Menghindari Perangkap
Muhammad Syarkawi Rauf ; Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha
|
KOMPAS, 20 Juni 2015
Pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada triwulan pertama 2015 sebesar 4,71 persen, lebih rendah
dibandingkan triwulan yang sama 2014 sebesar 5,14 persen. Secara tahunan,
pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan tidak akan mencapai 5,8 persen
sesuai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
Pelambatan pertumbuhan
disebabkan pada dua faktor: (1) Faktor internal terkait lambatnya realisasi
belanja pembangunan infrastruktur pemerintah. (2) Faktor eksternal terkait
penurunan harga komoditas tambang dan perkebunan di pasar internasional,
pelambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, dan rencana kenaikan suku bunga
acuan di Amerika Serikat (Kompas, 21/5).
Sejujurnya, kedua
faktor di atas hanyalah gejala dari permasalahan sebenarnya, yaitu lemahnya
institusi ekonomi nasional. Institusi ekonomi yang meliputi peraturan,
kebijakan, kelembagaan, norma, dan lainnya tidak memberikan insentif untuk
berinvestasi dan berinovasi.
Hal ini sejalan dengan
pandangan dua profesor ekonomi, Daron Acemoglu dari Massachusetts Institute of Technology dan James A Robinson dari
Universitas Harvard yang menulis buku Why
Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty, dan dalam
waktu singkat menjadi rujukan di seluruh dunia.
Keduanya berkesimpulan
bahwa kemiskinan di negara miskin bukan karena faktor geografis atau budaya,
tetapi karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat. Negara gagal
karena institusi ekonominya bersifat ekstraktif yang hanya menguntungkan
segelintir pelaku usaha (oligopolis).
Institusi ekonomi
Dengan previlese
institusi ekonomi nasional, perdagangan komoditas dikuasai segelintir
importir dan pedagang besar yang memiliki jaringan distribusi hingga ke
konsumen akhir (terintegrasi secara vertikal). Pola ini belum sepenuhnya
hilang setelah dua dekade era reformasi.
Perekonomian nasional
didominasi para pemburu rente (rent
seeker) yang berspekulasi mengambil margin harga tinggi memanfaatkan
situasi pasar yang tidak stabil. Tindakan tersebut menguntungkan dalam jangka
pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang karena menghambat industrialisasi
(hilirisasi).
Perburuan rente
dilakukan dengan cara bersekongkol untuk menetapkan harga (price fixing), membagi wilayah
pemasaran (market allocation),
membatasi produksi (output restriction),
persekongkolan tender (collusive bid
rigging), penetapan harga dalam rangka mematikan pesaing (predatory pricing), dan lainnya.
Tidak terhindarkan,
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada lebih dari satu dekade terakhir hanya
ditopang oleh kegiatan ekonomi ekstraktif yang dikontrol segelintir pelaku
usaha (sisi pasokan). Sementara dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi
Indonesia sangat tergantung kepada konsumsi rumah tangga (sisi permintaan).
Pertumbuhan ekonomi
Indonesia jauh dari kata inklusif lantaran penggerak utamanya di berbagai
sektor masih terkonsentrasi kepada segelintir oligopolis yang memiliki market power (kekuatan mengontrol
harga). Faktanya, model pertumbuhan ekonomi seperti ini tidak hanya rapuh,
tetapi sekaligus tidak berkelanjutan.
Mayoritas kegiatan
ekonomi nasional terkonsentrasi tinggi. Di mana terdapat beberapa pelaku
usaha yang menguasai pasar, seperti yang dapat dilihat pada perdagangan
komoditas pangan, industri
otomotif, sektor perbankan,
transportasi udara, industri komponen, dan lainnya.
Arusutamakan persaingan
Institusi ekonomi
nasional yang buruk melahirkan ancaman middle income trap (MIT), yaitu
situasi suatu negara yang terjebak sebagai perekonomian yang mengandalkan
buruh murah (low wage producer)
dengan sedikit pekerja berketerampilan tinggi, sebagai inovator (highly skill, fast moving operator).
Kelompok negara ini
tidak lagi bisa mengandalkan keunggulan ketersediaan buruh murah dan juga
tidak bisa bersaing dengan negara maju yang sudah memiliki keunggulan pada
tenaga kerja berketerampilan tinggi. Negara ini hanya melayang-layang di
tengah, tidak bisa naik kelas menjadi negara maju.
Secara teknis, perekonomian
Indonesia telah memasuki perangkap karena lebih dari 28 tahun berpendapatan
per kapita di bawah 11.750 dollar AS, yaitu batas pendapatan negara dalam
middle income group. Di mana batasan pendapatan per kapita dikategorikan low income group di bawah 2.000 dollar
AS, middle income group antara 2.000-11.750 dollar AS dan high income group di atas 11.750
dollar AS (ADB, 2013).
Target pemerintah
Jika pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per
tahun dalam lima tahun ke depan, maka maksimum pendapatan per kapita yang
dapat dicapai hanya 5.918 dollar AS pada 2019 dan 12.458 dollar AS pada 2030.
Pengalaman Korea yang berstatus negara maju
pada 2000 dan Jepang 1970-an, adalah karena pertumbuhan ekonominya ditopang
oleh pertumbuhan total factor productivity (TFP). Di mana TFP growth
dikaitkan dengan intangible asset, seperti kemampuan inovasi dan
keterampilan.
Sehingga opsi bagi
Jokowi-JK tidak boleh dibatasi pada "revolusi mental", tetapi juga
"revolusi produksi" dengan cara mendorong pertumbuhan produktivitas
melalui kebijakan ihwal persaingan.
Jalur transmisinya
melalui tiga saluran, yaitu: (1) Persaingan mendorong efisiensi penggunaan
sumber daya. (2) Persaingan menghilangkan barrier
to entry and exit. (3) Persaingan memberikan insentif melakukan inovasi
serta penelitian dan pengembangan (R&D).
Di mana, hanya ada
satu cara mempertahankan pertumbuhan tinggi dalam jangka panjang, yaitu
mengakselerasi pertumbuhan produktivitas melalui persaingan sehat. Pemerintah
dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai otoritas persaingan harus
membangun konsensus untuk melindungi persaingan bukan pesaing.
Hal itu sejalan dengan
Paul Krugman, yang menyatakan bahwa: "productivity
isn't everything, but in the long run it is almost everything". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar