Peran Politik Ormas Islam
Masdar Hilmy ; Akademisi dan Wakil Direktur Pascasarjana
UIN
Sunan Ampel, Surabaya
|
KOMPAS, 20 Juni 2015
Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, dua organisasi massa Islam moderat di Indonesia, hendak
bermuktamar Agustus mendatang. Sekalipun kedua ormas itu dikenal sebagai
gerakan masyarakat sipil yang memfokuskan diri pada pemberdayaan umat, bukan
berarti keduanya tak memainkan peran politik sama sekali.
Memang, peran politik
yang dimainkan keduanya bukan dalam pengertian low politics (politik praktis-kekuasaan), melainkan high politics (politik kebangsaan,
kemasyarakatan, dan kemanusiaan).
Formula peran politik
semacam ini mengakibatkan kedua ormas tersebut menjaga jarak dari politik
keseharian karena telanjur dianggap wilayah kotor, dekil, dan korup.
Sementara itu, wilayah high politics dianggap lebih mulia, agung, dan
terhormat. Dengan formula tersebut, ormas terkesan hendak "cuci
tangan" dari segala bentuk kebobrokan dan kekumuhan wilayah low
politics. Pendek kata, ormas seakan tidak mau ambil bagian dalam upaya
memperbaiki kondisi politik bangsa dan membiarkannya memperbaiki dirinya
sendiri.
Kegagalan ormas
Upaya
"membersihkan" kumuhnya realitas politik kita bukan tidak pernah
sama sekali dilakukan kedua ormas itu. Bahkan, Nahdlatul Ulama (NU) pernah
terjun dalam gelanggang politik praktis sebagai parpol pada 1952 dan berhasil
masuk tiga besar pada Pemilu 1955-setelah PNI dan Masyumi.
Meski demikian,
keterlibatan NU belum berhasil membuat kondisi politik praktis lebih baik
hingga NU bergabung dengan partai-partai Islam lain pada 1973 ketika Presiden
Soeharto melakukan fusi partai-partai Islam ke dalam PPP.
Pasca penggabungan,
nasib NU bahkan lebih tragis lagi. Di tubuh PPP sendiri, NU merasa selalu
menjadi korban politisasi. Gus Dur sering menggambarkan NU sebagai
"pendorong" mobil mogok; begitu mobilnya berjalan, NU pun
ditinggalkan. Kondisi semacam ini mendorong para kiai membawa NU kembali ke
khitahnya pada Muktamar Ke-27 NU di Situbondo pada 1984. Khitah NU menghendaki
netralitas kaum Nahdliyin dalam politik praktis. Sekalipun kontroversial,
gerakan kembali ke khitah terbukti ampuh mengembalikan elan vital NU sebagai
gerakan masyarakat sipil yang disegani.
Ketika rezim Orde Baru
runtuh pada 1998, energi NU dan Muhammadiyah untuk berpartisipasi dalam
memperbaiki kondisi politik bangsa menemukan momentumnya. Sekalipun tidak
terjun secara langsung, keduanya terlibat dalam pembentukan parpol yang
didukung oleh keduanya; PKB oleh NU dan PAN oleh Muhammadiyah.
Hingga kini, kedua
parpol tersebut telah malang melintang dalam belantika perpolitikan nasional.
Namun, kontribusi positif keduanya dalam memperbaiki, mencerahkan, dan
mencerdaskan nalar politik kita masih jauh panggang dari api.
Harus diakui, kiprah
NU dan Muhammadiyah memang lebih banyak berada di luar domain politik
praktis. Hampir tidak ada domain yang lepas dari sepak terjang keduanya;
sosial-pendidikan, ekonomi dan budaya. Prestasi dan kontribusi keduanya pun
tak perlu diragukan lagi. Menjamurnya pesantren, lembaga pendidikan, amal
usaha dan zakat, hingga unit-unit advokasi dan bantuan hukum adalah bukti
empiris kerja-kerja pemberdayaan umat oleh keduanya. Belum lagi jika kita
melihat indikator kuantitatif lain: membeludaknya pendaftar jemaah haji dan
umrah, meningkatnya pemakai busana muslim, banyaknya masjid baru,
meningkatnya transaksi ekonomi syariah, dan semacamnya.
Di luar "cerita
sukses" keduanya di bidang tersebut di atas, rasanya masih ada yang
tersisa: domain politik praktis. Kesuksesan NU dan Muhammadiyah dalam
mencerahkan entitas politik yang kotor, dekil, dan korup itu tentu saja akan
melengkapi "cerita sukses" keduanya di bidang-bidang di atas. Dalam
konteks ini, rasanya tidak berlebihan jika kita berharap kedua ormas tersebut
melakukan langkah nyata demi perbaikan dan pencerahan jagat politik kita di
saat parpol-parpol yang ada tidak bisa diharapkan.
Tuntutan terhadap
keterlibatan, partisipasi, dan intervensi kedua ormas itu dalam membenahi dan
memperbaiki realitas politik kita sudah sedemikian kuat. Jika kita melihat
realitas politik kita, siapa pun akan merasa prihatin dengan akutnya
degradasi moral para politisi dan parpol kita saat ini. Pertama, parpol dan
politisi kita menjadi semakin pragmatis, hedonis, dan kapitalis. Korupsi
mewabah, tidak hanya menjangkiti kaum elite-terdidik, tetapi juga kaum papa
dan rakyat jelata.
Kedua, sejumlah parpol
yang mengklaim sebagai partai agamais ternyata tidak lebih agamais ketimbang
parpol "sekuler": sama-sama korup. Bahkan, banyak kader parpol
agamais terseret derasnya arus korupsi politik yang berlangsung secara masif.
Parpol semacam ini sejatinya telah mengkhianati kepercayaan publik yang
sempat mekar di awal-awal kiprah mereka di panggung politik nasional.
Ketiga, konflik dan
perpecahan yang melanda sejumlah parpol kita mengindikasikan ketidakmampuan
mereka melakukan manajemen dan resolusi konflik secara elegan, dewasa, dan
bermartabat. Konflik dan perpecahan memang sering kali bermula dari hal-hal
kecil. Namun, jika mereka tidak memiliki cetak biru manajemen dan resolusi
konflik yang baik, hal-hal kecil sering kali membuncah menjadi konflik dan
perpecahan.
Harapan terkembang
Harapan perbaikan
kondisi politik sempat mengembang ketika NU dan Muhammadiyah mendeklarasikan
komitmen bersama untuk melakukan jihad melawan korupsi pada awal dekade
2000-an. Keduanya bahkan telah memformalkan jalinan kerja sama dalam gerakan
antikorupsi tahun 2013 melalui penerapan pilot
project reformasi internal NU dan Muhammadiyah untuk implementasi sistem
akuntabilitas dan transparansi dalam organisasi dan badan otonom di bawah
naungan masing-masing. Namun, setelah itu, gaungnya tak terdengar lagi.
Oleh karena itu, ada
baiknya NU dan Muhammadiyah mempertimbangkan kembali strategi jaga jarak
dengan politik praktis sekaligus menafsirkan ulang makna khitah perjuangan
keduanya. Memang keterlibatan ormas Islam tak harus dimaknai sebagai
"terjun bebas" ke gelanggang politik praktis. Selain itu,
keterlibatan keduanya juga bukanlah sebentuk proyek islamisasi terselubung (disguised islamization) melalui
politisasi simbol-simbol keagamaan atau fenomena syariahisasi seperti kasus
perda syariah di beberapa daerah.
Bentuk-bentuk
intervensi politik yang mungkin dapat direkomendasikan melalui dua muktamar
mendatang adalah 1) perumusan kaidah-kaidah tata negara yang sejalan prinsip good and clean governance modern; 2)
menyiapkan kader-kader muda sebelum mereka memasuki gelanggang
politik-kekuasaan sebagai aktivis parpol, anggota parlemen ataupun lembaga
kenegaraan melalui program pelatihan berjenjang dan terstruktur; 3) melakukan
advokasi dan pendampingan terhadap semua lapisan masyarakat tentang pola
hidup yang sesuai nilai keadaban publik, tertib sipil, dan masyarakat madani.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar