. Karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut (halaman 106)
menegaskan bahwa perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan
bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya
tindak pidana sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan
kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar